Oleh : Miliani Ahmad
Mendidik generasi di era milenial saat ini merupakan tantangan tersendiri bagi para guru. Teknologi secara tidak langsung banyak mempengaruhi tingkah pola para peserta didik. Apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan sosial media saat ini yang banyak menjadi life style anak didik.Tak jarang banyak konten yang memicu perilaku ikut-ikutan.
Menurut pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, maraknya kenakalan remaja pada guru makin menguat karena faktor media sosial yang mudah menyebarkan perilaku tersebut. Sehingga secara paradoks bagi siswa yang sudah bermasalah menjadi lebih berani melakukan bullying pada gurunya. Apalagi jika masyarakat permisif dan karena alasan HAM hukuman bagi siswa pelanggar tidak membuat mereka malu dan jera.
Di negeri ini, kasus kekerasan terhadap guru bukanlah hal baru yang menimpa dunia pendidikan saat ini. Meskipun tak bisa disangkal bahwa kekerasan guru terhadap siswa pun juga ada. Dinamika kejadian demikian terus berulang dan seakan susah untuk memutus mata rantainya.
Sejumlah regulasi yang memuat pasal tentang perlindungan guru, seperti tertuang dalam pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pasal 40 ayat (1) dan pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru. Ada pula Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan.
Ada empat macam perlindungan yang diatur dalam Permendikbud tersebut, yaitu perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak atas kekayaan intelektual. Disebutkan pula bahwa perlindungan terhadap guru dan tenaga kependidikan itu merupakan kewajiban semua pihak, mulai dari pemerintah, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, satuan pendidikan, organisasi profesi, dan masyarakat.
Pendidikan Gagal Membentuk Karakter Generasi
Meskipun telah banyak regulasi yang dilahirkan, nyatanya kerusakan perilaku generasi terus terjadi. Perilaku kekerasan terhadap guru yang dilakukan siswa didik telah mengkonfirmasi bukti kegagalan pendidikan dalam membentuk karakter generasi.
Jalan yang mengemuka untuk meminimalisir perilaku kekerasan tersebut adalah dengan mewajibkan para guru memiliki keseluruhan kompetensi sesuai amanat dalam PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Kompetensi tersebut adalah kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keempat kompetensi itu bersifat holistik, sehingga seluruh kompetensi itu wajib dimiliki oleh seorang guru.
Namun sepanjang perjalanannya kompetensi yang dimiliki para guru ini tidak sebanding dengan perubahan sikap siswa didik.
Saat ini, pola didik dalam sistem pendidikan lebih terfokus kepada pencapaian nilai akademik serta kepatuhan pada standarisasi dokumen dibanding melahirkan manusia berkarakter. Siswa sangat kurang diajarkan mengenai masalah bagaimana melatih regulasi pikir dan juga kendali emosi.
Hal ini semakin diperparah dengan adopsi sistem negara yang berkiblat kepada kapitalisme. Sistem ini telah memicu perputaran roda pendidikan kearah ekonomi. Siswa didik yang dibina di sekolah hanya dilahirkan untuk menjadi mesin ekonomi atau produksi. Orientasi pendidikan hanya ditujukan untuk memenuhi lapangan pekerjaan yang memang sangat dibutuhkan bagi kapitalis. Jadilah anak didik di negeri ini lebih berlomba kepada nilai akademis dibanding nilai karakter yang semestinya dimiliki generasi.
Akibatnya pembinaan terhadap karakter generasi menjadi terlantar. Hal ini semakin menguat tatkala mata pelajaran agama yang menjadi salah satu komponen penunjang pembentukan karakter tidak memiliki porsi yang besar dalam proses pembelajaran setiap minggunya.
Padahal, mata pelajaran agama sangat dibutuhkan. Dari agama lah siswa didik menjadi tahu bagaimana adab terhadap guru. Mereka pun bisa memilah mana yang baik atau tidak. Setidaknya dari mata pelajaran agama mereka bisa menemukan jati diri mereka sebagai generasi yang bisa memberikan kontribusi positif bagi negeri bukan sebatas menjadi mesin produksi. Tidak heran akhirnya siswa didik memiliki kekacauan dalam berperilaku ketika berhadapan dengan gurunya.
Kekacauan perilaku ini tak berlepas dari pola sistem yang dijalankan oleh negara. Kapitalisme yang berlandaskan sekulerisme telah menjadikan dunia pendidikan jauh dari tata aturan norma. Adab-adab yang berlaku bagi siswa didik terhadap guru tak bisa dijalankan dengan sebagaimana mestinya. Para guru pun juga banyak terbebani dengan berbagai macam target demi memenuhi sertifikasi dan kompetensi. Maka baik guru maupun siswa mereka semua adalah korban kegagalan sistem yang diadopsi negara.
Islam Membentuk Generasi Berkarakter
Dalam Islam pola pendidikan yang dijalankan keseluruhannya berbasis aqidah Islam. Baik guru atau pun siswa didik diarahkan agar memiliki frekuensi pemahaman yang sama dalam menjalankan syariah yang telah ditetapkan. Guru memiliki rambu bagaimana memperlakukan siswa didiknya. Sebaliknya para siswa harus memiliki adab ketika berhadapan dengan gurunya.
Banyak sekali masalah-masalah adab yang telah diajarkan Islam kepada umatnya. Menurut Syaikh Burhanuddin dalam kitab Ta’lim Muta’allim menjelaskan,
ومن توقير المعلم أن لايمشى أمامه، ولا يجلس مكانه، ولا يبتدئ بالكلام عنده إلا بإذنه، ولا يكثر الكلام عنده، ولا يسأل شيئا عند ملالته ويراعى الوقت، ولا يدق الباب بل يصبر حتى يخرج الأستاذ
Bahwa termasuk arti menghormati guru, yaitu jangan berjalan di depannya; jangan duduk di tempatnya; jangan memulai mengajak bicara kecuali atas perkenan darinya; jangan berbicara macam-macam darinya; dan jangan menanyakan hal-hal yang membosankannya. Cukuplah dengan sabar menanti di luar hingga ia sendiri yang keluar dari rumah.
Selain masalah adab, pendidikan di dalam Islam bertujuan melahirkan generasi yang memiliki syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam). Hal ini hanya bisa diperoleh jika terpenuhi dua komponen yaitu adanya pola pikir Islamiyah dan pola sikap Islamiyah. Islam tidak hanya memfokuskan bagaimana mencetak pola pikir saja tetapi, Islam mengkombinasikannya juga dengan pembentukan pola sikap yang berlandaskan syariat Islam. Siswa didik akan diajarkan bagaimana memilah perbuatan yang terkategori baik dan buruk, terpuji atau tercela. Mereka juga akan memahami standar halal dan haram dalam berbuat.
Dengan demikian, siswa didik mampu tampil menjadi manusia yang tak hanya menguasai sainstek tetapi juga memiliki kepribadian mulia. Itulah mengapa generasi-generasi yang lahir dari rahim sistem Islam merupakan generasi terbaik. Mereka lahir dengan memiliki keagungan sikap sekaligus mampu menguasai zamannya. Guru bagi mereka begitu mulia. Pantang bagi mereka untuk membentak bahkan melakukan kekerasan terhadap para guru. Karena keberkahan ilmu terletak pada keridaan sang guru.
Wallahu a'lam bish-shawwab