Korupsi Dalam Kubangan Demokrasi




Oleh : Ummu Hanif (anggota lingkar penulis ideologis)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan pasal tentang suap yakni Pasal 12 Huruf A dan B, serta Pasal 11 UU Tipikor.

Namun, banyak yang beranggapan bahwa kasus korupsi yang dilakukan di tengah bencana atau pandemi seperti saat ini bisa dijatuhi hukuman mati jika terbukti ada kerugian negara di dalamnya.

Seperti yang dirilis www.kompas.tv pada 10/12/2020, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara, dua pejabat pembuat komitmen di Kemensos, serta dua pihak swasta sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial corona.

Bermula dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket makanan pokok di Kemensos senilai Rp 5.9 triliun, KPK mengungkap ada kesepakatan fee untuk sang menteri sebesar Rp 10.000 per paket bantuan. Ditotal, nilai uang suap tersebut ditaksir mencapai angka Rp 17 miliar.

Terkait ide hukuman mati yang dipandang sebagai hukuman paling manjur untuk membuat jera pelaku kriminal, menjadi topik hangat di media sosial. Warganet menagih janji ketua KPK, Firli Bahuri, yang saat itu sesumbar akan menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku korupsi dana pandemi atau bencana sejenisnya.

Hukuman mati sejatinya sudah beberapa kali diwacanakan. Hanya saja, masih banyak pro kontra yang terjadi. Sehingga sampai detik ini belum ada pelaku korupsi yang diganjar dengan hukuman mati.

Bagi Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupul, ancaman pidana mati yang dilontarkan Firli bukanlah tanda ia benar-benar serius memberantas korupsi. Menurutnya, itu tak lebih sebagai slogan. Dalam konteks yang lebih luas, Erasmus bilang hukuman mati hanyalah narasi populis yang digunakan banyak pihak untuk menunjukkan keseriusan dalam menegakkan hukum. (Tirtoid, 7/12/2020)

Sementara itu, peneliti ICW - Kurnia Ramadhana, menyebut hukuman mati terbukti tidak menimbulkan efek jera. Kurnia berkata, negara yang menerapkan hukuman mati meraih skor rendah dalam indeks persepsi korupsinya. Contoh yang dia sebut adalah Cina dan Iran, yang peringkatnya bahkan berada di bawah Indonesia. (www.BBC Indonesia, 8/12/2020)

Sedangkan dalam UU Tipikor pasal 2 ayat 2 terdapat aturan tentang pidana mati bagi pelaku korupsi. Sayangnya, aturan itu sebatas narasi formalitas belaka. Belum pernah ada realisasinya.

Maka menjadi pertanyaan kita bersama, jika hukuman mati tidak memberi efek jera bagi pelaku, jenis hukuman apa yang pantas bagi para koruptor? Dipenjara seringkali ganjarannya tak sepadan dengan jumlah uang yang dikorupsi. Bahkan ada diantara mereka yang berada di sel penjara mewah. Dirampas atau disita asetnya? Nyatanya penyitaan asset tidak membuat kekayaan mereka berkurang banyak.

Sementara kita tahu. Kasus Menteri sosial hanya salah satu kasus dari sekian banyak kasus korupsi di negeri ini. Dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif hampir semuanya  pernah terpapar perilaku korup. Korupsi, seakan menjadi budaya yang sulit diatasi di alam demokrasi.

Islam dengan sistem pemerintahannya yakni khilafah, memiliki jurus jitu menangkal dan membasmi korupsi. Khilafah menyiapkan instrumen pencegahan dan penindakan bila ada pejabatnya yang terdeteksi melakukan korupsi. Diantara pencegahan tersebut, khilafah akan memberlakukan:

Pertama, pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi setiap individu muslim. Khilafah akan mendidik rakyatnya agar memiliki rasa takut kepada Allah dan sikap muraqabah (selalu merasa diawasi Allah). Suasana amar makruf nahi mungkar serta saling mengingatkan akan tercipta di lingkungan keluarga dan masyarakat. Masyarakat akan melakukan pengawasan terhadap segala bentuk penyimpangan dan kemaksiatan.

Kedua, pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Dengan begitu, pemberian gaji yang cukup bisa memininalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR Abu Dawud)

Ketiga, larangan menerima suap dan hadiah. Para pejabat dilarang menerima hadiah selain dari gaji yang mereka terima. Rasulullah bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad).

Keempat, penghitungan kekayaan di awal menjabat dan di akhir masa jabatannya

Jika pejabat negara masih saja melakukan korupsi, maka penindakan hukum Islam akan diberlakukan. Yaitu, hukuman setimpal yang akan memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat.

Dalam Islam, korupsi termasuk hukuman ta’zir. Bisa berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), hukuman cambuk, penyitaan harta, pengasingan, hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Itulah jurus jitu negara Khilafah membasmi korupsi. Akankah kita msih enggan menerapkannya atau minimal berkenan mempelajarinya? Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak