Oleh: Teh Aan/ Ibu Rumah Tangga
Cangkuang-Biru- Majalaya
DPR kembali menggulirkan RUU/ Rancangan Undang-Undang terkait larangan minuman beralkohol/ Minol, berdalih untuk menciptakan ketertiban dan mentaati ajaran agama, walaupun tidak ada data akademis yang menunjukkan jumlah kasus kriminalitas akibat minuman beralkohol.
RUU larangan minuman beralkohol ini, pertama kali diusung oleh DPR pada tahun
2009, saat tak disahkan hingga dibahas lagi pada periode 2014 dan 2019.
Pembahasannya kembali mandek karena adanya perbedaan pendapat antara pengusung RUU, yang ingin melarang minol, dan pemerintah yang menginginkan konsumsi alkohol tak dilarang, tapi diatur.
Kali ini, RUU itu kembali diusung oleh PPP, PKS, dan Partai Gerindra.
Anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai salah satu pengusung RUU larangan minuman beralkohol, Illiza Sa'aduddin Djamal, berpendapat aturan itu penting demi menjaga ketertiban, dan yang kita inginkan adalah melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman keras tersebut, jadi biar lebih tertib, dan ada ketentraman," ujarnya.
Merespons RUU itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APBMI), Stefanus, menyatakan khawatir jika RUU itu sampai lolos.
"Saya sih ada kekhawatiran, jadi jangan sampai kelolosan. Tiba-tiba keluar larangan alkohol. Itu nggak benar lah."
"Kita nggak ingin disahkan. Kalau disahkan sama saja membunuh pariwisata Indonesia," kata Stefanus.
Minuman beralkohol adalah salah satu produk yang dikenakan cukai.
Pada awal tahun ini, Kementerian Keuangan mengumumkan minuman beralkohol menyumbangkan sekitar Rp7,3 triliun pada penerimaan cukai negara tahun 2019, jumlah yang oleh Stefanus disebut "besar bagi penerimaan negara".
Stefanus berpendapat minuman beralkohol memang perlu diatur dan diawasi, misalnya mengenai usia orang yang diizinkan mengkonsumsi, tapi tidak dilarang.
Namun, pengusung RUU ini dari PPP, Illiza Djamal, tak sepakat jika masalah ekonomi dipersoalkan.
"Kita harus berpikir keras hal apa yang nanti bisa meningkatkan perekonomian kita, begitu signifikan pendapatan yang kita dapatkan [dari minuman beralkohol] dibanding dengan persoalan yang kita dapatkan dari minuman keras ini," ujarnya.
Meski begitu, ia juga mengatakan akan ada konsumsi alkohol yang dikecualikan dari UU ini, seperti untuk wisatawan, ritual keagamaan, dan acara adat.
Di sisi lain, Felippa Amanta, peneliti lembaga the Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), mempertanyakan urgensi DPR membahas RUU itu.
Merujuk data WHO, Felippa mengatakan Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi alkohol paling sedikit di dunia.
Demikianlah, ketika hal yang jelas keharamannya dalam syariat Islam, kemudian hendak diberlakukan dalam sistem demokrasi, maka yang terjadi adalah pertentangan yang justru paling vokal berada di kalangan para wakil rakyat. Maka RUU Larangan Minol semakin tampak membuktikan, bahwa mustahil lahir produk hukum berdasarkan syariah melalui proses legislasi demokrasi. Sebab dalam naungan demokrasi, standar perbuatan manusia bukan lagi halal dan haram, tapi untung dan rugi. Walaupun dikatakan ada keuntungannya, toh sama sekali tidak 'membantu' terhadap 'kemajuan' dan pertumbuhan ekonomi negara. Dan terbukti aturan minuman beralkohol pun tak luput jadi ajang perdebatan, karena dianggap menyalahi prinsip dasar ala demokrasi. Sekalipun telah jelas dalam pandangan Islam, bahwa minuman beralkohol merupakan barang haram. Sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (TQS. Al Maidah:90).
Sejatinya hal ini menjadikan salah 1 dari sekian banyak kondisi yang menunjukkan kebobrokan sistem saat ini. Dan seharusnya semakin tersadar bahwa kesempurnaan Islam hanya akan terwujud dalam penerapan syariah Islam secara kaffah. Maka Khilafah adalah Jalan Penerapan Syariat Islam yang shohih. Yakni, mewajibkan penerapan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya sebatas larangan meminum minuman beralkohol dan bahkan tanpa mendiskreditkan penganut agama lain. Karena Allah memerintahkan untuk berhukum hanya dengan hukum Islam, tanpa tebang pilih, apalagi mencampuradukannya dengan hukum batil buatan manusia, yaitu menerapkan hukum semata-mata demi menjalankan perintah Allah, bukan karena dorongan materi ataupun kekuasaan.
Wallahu'alam bishshawab.
Tags
Politik