Oleh : Anggraini Arifiyah
(Ibu Rumah Tangga & Aktivis Dakwah Islam Kaffah)
Elitha Tri Novianty, salah satu buruh perempuan yang bekerja pada perusahaan produsen es krim PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice, mengeluarkan sebuah pernyataan yang memantik perhatian publik, "Saya sudah bilang ke HRD, saya punya riwayat endometriosis jadi tidak bisa melakukan pekerjaan kasar seperti mengangkat barang dengan beban berat."
Ia seorang perempuan berusia 25 tahun yang memiliki riwayat endometriosis dan sudah berusaha mengajukan pemindahan divisi kerja karena penyakitnya kambuh. Namun perusahaan justru mengancam akan menghentikannya dari pekerjaan. Apa daya yang bisa dilakukan, ia terdesak dan tidak punya pilihan lain selain terus bekerja. Karena ia tetap melakukan pekerjaan yang bobotnya berlebihan itu, akibatnya ia pun mengalami pendarahan hebat dan terpaksa melakukan operasi kuret pada Februari lalu, yang berarti jaringan dari dalam rahimnya diangkat.
Inilah yang terjadi pada sistem kapitalisme, dimana perempuan sangat jauh dari nilai kemuliaan. Dan nampak dari sini perempuan dijadikan sebagai mesin penggerak produksi bagi para kapital.
Berangkat dari kondisi ini, maka banyak sekali hal yang seharusnya dikritisi. Dari sisi ekonomi, maka sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem yang paling layak disalahkan dan segera dicampakkan dari peredaran bumi. Bagaimana tidak? Ialah yang menyebabkan kekayaan senantiasa berputar di kalangan orang-orang kaya dan pemilik modal. Sementara rakyat miskin, dibiarkan abadi dalam kemiskinan dan segala keterbatasan. Dan terhadap kondisi ini, negara-negara kapital bermental nominal seringkali abai dalam tanggung jawabnya mengurusi rakyat. Pada akhirnya, tak ada pilihan bagi perempuan selain bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Maka dengan ini mereka telah membebani diri menjadi pencari nafkah sekaligus manajer rumah tangga. Kapitalisme terus menyerang pondasi utama masyarakat dengan mengajarkan peran keibuan dan mengorbankan tugas penting mereka sebagai pengasuh dan pendidik anak.
Kapitalisme menggembar-gemborkan kesetaraan gender di tengah-tengah masyarakat, bagaimana tidak, selain alasan kebutuhan, pemikiran inilah yang berhasil memprovokasi kaum perempuan. Bahkan pemikiran gender telah berhasil menebar fitnah dan memprovokasi kaum muslimah untuk membenci Islam yang dianggap sebagai penghambat kemajuan dan mendiskriminasi kehidupan mereka. Maka tidak aneh jika sistem kapitalisme ini menjerumuskan mereka pada keterpurukan dan kesengsaraan pada kaum perempuan itu sendiri.
Berbeda halnya dengan Islam yang memberikan perempuan peran utama dalam kehidupan sebagai seorang istri dan ibu. Sejatinya itulah penghargaan tertinggi, pemberdayaan yang sesungguhnya. Islam telah memberikan peran yang sesuai dengan sifat alamiahnya. Menjadi pengasuh dan pendidik generasi, mereka bertanggung jawab menyiapkan keturunannya sebagai pemilik masa depan. Adapun pemenuhan kebutuhan pokok setiap anggota masyarakat, termasuk perempuan betul-betul dijamin.
Dalam sistem Islam, Khalifah memerintahkan para laki-laki (ayah) untuk bekerja menafkahi keluarganya sebagaimana perintah Allah Swt. dalam firman-Nya, ”kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (QS. al-Baqarah: 223).
Untuk itu negara akan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi para laki-laki. Ini adalah tanggung jawab negara sebagaimana hadits Rasulullah Saw., “seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalaupun suami maupun kerabat tidak ada, atau ada tetapi tidak mampu menafkahi maka negara akan langsung menafkahi keluarga miskin ini melalui lembaga Baitul maal (Kas Negara) sehingga sang ibu tidak dipaksa untuk bekerja. Adapun kebutuhan pokok masyarakat berupa jasa yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan juga akan dipenuhi oleh negara secara langsung dan gratis.
Kemuliaan pada perempuan adalah sebuah hal yang niscaya dalam Islam. Dan semua itu dapat tercipta hanya dengan adanya penerapan syariat Islam secara kaffah.
Walahu a’lam bi ash-shawaab.
Tags
Opini