Oleh : Halida(aktivis muslimah peduli umat)
SUMUTkota.com – Bupati Deli Serdang Ashari Tambunan mengatakan, perjuangan perempuan Indonesia sejatinya masih belum selesai.
Hal ini terlihat dari pencapaian indeks pembangunan gender (IPG) dan indeks pemberdayaan gender (IDG) yang masih berjalan lamban.
“Kami masih mendengar dan melihat terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan. Ditambah lagi, masih mencoloknya ketimpangan antara perempuan dan laki-laki, serta berbagai persoalan lainnya yang menyangkut eksistensi sosok mereka,” kata Yusuf.
Pernyataan tersebut disampaikan Wakil Bupati (Wabup) Deli Serdang Yusuf Siregar mewakili Bupati Ashari Tambunan, saat menghadiri puncak acara peringatanHari Ibu ke-92 dengan tema “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju” di Aula Cendana Lantai II Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Rabu (16/12/2020).
Acara tersebut diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, Mars Hari Ibu, Pembacaan Undang-Undang (UU) 1945, Pancasila dan pembacaan sejarah hari Ibu serta penyerahan berbagai hadiah perlombaan.
Kemudian, acara peringatan dirangkai dengan pencanangan Kesatuan Gerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga.
Dalam kesempatan tersebut, Yusuf turut mengapresiasi peran ibu dalam membina keluarga.
Terkait kondisi yang dialami perempuan saat ini, Yusuf mengimbau, kepada semua pihak agar tak berpangku tangan dan melakukan pembiaran-pembiaran itu terus berlangsung,
“Oleh karenanya, harus ada upaya nyata agar segala persoalan yang menyangkut gender tidak lagi menjadi isu utama,” ujarnya, seperti dalam keterangan tertulisnya yang SUMUTkota.com Medan terima.
Lebih lanjut Yusuf mengatakan, Bupati juga berpesan pada peringatan ini harus dapat dijadikan momentum untuk mengenang, menghargai perjuangan perempuan.
Menurutnya, berdasarkan hasil studi Bank Dunia, lebih dari 150 negara memiliki aturan yang justru membuat hidup perempuan menjadi lebih susah. Contohnya, hak bayi perempuan baru lahir mendapatkan sertifikat atau akta kelahiran, hak anak perempuan mendapatkan imunisasi, yang hak anak perempuan bersekolah, dan hak kepemilikan usaha sehingga bisa mengajukan kredit ke bank(kompas.com, 20/12/2020).
Masalah perempuan hingga kini tak pernah usai. Berbagai upaya dari pihak pegiat gender, feminis, dan aturan demokrasi sekuler yang ada justru memunculkan banyak masalah baru.
Contohnya saja upaya mendorong para perempuan untuk berbondong-bondong terjun ke dunia kerja hingga akhirnya abai terhadap tanggung jawab di dalam rumah tangganya menimbulkan masalah keluarga seperti perselingkuhan, perceraian, meningkatnya angka kenakalan anak dan remaja, dan seterusnya.
Inginnya mengatasi masalah yang ada, ternyata menimbulkan masalah lain yang lebih kompleks. Lalu masalahnya di mana? Apa yang harus kita lakukan agar masalah perempuan di dunia bisa tuntas?
Kegagalan Sistem Kapitalisme dalam
Melindungi Perempuan
Sejarah mencatat, kebijakan pasar bebas yang menjadi senjata andalan sistem kapitalisme yang diterapkan sejak pertemuan Bretton Woods 1944 dan terus dikukuhkan hingga sekarang melalui berbagai perjanjian internasional, nyatanya telah menjadi alat imperialisme baru negara-negara kapitalis.
Ironisnya negara-negara inilah yang justru menjadi penggagas dan motor program-program PBB terkait perempuan dan upaya pengentasan kemiskinan dunia ala SDGs (Sustainable Development Goals).
Hasilnya, kekayaan negara-negara dunia ketiga dikuras habis dan kedaulatan mereka dirampas, hingga miliaran rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, hidup di bawah garis kemiskinan. Di saat yang sama, mereka membuat 54% pendapatan dunia justru masuk ke hanya 10% kantung orang-orang terkaya di negara-negara mereka.
Begitu pun jebakan krisis ekonomi yang “dikelola” AS dan resep jebakan utang yang mematikan ala IMF, juga telah memaksa negara-negara lemah korban krisis itu menanggung beban utang ribawiyang luar biasa besar.
Sementara di saat yang sama, sumber-sumber alam dan berbagai asset strategis yang mereka miliki harus rela dikuasai kapitalis asing akibat resep IMF yang mewajibkan pasiennya melakukan program-program antirakyat semacam privatisasi, pencabutan subsidi, deregulasi dan liberalisasi.
Ironisnya, donatur lembaga rentenir IMF juga adalah negara-negara kapitalis yang menggagas dan menjadi motor program-program PBB semacam SDGs dan pengarusutamaan ide Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG).
Bagaimana bisa, kesejahteraan rakyat ditingkatkan dan karenanya kemiskinan—termasuk yang menimpa kaum perempuan—dihapuskan jika sumber pendapatan negara hanya mengandalkan pajak dari rakyat dan utang luar negeri sementara kekayaan yang melimpah ruah habis dihadiahkan kepada asing melalui berbagai perjanjian yang dilegalisasi undang-undang?
Jika demikian halnya, memberantas kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan laki-laki dan perempuan dengan berbagai deklarasi, termasuk melalui program-program KKG dan SDGs, memang cuma mimpi.
Konsep negara-bangsa (nation state) semakin menambah masalah kemiskinan perempuan dan perbudakan melalui pembatasan pembagian kekayaan dan sumber daya alam.
Pandangan Islam terhadap Perempuan
Sebelum Islam datang, bangsa Arab memperlakukan perempuan sebagai manusia yang bernilai rendah. Kaum perempuan saat itu dianggap sebagai harta benda yang bisa diwarisi.
Jika seorang suami meninggal maka walinya berhak terhadap istrinya. Wali tersebut berhak menikahi si istri tanpa mahar, atau menikahkannya dengan lelaki lain dan maharnya diambil oleh si wali, atau bahkan menghalang-halanginya untuk menikah lagi. Bayi perempuan dianggap sebagai aib, sehingga orang Arab Jahiliah mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir.
Namun Rasulullah saw. datang membawa risalah Islam untuk melenyapkan semua bentuk kezaliman tersebut dan mengembalikan hak-hak kaum perempuan. Tindakan yang memeras dan mengebiri hak-hak kaum perempuan, semua dihapus.
Islam juga menetapkan bagaimana seorang suami harus memperlakukan istrinya. Penghargaan tinggi atas tugas-tugas perempuan sebagai ibu dan manajer rumah tangga juga diberikan Islam. Perempuan dijamin hak-hak ekonominya dan kebutuhan finansialnya dijamin setiap saat.
Islam mengizinkan kaum perempuan untuk bekerja namun tidak dalam kondisi perbudakan, penghinaan, dan penindasan; melainkan dalam kondisi lingkungan yang terjamin keamanannya dan bermartabat, sehingga statusnya di masyarakat selalu terjaga.
Islam (Khilafah) Melindungi dan Menyelesaikan Masalah Kaum Perempuan
Jika sistem kapitalisme sekuler terbukti gagal menyejahterakan perempuan, sekarang saatnya menguji kemampuan sistem Islam sebagai sistem pengganti kapitalisme. Sistem Islam yang diimplementasikan secara riil oleh institusi negara yaitu Khilafah Islamiah.
Kesejahteraan diartikan sebagai terpenuhinya seluruh potensi yang dimiliki manusia secara optimal, baik terkait pemenuhan kebutuhan pokok (al-hajat al- asasiyah) seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, termasuk agama sebagai tuntunan hidup; serta pemenuhan kebutuhan pelengkap (al-hajat-al-kamaliyat) berupa kebutuhan sekunder maupun tersier.
Terkait kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang, dan papan), Islam (Khilafah) telah menjamin dengan mekanisme tidak langsung, yaitu dengan menciptakan kondisi dan menyediakan sarana yang dapat menjamin kebutuhan tersebut.
Kebutuhan pangan, misalnya juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti peralatan dapur, kayu bakar, minyak tanah atau gas, rak piring, lemari makan, meja makan dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan sandang (pakaian) adalah apa-apa yang diperlukan seperti peralatan berhias, bedak, celak, lemari pakaian, cermin dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan tempat tinggal (papan) adalah apa-apa yang diperlukan untuk tempat tinggal, seperti tempat tidur, perabotan rumah tangga, menurut yang umum diketahui masyarakat seperti meja, kursi, karpet, gorden, dan lain-lain.
Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang, dan papan) dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme yaitu mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, termasuk dalam hal ini adalah perempuan.
Perempuan tidak wajib untuk bekerja. Jika pun dia bekerja maka uang yang dia berikan kepada keluarga atau pun sanak saudaranya terhitung sebagai sedekah yang sifatnya sunah, tidak wajib.
Apabila laki-laki tersebut tidak mampu, kerabat dekatnya yang harus membantu saudaranya. Jika hal itu pun tidak mampu dilakukan, alias keluarga atau saudara tersebut tergolong miskin, negara yang wajib mengurus rakyatnya yang miskin tersebut serta kaum muslimin yang lain juga wajib peduli terhadapnya.
Itulah beberapa fakta tentang bagaimana kaum perempuan tidak akan keluar dari masalahnya jika tetap hidup dalam sistem kapitalisme sekuler yang mengedepankan kebebasan yang kebablasan.
Solusinya, Khilafah yang menjaga peran, status, dan hak-hak perempuan dalam kehidupan dan masyarakat. Khilafah Islamiah terbukti mampu menghantarkan kesejahteraan bagi seluruh warganya, muslim maupun nonmuslim, perempuan maupun laki-laki, anak-anak maupun orang tua, si miskin maupun si kaya.
Khilafah yang akan memberantas dan mencegah eksploitasi dan perbudakan kaum perempuan. Khilafah yang akan mengentaskan kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan ekonomi dan memastikan pemenuhan jaminan keuangan bagi kaum perempuan karena syariat Islam akan mendatangkan maslahat yang sangat besar, terutama kepada kaum perempuan.
Yang jelas, Islamlah terbukti berhasil menaungi manusia dengan kesejahteraan, termasuk terhadap perempuan.
Wallahu 'alam bis shawab
Tags
Opini