Oleh: Ummu Fatih
Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Larangan Minol) kembali diperbincangkan setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memulai lagi proses pembahasan RUU tersebut.
Poin penting dari draft RUU Larangan Minol adalah larangan bagi siapapun untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan/atau menjual serta mengkonsumsi minuman beralkohol (minuman keras). Namun, ketentuan ini tidak berlaku untuk ‘kepentingan terbatas’. Di antaranya untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Para pelanggar larangan-larangan di atas akan dipidana penjara minimal dua tahun. Paling lama sepuluh tahun. Masyarakat yang mengkonsumsi minol akan dipidana penjara minimal tiga bulan. Paling lama dua tahun.
Di sisi lain, dalam Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja, Pemerintah mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan membuka 14 bidang usaha untuk investasi. Di antara bidang usaha yang dibuka ialah miras/minol. Hal ini semakin memperjelas sikap dan posisi Pemerintah saat ini yang mendukung bisnis miras/minol.
Dengan demikian Pemerintah lebih mengacu pada kepentingan bisnis para kapitalis daripada kepentingan penjagaan moralitas rakyatnya. Inilah cermin dari penguasa sekular-kapitalistik dalam demokrasi. Selalu lebih berpihak pada kepentingan para kapitalis daripada kepentingan rakyat kebanyakan.
RUU ini jelas tidak melarang secara total minuman beralkohol atau minuman keras. Namun demikian, Pemerintah dan beberapa fraksi di DPR (Golkar dan PDI-P) tetap tidak setuju dengan RUU Larangan Minol ini. Mereka menginginkan minuman beralkohol tidak dilarang. Cukup diatur saja.
Manusia biasanya menilai sesuatu dari dampaknya, apakah mendatangkan manfaat atau madarat (dharar). Jika sesuatu dinilai bermanfaat, ia akan disebut baik (khayr). Sebaliknya, jika sesuatu dinilai mendatangkan madarat, ia akan disebut buruk (syarr).
Dalam konteks inilah, keberadaan standar untuk menilai sesuatu sangat penting. Standar inilah yang akan digunakan untuk menilai apakah sesuatu itu baik atau buruk.
Dalam sekularisme, standar baik atau buruk adalah hawa nafsu manusia. Tentu penggunaan standar hawa nafsu manusia untuk menilai baik-buruk sesuatu sangatlah berbahaya. Yang lebih berbahaya lagi adalah bila standar sekularisme ini dilegalkan melalui mekanisme/sistem demokrasi. Misal DPR mengesahkan UU yang menegaskan bahwa memproduksi, mengedarkan, menjual dan mengkonsumsi miras/minol tidak dilarang. Hanya sebatas diatur dan diawasi. Hal ini akan menimbulkan kerusakan yang bersifat sistemik di tengah-tengah masyarakat.
Alhasil, penilaian baik (khayr) dan buruk (syarr) jelas tidak bisa diserahkan pada hawa nafsu manusia. Pasalnya, manusia tidak akan bisa menilai secara hakiki dampak manfaat maupun madarat sesuatu, yang ujungnya akan berisiko buruk untuk kehidupan manusia.
Karena itu standar baik-buruk yang hakiki hanya dapat diterapkan jika manusia mengadopsi syariah Islam dalam kehidupannya. Dengan kata lain, sesuatu dinilai baik (khayr) atau buruk (syarr) dilihat dari aspek ridha-tidaknya Allah SWT terhadap sesuatu tersebut.
Dalam pandangan syariah, minum khamr (miras/minol) merupakan kemaksiatan besar. Sanksi bagi pelakunya adalah dicambuk 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga melarang total semua hal yang terkait dengan khamr mulai dari pabrik produsen minuman beralkohol, distributor, toko yang menjual hingga konsumen (peminumnya). Rasulullah saw. bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ
Allah melaknat khamr, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang mengambil hasil (keuntungan) dari perasannya, pengantarnya dan orang yang meminta diantarkan (HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Dalam sistem Islam, Pemerintah dan seluruh rakyat wajib mengacu pada syariah dalam menetapkan baik-buruk serta dalam menentukan boleh-tidaknya sesuatu beredar di tengah masyarakat. Bila sesuatu telah dinyatakan haram menurut syariah Islam, pasti ia akan menimbulkan bahaya (dharar) di tengah masyarakat. Miras/minol tentu termasuk di dalamnya.
Karena itu miras/minol harus dilarang secara total. Menolak larangan miras/minol secara total dengan alasan apapun, termasuk alasan bisnis/investasi, adalah tercela dan pasti mendatangkan azab Allah SWT.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab.