Korupsi Bansos : Bukti Nyata Hilangnya Hati Nurani Pejabat di Sistem Demokrasi



Oleh : Mey Afiddatul Asmara Arini Nabela*

Wabah covid-19 yang melanda seluruh negeri di dunia ini, termasuk Indonesia memberikan dampak bagi semua orang dan semua bidang. Salah satu sektor yang terdampak wabah ini adalah sektor perekonomian. Bahkan tak sedikit negara yang mengalami resesi. Perekonomian Indonesia pun sudah di ujung ketumbangannya. 

Para pengusaha banyak yang memberhentikan pekerjanya karena income yang diterima merosot drastis sehingga tidak mampu membayar gaji karyawan. Rakyat kecil pun bayak yang kehilangan pekerjaannya. Bahkan  banyak  dari rakyat kita untuk makan sehari-haripun mereka tergopoh-gopoh mencari pinjaman. Sungguh, saat ini rakyat dalam kondisi yang serba kekurangan.

Di masa-masa yang sulit prekonomian ini, rakyat dikejutkan dengan berita korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara yang menerima Rp 17 miliar korupsi bansos yang ditujukan kepada keluarga miskin yang terdampak covid-19. 

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 12 miliar. Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar turut diterima Mensos Juliari. (detiknews, 06/12/2020)

Sungguh sangat ironis, di kala rakyat sulit untuk makan, justru penguasa di negeri ini memanfaatkan kesempatan ini untuk memuaskan hawa nafsunya. Tindakan yang dilakukan Mensos Juliari ini menunjukkan hilangnya hati nurani pada dirinya. Mengambil kesempatan di balik kesempitan, dan bahagia di atas penderitaan orang lain. 

Tidak heran kasus korupsi terus menerus menggurita di sistem demokrasi. Karena dalam sistem ini, para pejabat harus mengeluarkan biaya yang besar untuk meraih kursi kekuasaan. Dalam rangka memuluskan langkahnya, tak sedikit dari mereka mencari dukungan dari para pemodal. 

Tentu tidak ada makan siang gratis, para pemodal akan memberikan pinjaman kepada mereka dengan menebar janji. Setelah mereka berhasil menduduki kursi kekuasaan, para pemodal memesan para penguasa tersebut untuk membuat undang-undang yang berpihak kepada para pemodal.

 Tidak berhenti sampai di sini, gaji yang diterima para penguasa tidak sebanding dengan segelontoran rupiah yang dikeluarkan sebelum menduduki kursi pemerintahan. Selain itu, mereka juga harus mengembalikan biaya yang besar kepada para pemodal. 

Rel korupsi lah satu-satunya jalan yang menggiurkan mereka. Tanpa memandang bahwa hal ini akan mendzalimi rakyat atau tidak, yang terpenting bagi mereka adalah kepentingan mereka terpenuhi. Kasus korupsi di negeri akan terus menjalar selama negeri ini masih menggunakan sistem demokrasi. 

Sistem yang berdiri atas asas sekulerisme yaitu memisahkan agama dalam kehidupan. Sistem inilah yang menihilkan peran Allah sebagai Asy- Syaari (Pembuat hukum). Dalam sistem demokrasi, yang membuat peraturan adalah para pejabat, dan merekalah sendiri yang mengetahui celahnya untuk melanggar peraturan yang dibuatnya. 

Tidak heran jika demokrasi hanya akan membuka jalan lebar para pejabat untuk melakukan korupsi. Sistem yang rusak dan merusak ini, mustahil akan mengatasi kasus korupsi yang telah mengakar di negeri ini. Masihkah berharap dengan sistem demokrasi? 

Sistem yang akan melahirkan para pemimpin yang hanya pemberi harapan palsu dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi korupsi di negeri ini, tidak cukup hanya mengganti pemimpin yang lebih baik lagi. 

Tetapi yang kita butuhkan saat ini adalah sistem pemerintahan yang shahih yaitu khilafah islamiyyah ala minhajin nubuwwah. Sistem yang shahih ini dibangun dari aqidah Islam dan kedaulatannya hanya berada di tangan Allah Al Mudabbir (Sang Pengatur kehidupan). 

Sebagaimana firman Allah yang terjemahannya : Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah. (QS. Yusuf : 40). Hukum Allah tidak bisa diperjual belikan, direvisi dan diotak atik sesuai kepentingan manusia. Allah lah Sang Khaliq Yang menciptakan manusia dan alam semesta, jadi hanya Allah yang mengetahui hukum yang terbaik untuk manusia dan alam semesta.

Dalam daulah khilafah kasus korupsi akan diminimalisir atau bahkan nihil terjadi. Dikarenakan  daulah khilafah telah menyiapkan perangkat hukum untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat negara. Pertama, adanya badan pengawasan/ pemeriksaan kekuasaan yang ketat dalam mengawasi harta kekayaan para pejabat negara. 

Kasus korupsi dapat dibuktikan dengan pembuktian terbalik yaitu perhitungan tingkat kewajaran gaji pegawai. Jika terdapat kelebihan harta dan pejabat tersebut tidak bisa menunjukkan harta tersebut secara legal maka itu disebut korupsi. Selain pengawasan dari daulah, para pejabat juga memiliki keimanan yang kokoh sehingga dalam menjalankan amanahnya, mereka selalu menghadirkan kesadaran akan pengawasan Allah (idrak shillaah billaah).

 Kedua, terpenuhinya gaji yang cukup para pejabat negara untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Sedangkan untuk kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan diberikan secara gratis. Harga sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah. Ketiga, ketakwaan individu. 

Selain syarat profesionalitas, pengangkatan pejabat negara haruslah seorang yang bertakwa. Ketika ketakwaan telah menghujam dalam diri pejabat negara, maka mereka tidak akan berani menjalankan larangan Allah termasuk kecurangan dalam menjalankan amanah pemerintahan.

 Keempat, amanah. Dalam sistem pemerintah Islam, seorang pejabat negara harus amanah dalam menjalankan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Rasulullah bersabda,  Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. (Hadits Shahih Eiwayat al-Bukhari : 4789). 

Kelima, Penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras bagi pelakunya. Korupsi dalam syariat Isam disebut perbuatan khianat. Pelakunya disebut khaain (orang yang berkhianat). Khaain berbeda dengan saariq (pencuri). Khaain adalah orang yang menggelapkan harta, dimana harta tersebut diamanahkan kepadanya. 

Sehingga sanksi (uqubat) bagi khaain berbeda dengan sanksi potong tangan (qathul yad) bagi pencuri. Tapi yang diberlakukan bagi khaain adalah sanksi tazir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. 

Rasulullah SAW bersabda,  Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor, orang yang merampas harta orang lain dan penjambret). (HR Abu Dawud).

Seperti itulah gambaran bagaimna daulah khilafah islamiyyah menjaga para perjabat/ pegawai negara dari tindakan pengkhianatan termasuk korupsi. Hanya dalam sistem pemerintahan Islam lah lahir para pemimpin yang amanah yang bertanggungjawab mengurusi rakyatnya. 

Karena para pemimpin daulah khilafah sadar akan pertanggungjawabannya di hadapan Allah di akhirat kelak. Dari sistem yang gemilang inilah keberkahan dari langit dan bumi akan mengguyur suatu negeri sehingga menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghaafuur. Wallaahu alam bish showwaab.  

*Penggiat MT Hayyatuz Zaujiyyah Tulungagung

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak