Oleh : Ranyassifa
Di era modern saat ini, peran ibu tidak hanya di rumah saja. Banyak dijumpai ibu yang juga menjadi pekerja. Dari yang menjadi karyawan kantoran hingga buruh di pabrik. Hal ini biasanya disebabkan karena faktor ekonomi. Kebutuhan hidup yang tidak mencukupi membuat para ibu turut mencari nafkah. Namun saat perempuan atau ibu khususnya menjadi pekerja, tidak hanya gaji yang didapat. Terkadang mereka juga mendapatkan tindakan kekerasan seksual hingga sulitnya mendapatkan cuti, baik cuti haid maupun cuti hamil.
Seperti yang disampaikan oleh Sarinah Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang mewakili serikat buruh Aice, salah satu pabrik yang memproduksi es krim Aice, menyatakan bahwa sejak tahun 2019 hingga saat ini sudah terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa dialami oleh buruh perempuan Aice. (theconversation.com)
Lalu Berdasarkan data yang ditampung Kalyanamitra,-organisasi perempuan nonpemerintah,- nasib buruh perempuan masih belum membaik. Terpenuhinya hak-hak buruh perempuan masih kurang hingga kini. “Isu kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja. kalau kita masih melihat data, kekerasan di tempat kerja masih terjadi hingga saat ini, terutama kekerasan seksual,” Listyowati, Ketua Kalyanamitra, Jumat (5/1/2020).
Dari fakta tersebut penyebab hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan Dinas Tenaga Kerja. “Kalau tidak ada pengawasan, kita tidak pernah tahu sebuah permasalahan sampai level grassroot. Pemerintah harusnya bisa melakukan monitor dan enforcement (penegakan hukum) ke perusahaan hingga menjadi mediator antara perusahaan dengan tenaga kerja”, jelas Ruri. (theconversation.com)
“Perlindungan pekerja itu seharusnya termasuk perlindungan pekerja perempuan dan anak baik dalam sektor formal dan non formal. Sektor formal relatif sudah baik, tetapi persoalannya ada di perlindungan terhadap pekerja perempuan nonformal yang tidak dilindungi sama sekali oleh hukum,” jelas M Nur Sholikin, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (theconversation.com)
Lalu bagaimana dengan Islam dalam memandang posisi perempuan? Perlukah kesetaraan gender dalam Islam? Bagaimana hukumnya dalam Islam jika perempuan bekerja?
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS an-Nahl [16]: 97).
Dalam hal ini, perhatian utama ajaran Islam adalah konsep keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan terutama bagi terjaminnya keamanan dan keharmonisan hubungan antarmanusia, selain pula guna mencegah timbulnya kezaliman dan penindasan yang membawa kehancuran dan kerusakan. Sehingga dalam Islam baik perempuan maupun laki-laki dipandang sama di hadapan Allah selama mereka beriman. Sedangkan wanita bekerja dalam Islam hukumnya mubah selama tidak menganggu yang wajib.
Namun, dari semua pemaparan ini penyebab utamanya adalah faktor ekonomi dimana seorang ibu dipaksa atau diwajibkan untuk ikut mencari nafkah. Sebaliknya jika kondisi ekonomi suatu negara baik, maka seorang ibu dapat dengan optimal menjalankan perannya di rumah.
Islam sebagai solusi tuntas untuk semua masalah yang mencakup aspek kehidupan, tentu sangat fokus terhadap nasib ibu. Sejarah mencatat Islam mampu mensejahterakan rakyatnya hanya dalam kurun waktu tiga tahun dibawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam masa tersebut tidak ditemukan pengemis dan orang fakir. Jadi, seandainya Islam kembali diterapkan seluruhnya dalam kehidupan maka para ibu tidak perlu lagi terpaksa keluar rumah untuk bekerja.
Wallahu 'Alam bi shawab
Tags
Keluarga