Oleh: Hindun Camelia
Hampir
genap menuju setahun pandemi covid-19 melanda penjuru dunia. Setiap negara
menerapkan berbagai kebijakan berbeda. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?.
Jika
menilik negara lain, dalam hal kebijakan penanganan masalah covid-19, rasanya
masih sama saja. Belum ada fakta yang menyatakan suatu negara telah berhasil
menangani masalah covid-19 dengan tuntas. Sampai saat ini saja, vaksin yang
akan dipasarkan didunia masih dalam tanda tanya. Masih perlu uji coba, yang
hasilnya pun belum bisa dipastikan.
Hampir
setahun perjalanan pandemi, bak menumpuk problematika baru dari segala aspek
kehidupan rakyat dan negara. Pasalnya, masalah yang ada di negara ini sebelum
pandemi saja sudah bertumpuk, dan itu belum bisa dituntaskan, ditambah dengan
datangnya pandemi yang tanpa permisi, masalah kian menggunung dengan pola
penyelesaian yang tidak pernah selesai.
Salah
satu berita yang tak pernah redup dari sorotan media adalah kriminalitas. Kali
ini, salah satu daerah di Indonesia tepatnya di Nias Utara, telah diberitakan,
bahwa seorang ibu berinisial MT telah dengan tega membunuh ketiga anak
kandungnya disebabkan ibu stress akibat himpitan ekonomi keluarga yang melanda
keluarganya.
Sementara,
Jakarta membawa berita serupa tapi tak sama. Dikabarkan seorang ibu tega
menganiaya anak perempuannya hingga tewas karena si anak tidak mengerti saat
belajar daring.
Inilah
sebagian kriminalitas yang akhirnya terjadi dan tersorot media. Dari kedua
pemberitaan diatas, dapat kita ketahui, dampak pandemi ditengah masyarakat
dengan taraf hidup rendah cenderung bermasalah yang berujung kriminalitas
berupa penganiayaan sampai menghilangkan nyawa seseorang.
Kriminalitas
seperti ini, terjadi karena kemiskinan struktural. Yaitu kemiskinan yang muncul
karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat miskin untuk dapat bekerja
dan menjadi sejahtera.
Kemiskinan
struktural ini adalah penyakit bawaan dari sistem kapitalisme. Sistem
kapitalisme menjadikan negara minim pemasukan, sehingga pemerintah tidak mampu
memenuhi kebutuhan pokok rakyat, seperti sandang, pangan dan papan.
Kemudian,
negara gagal memenuhi kebutuhan dasar publik seperti layanan kesehatan,
pendidikan, serta infrastruktur yang mendukung. Yang akhirnya berakibat pada
rakyat, yang kesulitan mendapatkan pelayanan yang layak dan berkualitas.
Ditengah
pandemi, bantuan negara minim dan dikorupsi pejabat negara pula. Seperti yang
hangat diberitakan satu minggu kebelakang, yaitu tentang Menteri Sosial yang ternyata
mengkorupsi dana bantuan sosial untuk warga terdampak covid 19 sebesar Rp.17
Milyar.
Ini
adalah akibat dari sekulerisme yang diterapkan sistem demokrasi bobrok.
Pemisahan agama dari kehidupan berdampak kepada kerusakan hidup.
Sekulerisme,
melanggar hukum Allah tentang standar halal dan haram. Jelas saja, hukum yang
dibuat manusia itu menyengsarakan dan tidak berpihak pada rakyat.
Mau
sampai kapan kita berharap pada sistem rusak seperti ini?. Nyatanya pesta
demokrasi hanya melahirkan calon pemimpin dan pejabat negara yang menebar dan
menawarkan janji-janji yang nihil bukti.
Tentu
sebagai seorang muslim, yang tinggal di negara dengan mayoritas muslim
terbanyak didunia, kita berharap syariat islam tegak di muka bumi ini. Berharap
setiap pilar kehidupan, berbangsa dan bernegara berlandaskan syariat dan
berpondasi pada sunatullah. Yang inshaallaah membawa kehidupan dari segala
aspek berjaya atas ridho Allah SWT.
Wallohualam
bi showab.