Ketika Demokrasi Melahirkan Disintegrasi



Oleh: Niswa

(Aktivis Dakwah)

 

Di penghujung akhir tahun 2020, rakyat tak henti-hentinya diberikan berbagai kejutan yang menyesakkan. Mulai dari penyelesaian pandemi yang sama sekali belum terlihat titik terangnya, kemudian kasus korupsi para penguasa negeri, hingga yang baru saja terjadi yaitu masalah disintegrasi bangsa. Masalah disintegrasi yang muncul di Papua layaknya kejutan akhir tahun bagi negeri ini. Hal tersebut ditandai dengan pengumuman pembentukan pemerintahan sementara wilayah Papua Barat yang dilakukan oleh Kelompok Separatis Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pada tanggal 1 Desember 2020.

Seperti dilansir dari abc.net.au, bahwa tujuan pembentukan pemerintahan sementara tersebut adalah untuk memobilisasi rakyat West Papua yang mencakup Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk mewujudkan referendum menuju kemerdekaan. Hal ini sekaligus merupakan penolakan perpanjangan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (1/12/2020).

Isu pelanggaran HAM, ketidakadilan dan diskriminasi merupakan isu yang menjadi cikal bakal munculnya gerakan kemerdekaan di Papua.  Kekecewaan yang mendalam yang dirasakan oleh rakyat Papua, membakar dan memicu gejolak perlawanan melalui gerakan OPM dan demonstrasi yang berujung kekerasan dan penindasan.  Dengan perasaan kecewa disertai dengan tingkat pendidikan yang rendah, mengakibatkan rakyat Papua mudah untuk diprovokasi, dan kemudian melakukan tindakan perlawanan.

Tindakan perlawanan tersebut wajar terjadi, karena dengan kekayaan alam yang melimpah, seharusnya rakyat Papua hidup dalam kesejahteraan. Tetapi kenyataannya, menurut Kepala BPS, Suharyanto, Papua merupakan wilayah yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 21,51%. (cnnindonesia.com, 15/01/2020).

Fakta tersebut sangat menyedihkan, seharusnya rakyat Papua tidak bersahabat dengan kemiskinan dan keterbelakangan, karena mereka hidup di tanah yang kaya akan SDA. Kesejahteraan seyogyanya dapat mereka rasakan, jika pengelolaan dan pemanfaatan SDA dilakukan untuk kepentingan masyarakat setempat.

Tapi yang terjadi saat ini adalah, SDA di Papua banyak dikelola oleh pihak luar daerah, baik swasta maupun asing.  Sehingga keuntungan yang didapat juga pergi menjauh ke luar wilayah Papua. Hal tersebut diperparah dengan adanya pelegalan pengelolaan SDA oleh asing penjajah melalui UU Minerba maupun konsesi penggunaan lahan yang dikeluarkan oleh rezim penguasa.

Inilah kegagalan sistem ekonomi kapitalis dalam mensejahterakan rakyat. Dari sistem inilah lahir masalah kemiskinan dan diskriminasi. Karena perampokan SDA di Papua direstui oleh Rezim penguasa melalui kesepakatan yang dibuat bersama negara-negara asing penjajah tersebut. Sehingga rakyat tak kunjung mendapatkan solusi. Akhirnya disintegrasi dijadikan jalan pintas untuk keluar dari masalah. 

Dengan demikian, menurut Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, Pemerintah jangan menganggap remeh perkembangan gerakan-gerakan kelompok yang menginginkan kemerdekaan untuk Papua. Hal tersebut untuk menghindari agar Papua tidak bernasib sama dengan Timor- timur (gatra.com, 2/12/2020).

Konflik dan kekerasan yang masih terjadi seharusnya cukup memberikan sinyal bahwa benih-benih disintegrasi masih tumbuh dan berpotensi memisahkan Papua dari Indonesia. Karena sejatinya disintegrasi bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah di Papua. 

Bukti nyata dan pelajaran yang sangat berharga dapat kita ambil dari kasus Timor-timur yang sekarang dikenal sebagai Negara Timor Leste.  Latar belakang lepasnya wilayah Timor-timur dari Indonesia hampir sama dengan Papua, yaitu kemiskinan dan diskriminasi. Setelah menjadi negara yang merdeka, kenyataannya mereka masih belum mampu menyelesaikan masalah tersebut. 

Karena, dikutip dari laporan yang dikeluarkan di laman resmi United National Development Program (UNDP) menyatakan bahwa tahun 2020, Timor Leste masih menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Sebagai negara miskin, perekonomian di Timor Leste masih bergantung pada hutang luar negeri, terutama China dan Australia.

Dimana sebuah penelitian mengungkapkan bahwa Australia merupakan negara asing yang memiliki peran besar dalam kemerdekaan Timor Leste, selain Amerika dan Portugal (sosok.grid.id, 4/12/2020).    Penelitian tersebut seolah menyingkap tabir adanya campur tangan negara asing dalam setiap proses disintegrasi, karena kepentingan negara asing tersebut terhadap wilayah yang didukungnya.

Hal ini tidak berbeda dengan yang terjadi di Papua. Keterlibatan asing terlihat jelas ketika, pemerintah berharap dukungan Amerika Serikat (AS) dalam menyelesaikan konflik di Papua. Seperti yang dilansir dari cnn.com, Kepala Staff Kepresidenan Moeldoko berharap dukungan AS atas kondisi yang terjadi di Papua dalam bentuk diplomasi dan penjagaan situasi keamanan, karena AS juga memiliki kegiatan di Papua (2/09/2019).

Fakta tersebut memperlihatkan bahwa demokrasi melalui ikatan nasionalismenya tidak cukup kuat untuk menjadi landasan persatuan dan kesatuan suatu wilayah, contohnya Papua. Karena di dalam demokrasi terdapat unsur-unsur yang dapat menyuburkan benih-benih disintegrasi. Unsur tersebut terdapat di dalam nilai penting dari demokrasi yaitu hak menentukan nasib sendiri. Dan nilai tersebut telah terbukti berhasil memisahkan Timor Timor dari Indonesia melalui proses referendum. Dimana referendum juga menjadi tujuan kelompok-kelompok pergerakan pro kemerdekaan di Papua saat ini.

Hal tersebut sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan dalam bingkai Daulah Khilafah. Karena faktanya, sistem islam melalui Daulah Khilafah mampu menyatukan 2/3 penduduk dunia selama hampir 13 abad dengan ikatan akidah yang dimilikinya.  Dengan berbagai keragaman suku, bangsa, warna kulit, ras, dan agama yang ada didalam Daulah Khilafah

Sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan juga mampu memberikan kesejahteraan dan keamanan kepada seluruh rakyatnya tanpa kecuali.  Karena dengan kebijakan politik ekonomi Islam, yang mengharamkan kekayaan alamnya dikelola oleh asing, menjamin kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat diseluruh negeri, akan menghentikan imperialisme negara-negara penjajah. Bagaimana jaminan hukum dinegara Islam yang menjamin bahwa kedudukan setiap warga sama dihadapan hukum juga meniadakan diskriminasi. Sehingga menutup celah tumbuhnya benih-benih disintegrasi di negeri ini.

Syariah Islam mewajibkan negara untuk menjaga keseimbangan perekonomian dan pemerataan kepada seluruh daerah. Sehingga jurang kesenjangan yang memicu tumbuhnya benih disintegrasi dapat segera dihilangkan.

Maka dari itu, tidak ada jalan keluar yang lebih baik dari setiap permasalahan kecuali dengan penerapan sistem islam secara sempurna melalui Daulah Khilafah. Sudah saatnya kita mengambil peran dalam perjuangan tersebut, sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat segera kita rasakan.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak