Oleh : Melitasari*
Carut marut negeri ini kian menjadi, dari mulai pandemi yang tak kunjung teratasi hingga korupsi yang semakin masif terjadi. Saat masih banyak rakyat berada dalam kesusahan, sekelompok penguasa masih tega mengambil keuntungan dalam setiap kesempatan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima tersangka kasus dugaan suap pengadaan paket sembako bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial. Ada dua tersangka yang belum ditangkap dan diimbau untuk menyerahkan diri.
Dua tersangka itu adalah Menteri Sosial Juliari P Batubara dan Kepala Biro Umum Kemensos Adi Wahyono sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen pengadaan paket sembako.
"KPK mengimbau kepada JPB (Juliari P Batubara) dan AW (Adi Wahyono) untuk kooperatif segera menyerahkan diri ke KPK," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari.
Dalam kasus ini KPK menetapkan lima orang tersangka yaitu Juliari Batubara, Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian IM, dan Harry Sidabuke. Juliari, Matheus dan Adi ditetapkan sebagai tersangka penerima suap sementara Ardian dan Harry sebagai pemberi suap.(KATTA, 06/12/20).
Sistem kapitalis yang berlandaskan kebebasan, menganggap kebahagiaan itu adalah dengan memperoleh sebesar-besarnya kesenangan yang bersifat jasmaniyah. Sehingga tumbuh pemikiran tentang bagaimana cara agar keinginan nafsu selalu terpuaskan. Tak peduli bagaimana cara mendapatkannya, halal haram tak ada pembeda.
Pantas memang jika sistem demokrasi menjadi lahan subur untuk para pelaku korupsi. Selain karena menjunjung tinggi kebebasan individualis, sistem ini juga telah merusak moral dengan cara pandang yang materialistis. Sanksi atas kejahatan pun tak pernah sepadan dan memberikan efek jera terhadap pelakunya.
Kejahatan korupsi telah menyebabkan kerusakan yang sangat besar bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Apalagi di masa pandemi seperti ini.
Lantas apakah hukuman yang layak untuk para pelaku korupsi di tengah pandemi?
Dilansir dari Kompas.com, - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai, Menteri Sosial Juliari P Batubara bisa terancam hukuman mati setelah terjerat kasus dugaan suap terkait pengadaan bantuan sosial Covid-19.
Mahfud mengatakan, Juliari bisa terancam hukuman mati kendati KPK hingga kini hanya menjeratnya dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Mahfud menjelaskan, ancaman hukuman mati sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001.
Adapun Pasal 2 Ayat (2) dalam UU itu menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan".
Misalnya, negara dalam keadaan bahaya. Kemudian terjadi bencana alam nasional, hingga negara dalam keadaan krisis ekonomi dan krisis moneter. Sedangkan, dalam kasus yang menimpa Juliari, ia melakukan korupsi ketika status Covid-19 sebagai bencana non-alam.
Ketidakjelasan sanksi dan pertimbangan atas hukuman mati ini menjadi alasan bahwa hukum dalam sistem ini tak dapat diharapkan. Sulit menerapkan sanksi yang bahkan telah ditegaskan dalam undang-undang. Berbagai pertimbangan kerap dijadikan acuan untuk menegakan keadilan.
Hingga tak heran jika korupsi pada saat ini tidak juga dapat diberantas. Hal ini karena tidak pernah ada sanksi hukum yang tegas dan membuat efek jera kepada pelakunya.
Berbeda halnya dengan sistem demokrasi, dalam Islam tujuan-tujuan utama untuk menjaga masyarakat bukan ditentukan oleh manusia, akan tetapi berdasarkan perintah-perintah Allah dan larangan-Nya. Aturan ini selalu tetap keadaannya, tidak akan pernah berubah ataupun berkembang.
Untuk menjaganya ditetapkanlah sanksi-sanksi yang tegas dan dibuatlah hukum-hukum yang menyangkut hudud (bentuk pelanggaran dan sanksinya ditetapkan Allah SWT) dan uqubat (sanksi pidana) untuk memelihara tujuan-tujuan yang bersifat baku tadi. Sehingga tindak kejahatan akan dapat diminimalisir karena sanksi yang pasti.
*(Muslimah Revowriter)
Tags
Opini