Formasi baru MUI, harus tetap lantang membela Islam



Oleh : Yauma Bunga Yusyananda

( Anggota Komunitas Ksatria Aksara Kota Bandung )

 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki kepengurusan baru untuk periode 2020-2025. Menggantikan KH. Ma’ruf Amin, KH. Miftahul Akhyar didaulat sebagai Ketua Umum MUI 2020-2025. Hal tersebut ditetapkan pada Musyawarah Nasional (Munas) ke X yang dipimpin oleh KH. Ma’ruf Amin sebagai Ketua Tim Formatur pada Jum’at, 27 November 2020. Saat ini Kh. Ma’ruf Amin menempati posisi sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI sekaligus Wakil Presiden periode 2019-2024. (jawapos.com 27/11/2020)

MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewadahi ulama, zu’ama (pemimpin/tokoh), dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. (mui.or.id)

Lembaga ini yang sering diminta fatwa atau nasihat perihal masalah keagamaan untuk dijadikan solusi umum bagi masyarakat Indonesia, maka penting didalam wadah organisasi ini adalah orang-orang yang faqih dan tidak memihak kepentingan manapun selain kepentingan Islam dan ummat.

Kiprah Ulama

Jikapun ada isu wajah baru MUI saat ini adalah para ulama yang pro rezim karena ada campur tangan dari wapres sendiri sebagai ketua MUI sebelumnya. Dan  wajah lama hilang misalnya nama Din Syamsuddin dan sejumlah ulama identik dikaitkan dengan Aksi 212 terdepak dari kepengurusan.

Namun kita harus memahami bahwa inilah alam demokrasi yang sekuler yang mencoba memisahkan antara politik dengan Islam, yang tidak pernah adil bagi kaum muslimin. Kita memang tidak bisa asal curiga dengan pihak terkait mengmbil dalih regenerasi organisasi, namun faktanya dari peristiwa 212 kita sadari bahwa ummat ini masih memiliki rasa persatuan Islam yang luar biasa untuk menentan kedzaliman, baik saat bagaimana Al Qur’an dilecehkan, Rasulullah dihinakan dan Bendera Tauhid dibakar.

Maka diharapkan ulama, zu’ama serta cendekiawan muslim yang ada dalam wadah lembaga MUI adalah orang-orang yang tidak goyah keimanannya dan senantiasa membela kepentingan ummat Islam, serta sangat keras dalam menentang kedzaliman.

Ulama tidak boleh gentar, justru harus ada kesadaran bahwa Majelis Ulama wajib mencontohkan sikap menentang kedzaliman dan muhasabah lil hukkam. Muhasabah lil hukkam yaitu memperingati penguasa serta amar ma’ruf nahyi munkar pada penguasa. Karena sejatinya makna politik dalam Islam tidak terpisah, politik adalah mengurusi urusan umat yang tentu menjaga ummat serta seluruh masyarakat ada dalam ketaatan kepada Allah. Ulama juga wajib mewaspadai arus moderasi yg memanfaatkan posisi mereka untuk sebuah kepentingan lain diatas kepentingan ummat.

Dari Abu Dzar berkata, “Dahulu saya pernah berjalan bersama Rasulullah , lalu beliau bersabda, “Sungguh bukan dajjal yang aku takutkan atas umatku.” Beliau mengatakan tiga kali, maka saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah selain dajjal yang paling Engkau takutkan atas umatmu?” Beliau menjawab, para tokoh yang menyesatkan.” (Musnad Ahmad (35/222))

Anas ra. meriwayatkan, “Ulama adalah kepercayaan Rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik terhadap dunia, maka mereka telah mengkhianati para Rasul, karena itu jauhilah mereka.” (HR al Hakim)

Ummat ini masih sangat bersemangat membela Islam sehingga Ulama harus memiliki sifat yang mampu dicontoh ummat untuk senantiasa membela Islam dalam segala kondisi apapun. Ulama harus fokus dalam kiprahnya untuk menyatukan dan menyadarkan ummat bahwa Islam sangat penting untuk diterapkan dalam seluruh kehidupan dengan gambaran yang jelas. Islam adalah kebutuhan dan obat penyembuh bagi berbagai penyakit termasuk kerusakan dalam sistem ini yang ingin tidak mencampuradukkan politik dan Islam. Padahal politik dalam Islam tidaklah identik dengan politik yang kotor, namun politik yang bersahaja mampu mengurusi ummat hingga 13 abad lamanya dalam kancah sejarah. Benarlah apa yang dikatakan dalam hadits bahwa satu per satu simpul-simpul Islam akan lepas, dan yang pertama adalah pemerintahan.

Sungguh, simpul-simpul Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali satu simpul terlepas, orang-orang bergantung pada simpul berikutnya. Yang pertama terlepas adalah al-hukm (pemerintahan/hukum) dan yang terakhir adalah shalat (HR Ahmad).

Agama dan politik bagaikan dua saudara kembar yang lahir dari satu ibu, begitu petuah Imam Al-Ghazali (1059-1111). Bahkan, penulis “Kitab Ihya Ulumuddin” itu melihat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sebagaimana kata Imam Ghazali, agama sebagai penyangga dan politik (penguasa) sebagai penjaga. Agama saja tanpa negara tidak akan aman karena tak ada penjaga. Manusia akan sesenaknya sendiri dalam beragama. Mereka akan mudah memutar balikkan perintah agama. Begitu pula negara, tanpa agama akan membuat negara rapuh dan tanpa arah. (muslimahnews.com)

Tetap memerlukan Persatuan Kaum Muslimin

Seperti yang dikatakan oleh KH. Ma’ruf sendiri pada sambutan penutupan Munas X, bahwa belum ada orang yang mampu menjadi Imam bagi ummat ini. (tribunnews.com 27/11/2020) Karena kenyataannya hari ini, hanya tokoh-tokoh masing ormas yang terpisah dan tidak mampu menyatukan kaum muslimin.  Dan tidak cukup sekedar lembaga seperti MUI yang mampu menjadi imam bagi kaum muslimin. Karena kaum muslimin adalah umat yang besar yang memerlukan imam untuk satu dunia, yaitu ada dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Yang menerapkan Islam tanpa mensekulerkan kehidupan dengan agama. Karena dengan Khilafah, ulama mampu fokus berkiprah tanpa salah arah, dan dengan Khilafah persatuan kaum muslimin seluruh dunia terjaga serta mendapat keberkahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’alaa. Insyaa Allah

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak