Oleh: Sulistiana, S.Sn
Dalam sebuah sistem pemerintahan adalah suatu hal yang wajar jika terjadi perombakan kabinet yang dilakukan oleh seorang kepala negara. Seperti yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan perombakan atau reshuffle kabinet di Istana Negara, Selasa (22/12). Ini merupakan kocok ulang pertama pada periode kedua kepemimpinan Jokowi.
Dilansir dari CNN Indonesia, Presiden Joko Widodo memutuskan pergantian Menteri Agama pada kocok ulang atau reshuffle kabinet kali ini. Penunjukan Yaqut Cholil Qoumas untuk menggantikan Fachrul Razi mengisi jabatan Menteri Agama tersebut diumumkan pada Selasa (22/12).
Dilansir dari detiknews.com, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas akan mengafirmasi hak beragama kelompok Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia. Ia mengatakan tak mau kelompok minoritas terusir dari Indonesia karena perbedaan keyakinan (25/12/2020). Menurut Yaqut Cholil perlu adanya dialog yang intensif untuk menjembatani perbedaan ini dan Kementerian Agama akan memfasilitasinya.
Hal tersebut disampaikan Yaqut dalam acara Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta pada Selasa (15/12). Ia merespons permintaan guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra terkait peran pemerintah memfasilitasi kaum minoritas.
Menanggapi apa yang sudah disampaikan oleh Menteri Agama yang baru terkait akan mengafirmasikan kelompok Syiah dan Ahmadiyah, Waketum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengingatkan Yaqut untuk berhati-hati. Dan meminta Menteri Agama untuk menunggu dan melihat bagaimana sikap MUI tentang Syiah dan Ahmadiyah karena masalah ini sangat sensitif (detiknews.com, 25/12/2020).
Menurut PWNU Jatim, permasalahan Syiah dan Ahmadiyah adalah masalah lama dan tak perlu dikorek kembali. "Jadi andaikata ini adalah luka. Luka-luka yang mengering ini tak usah kita korek-korek kembali. Karena kearifan lokal sudah bisa menerima. Itu yang terpenting," tegas Khatib Syuriah PWNU Jatim KH Safruddin Syarif kepada detikcom, Jumat (25/12/2020).
Namun, dilansir dari republika.co.id, Menteri Agama Yaqud Cholil Qoumas membantah dirinya pernah menyatakan akan memberi perlindungan khusus kepada kelompok Syiah dan Ahmadiyah. Menurut Gus Yaqut, dia hanya menyatakan sikapnya sebagai Menteri Agama adalah melindungi mereka sebagai warga negara (25/12/2020).
Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia
Dilansir dari Kiblat.net.com, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan ajaran Syiah adalah kelompok sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Menurut MUI dalam Rakernas pada 6 November 2007 di Sari Pan Pasifik, Jakarta. MUI telah menerbitkan buku ‘Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia’ pada bulan November 2013.
Ada beberapa keyakinan Syiah yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam, yaitu: Pertama: Rukun Iman dan Rukun Islam Syiah berbeda dari nash-nash Al Qur’an dan hadist mutawatir yang shahih, karena menambahkan rukun Al Wilayah (keimaman Ali bin Abi Thalib dan Keturunannya) sebagai rukun Iman dan Islam.
Kedua: Meyakini adanya tahrif (interpolasi) Al Qur’an yang artinya mengingkari autentisitas dan kebenaran Al Qur’an.
Ketiga: Mengkafirkan kelompok lain diluar golongannya karena mereka berprinsip seorang yang tidak mengimani rukun Iman dan Islam yang paling pokok, yaitu Al Wilayah, maka dianggap bukan muslim, fasik, bahkan kafir. Dalam hal ini bukan nanya untuk umat Islam umumnya, akan tetapi juga mencangkup para sahabat Nabi yang utama Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman Radiyallahu Anhum dan semua yang bersepakat membaiat mereka.
Melansir dari bbc.indonesia.com, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah pada tahun 1980 yang kemudian diperkuat dengan fatwa lagi pada tahun 2005 ,yang berisi bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat, menyesatkan dan sudah keluar dari Islam (19/2/2018).
Alasan utamanya yakni mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad yakni Mirza Ghulam. Karena dianggap sebagai kelompok sesat, tidak hanya MUI yang mengecamnya, tapi seluruh dunia mulai dari OKI dan sebagainya. Ahmadiyah juga dianggap telah melanggar Undang-undang karena telah melanggar UU Penodaan Agama (tribunnews.com,18/2/2011)
Akademi Fiqh Islam di Organisasi Konferensi Islam (OKI) -yang kini dikenal dengan Organisasi Kerja Sama Islam- ketika pada tahun 1985 menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam.
Jadi, jelas dan tegas bahwa Syiah dan Ahmadiyah telah dinyatakan sebagai aliran sesat dan memyimpang dari ajaran Islam.
Terkait Ahmadiyah, dilansir dari republika.co.id, sudah ada desakan dari MUI juga umat Islam di Tanah Air agar pemerintah segera membubarkan Ahmadiyah. Namun, pemerintah sepertinya kesulitan untuk mengambil sikap tegas. Belakangan terungkap bahwa ternyata ada kekuatan asing yang menginginkan Ahmadiyah tetap eksis di Indonesia. Ada empat negara yang sengaja mengintervensi pemerintah RI terkait masalah ini. Mereka tidak ingin Ahmadiyah di Indonesia dibubarkan. Tiga dari empat negara itu adalah Inggris, AS dan Kanada (3/4/2014).
Jadi semakin jelas bahwa berbagai kelompok atau aliran sesat yang sampai hari ini masih sksis di Indonesia, bisa bertahan karena memang ada kekuatan politik yang mendukung mereka. Bik itu kekuatan politik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Penyelesaian Aliran Sesat Dari Perspektif Hukum Islam
Cara Islam untuk menyelesaikan aliran sesat ini adalah dengan menerapkan syari’ah dan kaidah syari’ah dalam penyelesaiannya. Dalam syariat Islam, aliran sesat dikategorikan sebagai tindakan menodai agama dengan melakukan bid’ah (yakni hal-¬hal baru yang diada-adakan namun tidak mempunyai sandaran hukum dalam Islam).
Tindakan menodai agama dan membuat bid’ah termasuk tindak pidana yang diancam hukuman Ta’zir. Ta’zir adalah hukumuan yang tidak ditentukan oleh syariat Islam secara tegas, tapi diserahkan ketentuannya kepada kebijaksanaan pemerintah. Pemerintah melalui lembaga pengadilan berwenang menentukan hukuman mulai dari yang paling ringan hingga berat yaitu hukuman mati. Dalam masalah ini, sebagian ulama menyatakan bahwa hukumannya adalah penjara. Hukuman tersebut bisa bertambah menjadi pidana mati, tergantung pada dampak yang diakibatkan aliran sesat tersebut dalam menyesatkan umat. Pidana mati hanya dapat ditetapkan setelah para penista agama tersebut diminta untuk bertaubat, jika mereka enggan bertaubat maka hukuman mati baru dijatuhkan kepada mereka. Mereka itu dihukum mati karena mereka telah menjadi kafir (murtad) dengan perbuatannya, atau karena mereka sepakat memerangi pemerintah yang dikategorikan sebagai Bughah (para pemberontak).
Di antara dalil yang jadikan dasar dalam penetapan hukuman ini adalah sabda Rasulullah Saw: “Akan datang di akhir zaman sebuah kaum yang masih muda, banyak angan-angan, memutar-balikan perkataan sebaik-baik manusia, mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka, di mana saja kamu bisa menjumpai mereka maka bunuhlah mereka, sesungguhnya orang yang membunuh mereka itu akan mendapat pahala pada hari kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Imam Ahmad: “Para ulama telah berijma’ bahwa setiap kelompok yang menghalangi syariat yang mutawatir (disepakati bersama) dari syariat Islam wajib diperangi supaya kemuliaan semua agama itu hanya milik Allah,seperti Muharibin (orang-¬orang yang memerangi pemerintah), dan itu lebih utama lagi.”
Semua ini bisa dilakukan jika ada sebuah negara yang independen, tanpa ada intervensi dari negara mana pun dan di dalam sistem pemerintahannya hanya menggunakan hukum-hukum syariat Islam yang berasal dari dari Al Khaliq, yaitu Allah SWT.
Wallahu a’lam bishawab
Tags
Politik