Oleh : Ummu Aziz
Korupsi merupakan tindak kejahatan yang terjadi akibat penyelewengan wewenang atau tanggung jawab. Berdasarkan data kompas, selama tahun 2018 KPK telah menangkap 220 anggota DPR/DPRD artinya rata-rata tiap 2 hari sekali ada 2 anggota dewan yang tertangkap korupsi. Di sisi lain, kepala daerah selama 2018 ada 29 kepala daerah yang tertangkap artinya tiap 2 minggu sekali ada yang tertangkap. Sementara itu, data ASN yang terlibat korupsi sampai Juli 2019 sudah ada 3.240 ASN yang dipecat karena korupsi.
Tahun 2020, kasus korupsi diharapkan menurun. Namun tampaknya kenyataan tidak seindah harapan. Tindak pidana korupsi pada tahun 2020 tidak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ini terjadi hampir diseluruh provinsi termasuk Sumsel. Kabar terbaru Bupati Muara Enim periode 2014-2018 Muzakir Sai Sohar beserta tiga orang lainnya yakni HM Anjapri mantan Dirut PT. Mitra Ogan, Yan Satyananda yang merupakan mantan kabag akuntansi PT Perkebunan Mitra Ogan serta Abunawar Basyeban SH MH selaku konsultan, Kamis (12/11) malam ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel.
Keempatnya disinyalir terlibat kasus suap dan gratifikasi alih fungsi lahan hutan produksi menjadi hutan tetap di kabupaten muara enim tahun 2014 yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 5,8 Miliar lebih.
Selanjutnya dari hasil pemeriksaan itu, tim penyidik dari Kejati Sumsel mengambil kesimpulan dan melakukan penahanan terhadap empat orang tersangka tersebut agar mempermudah proses penyidikan lebih lanjut. Hal ini juga untuk menghindari kemungkinan yang bersangkutan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti dan tindakan tidak koperatif. (https://sumeks.co/terlibat-proyek-fiktif-alih-lahan-mantan-bupati-muara-enim-jadi-tersangka/).
Sepanjang tahun, berulang kali pejabat publik ataupun mantan pejabat ditangkapi KPK hingga Indonesia seolah-olah telah menjadi ”surga” bagi para koruptor. Solusi yang ditawarkan pemerintah dalam memberantas korupsi telah gagal. Bukannya menurun, justru kasus korupsi makin meningkat.
Fenomena maraknya kasus korupsi seakan telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang politik sistem demokrasi hari ini. Korupsi telah menjadi penyakit sebagian besar demokrasi yang sudah mengakar dari strukturnya. Birokrasi dan jabatan seakan memberikan ruang kenyamanan dan peluang “lahan basah” untuk bebas melakukan apapun yang di inginkan demi eksistensi diri, sekalipun harus mnggadaikan harga diri terhadap amanah yang telah dikhianati.
Tingkah polah para elit politik di negeri ini mengisyaratkan mental korup yang sulit dihilangkan. Saat tersangka sudah ditangkap, dihukum dan dipenjara tidak pula menimbulkan efek jera, bahkan yang terjadi justru praktik korupsi tersebut malah semakin menggurita.
Sosok pemimpin yang sangat diharapkan mampu membawa perubahan kebaikan, pada akhirnya fakta lah yang harus bicara, rakyatlah yang selalu dikecewakan dengan manisnya slogan dan jargon-jargon yang mereka ucapkan.
Sejatinya, kekuasaan dalam Islam bukan tujuan tapi hanya sebuah amanah yang harus dijalankan untuk menerapkan aturan-aturan dari Allah Swt. Hal ini supaya kehidupan manusia selalu diliputi dengan suasana keimanan. Jika ingin menjadi pemimpin tapi pijakan utamanya adalah sekularisme (pemisahan agama dalam kehidupan) maka yang terjadi hanyalah sebuah kebinasaan. Karena, bagi seorang pemimpin ketakwaan adalah mutlak bukan sekedar slogan.
Sistem demokrasi yang menganut paham sekuler-kapitalis, standar baik buruk dan terpuji tercela sangat ditentukan oleh rasa manusia, benar salah hanya berdasarkan hawa nafsu.
Tujuan mulia dibalik kursi jabatan dan kekuasaan yang katanya ingin bekerja demi rakyat terkadang harus terkotori oleh egoisme pribadi dan golongan.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Korupsi juga makin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian nyata, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat.
Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pemberitahuan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Dalam Islam, syarat yang harus dimiliki oleh setiap wakil rakyat. Yakni, sifat adil terhadap siapa saja, senantiasa memelihara wibawa dan nama baik (muruah), pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara dan ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling berhak untuk menerima amanah) dengan berbagai ketentuan, wawasan luas dan kebijaksanaan.
Syarat-syarat tersebut mutlak diperlukan karena diharapkan para wakil rakyat akan dapat mewakili kemauan dan kehendak rakyat yang diwakilinya. Rakyat menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena keikhlasan, sifat konsekuenan, ketakwaan, keadilan, kecemerlangan pikiran, dan kegigihan mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Wallahu’alam.