Oleh : Ummu Aimar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menyampaikan keprihatinannya terkait banyaknya jumlah calon kepala daerah dan anggota penyelenggara pemilu yang terpapar Covid-19 selama pelaksanaan tahapan Pilkada serentak 2020.
"Prihatin 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid-19, 4 orang diantaranya meninggal dunia," cuitnya melalui akun media sosial twitter @hamdanzoelva, (Jumat 27/11/2020 ,https://kabar24.bisnis.com)
Hingga saat ini, covid -19 kasusnya semakin melonjak di Indonesia. Akibat belum adanya solusi tuntas untuk mengakhiri virus ini dari pemerintah . Namun bukan tidak mungkin, Pilkada Serentak 2020 akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 karena dapat dipastikan akan ada banyak kerumunan banyak massa dan melibatkan banyak orang dalam pilkada serentak tersebut. Baik dalam waktu kampanye atau saat pencoblosan. Padahal sebelumnya , pernah ada wacana penundaan pilkada oleh pemerintah, KPU, dan DPR. Namun, anehnya, kata Mahfud sebagai Kemenkumham, diputuskan pilkada tetap digelar 9 Desember 2020.
Ada dua alasan kenapa pilkada ini tetap digelar. Pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas. Kedua, jika ditunda karena Covid-19, tidak ada kepastian sampai kapan Covid-19 berhenti dan tidak lagi berbahaya. Karena sampai hari ini, angka positif Covid-19 masih terus mengalami peningkatan.
Namun, pilkada pun tetap dilakukan. Demi kepentingan siapa? Bahwa memaksakan pilkada di tengah Pandemi merupakan bahaya bagi masyarakat saat ini. Karena faktanya pandemi covid19 masih terus menyerang di negeri ini. Pro kontra terjadi tersebab pandemi belum berakhir , bahwa
pemerintah yakinkan persiapan Pilkada ini sudah sedemikian rupa guna hindari klaster baru. Kepentingan seperti apa jika pilkada tetap dilakasanakan, sedangkan banyak aturan dari pemerintah tentang dilarangnya mengadakan acara yang menimbulkan kerumunan. Sehingga banyak tempat dan acara lain dilarang dengan alasan kerumunan masa bisa menularkan virus covid kebanyak orang.
Apakah jika tetap digelar, itu menjamin tidak adanya lonjakan Covid? Karna sudah kita tahu, dalam pilkada menyertakan banyak orang sehingga kerumunan akan terjadi dan itu bisa mendekatkan pada penularan covid -19 . Dan
Seberapa genting dan pentingkah Pilkada hingga tetap digelar di tengah pandemi saat ini.
Menilik dari alasannya, tidak heran jika masyarakat menilai bahwa pilkada serentak ini bukanlah demi kepentingan rakyat semata, melainkan demi melanggengkan kekuasaan para pejabat. Dengan alasan tersebut semakin menunjukkan bahwa pemerintah abai terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat nya. Mereka mengorbankan demi berjalan nya aktivitas Demokrasi yang jelas bukan untuk kepentingan rakyat justru malah mengorbankan rakyat pun akan lepas tangan jika sudah menjadi seorang pemimpin.
Demikian, saatnya kita menyadari bahwa demokrasi bukanlah jalan yang dapat ditempuh untuk mensejahterakan rakyat. Justru banyak sekali permasalah yang menimpa Negeri akibat menerapkan sistem demokrasi akut saat ini.
Sudah tidak asing bahwa dalam pencalonan dalam Pilkada perlu banyak modal untuk bisa maju dalam pilkada maka para pemimpin yang mencalonkan akan merangkul para pemilik modal untuk mengsukseskan tujuannya. Sehingga para kapitalis akan berbondong bondong untuk berebut agar bisa ada dipihak para calon yang akan memimpin.
Ketika sudah menjadi pemimpin. Sudah terbukti rakyat banyak yang terabaikan dan lupa akan janji ketika kampanye. Bahwa sudah tidak aneh jika seluruh kebijakan yang diterapkan pemerintah tidak berpihak pada rakyat justru para kapitalis . Sampai saat ini pun kepentingan yang diutamakan bukanlah rakyat namun segelintir orang yang telah membantunya ketika pencalonan dengan kata balas jasa atau membalikan modal. Karna ketika pencalonan dibutuhkan dana kampanye, money politic dan suap menyuap tak terkira besarnya di dalam acara pemilihan dari mulai bupati, gubernur sampai pemilihan presiden ini sudah tidak asing di Negara yang menerapkan sistem Demokrasi.
Di dalam Negara Daulah yang berlandaskan pada Islam akan dipimpin oleh seorang Khalifah, adapun Khalifah akan mengangkat pemimpin di setiap daerah (Provinsi) yang dinamakan wali.
Rasulullah Saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kecakapan dan kemampuan dalam memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu dan ketakwaan, serta mampu mengkondisikan hati rakyat dengan keimanan dan kemuliaan negara. Adapun para wali ini akan diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah, hal ini bisa menghemat keuangan negara. Sistem Islam akan senantiasa dibangun berdasarkan suasana keimanan yang tinggi, hingga menjadikan penyelenggaraan aparatur negara dapat berjalan dengan amanah. Kinerja pemimpin daerah akan senantiasa dikontrol Khalifah atau orang-orang yang ditunjuk Khalifah.
Di dalam Daulah khilafah , aturan islam akan menjamin dan menghasilkan pemimpin yang benar benar takut kepada Allah dalam kepemimpinannya. Mereka akan memimpin dengan baik. Bersungguh sungguh mengurusi dan melindungi rakyat nya dengan baik karna merupakan sebuah amanah. Pun termasuk virus berbahaya seperti Covid-19 saat ini bahwa kesalamatan masyarakat diutamakan dengan sungguh sungguh.
Ini berbeda dengan pemilihan pemimpin dalam Islam. Pemilihan pemimpin dalam Islam berbiaya murah, namun efektif menghasilkan output yang berkualitas yaitu :
Pertama, tanggungjawab dan tujuan kepemimpinan. Islam secara mendasar telah mendudukkan kepemimpinan sebagai amanah. Dia akan selalu bersandar pada aturan Ilahi karena takut atas pertanggungjawaban di akhirat. Sosok bertakwa akan membersihkan hatinya dari niat jahat, termasuk niat untuk berbuat curang.
Pemimpin dalam Islam juga menyadari tanggung jawab kepemimpinan. Bahwa tidak ada hijab antara Allah SWT dengan doa orang yang dizalimi. Maka kekhawatiran berbuat zalim seringkali membuat seseorang menjauhi jabatan pemimpin. Sehingga orang yang menjadi pemimpin bukanlah sosok yang diliputi nafsu berkuasa (hubbu as siyadah), melainkan orang yang terus berusaha melekatkan sifat adil pada dirinya.
Tujuan kepemimpinan dalam Islam adalah menjadikan negeri ini bertakwa, hingga berkah Allah SWT tercurah dari langit dan bumi. Maka seseorang yang kurang tsaqafah Islam dengan sendirinya akan menyingkir dari kontestasi. Merasa tak layak untuk menjadi imam dari jutaan jiwa dan memimpin mereka di jalan takwa. Tujuan kepemimpinan tersebut menjadikan calon pemimpin dan output pemilu dalam sistem Islam pasti berkualitas. Tak akan ada praktik money politic dan suap menyuap karena sang calon pemimpin takut akan murkanya Allah SWT. Hal ini mencegah dikorupsinya uang negara untuk money politic. Calon pemimpin juga tidak akan membutuhkan biaya kampanye yang besar. Karena kulitas dirinya hakiki, tak butuh pencitraan. Juga tak butuh dana untuk membayar tim buzzer yang bekerja memviralkan sang calon di dunia maya.
Kedua, metode baiat yaitu metode baku pengangkatan pemimpin dalam Islam adalah baiat. Seorang calon pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan umat. Dukungan ini tak harus berupa pemilu langsung yang menghabiskan uang negara. Dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan. Yaitu rakyat memilih wakilnya, lalu wakil umat ini (Majelis Ummah) yang memilih penguasa. Tidak menutup kemungkinan pemilu dalam Islam bersifat langsung, namun pemilihan langsung bukanlah metode melainkan teknis yang bersifat opsional (mubah). Namun metode bakunya adalah baiat.
Siapapun yang dibaiat, dialah pemimpinnya. Rakyat tak akan sibuk berdebat tentang quick count, real count dan exit poll. Karena bukan perkara hitung-hitungan itu yang menjadi poin krusialnya, tapi siapakah yang dibaiat menjadi pemimpin. Metode baiat ini bisa ditempuh dengan penunjukan seperti terpilihnya Umar bin Khattab menjadi kepala negara. Bisa juga dengan teknis musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi (tokoh masyarakat) sebagaimana pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu perwakilah rakyat yang berjumlah enam orang bermusyawarah untuk memilih pemimpin pengganti Umar bin Khattab. Panitia kecil ini tentu lebih hemat biaya daripada jika pemilihan dilakukan langsung. Namun meski hanya 6 orang, mereka adalah representasi suara rakyat karena merupakan tokoh masyarakat.
Ketiga, batas waktu pemilihan pemimpin.
Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Dalilnya adalah ijma‘ sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ra yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Saw. Juga ketetapan Umar bin Khatab yang membatasi waktu musyawarah ahlul halli wal aqdi adalah tiga hari. Jika dalam kurun tiga hari enam orang ahlul halli wal aqdi ada satu yang tak kunjung sepakat maka satu orang tersebut diperintahkan untuk dibunuh. Demi tuntasnya baiat dalam waktu tiga hari. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye. Sehingga tak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana sehingga dalam waktu tiga hari pemilu sudah selesai.
Tiga hal tersebut menjadikan pemilu di dalam Islam berbiaya murah namun efektif menghasilkan pemimpin berkualitas untuk memimpin dengan baik. Demikianlah tiga hal yang menjadikan pemilu dalam Islam sangat mudah dan murah . Begitu sempurnanya dalam segala hal, maka hanya sistem islam yang akan menuntaskan seluruh permasalahan dalam kehidupan ini.
Wallahu A'lam Bi Ash-Shawab
Ilustrasi nytimes.com
Tags
Opini