Oleh : Habiba Mufida (Praktisi kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Sudah sekitar sembilan bulan pandemic covid-19 melanda dunia. Kini Indonesia dan beberapa negara dunia telah memasuki fase berat yakni fase “Pandemic Fatigue”. Pandemic Fatigue bisa dimaknai sebagai fase dimana kebanyakan orang mengalami kelelahan fisik dan mental akibat pandemi yang tak kunjung usai. Gejala ini telah nampak nyata sedang melanda masyarakat, terkhusus di Indonesia tersebab pandemic corona tak kunjung usai.
Pada awal pandemi, mungkin mudah bagi mereka untuk mematuhi protokol kesehatan. Menjadi kebiasaan untuk semprot desinfektan, sering mencuci tangan, memakai hand sainitizer ketika di luar rumah, bahkan mengganti masker setiap 4 jam. Namun sekarang mematuhi itu semua seolah menjadi sangat berat.
Terlebih mereka masih harus terbebani dengan kewajiban mencari nafkah. Peduli amat dengan protokol kesehatan yang penting mereka bisa makan dan bertahan hidup. Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang plin-plan nampaknya cukup membuat rakyat semakin jengah. Bagaimana tidak, ketika kegiatan keagamaan dilarang dan dikenakan UU kekarantinaan kesehatan, namun kegiatan konser bahkan pilkada tetap diadakan.
Wajar jika epidemiolog dari Griffth University Australia, Dicky Budiman menyatakan bahwa sikap pemerintah Indonesia lah yang menjadikan kasus harian Indonesia terus saja bertambah. Menurutnya pemerintah selama ini telah melakukan tebang pilih atau diskriminatif terhadap penanangan covid-19 (kontan.co.id). Wajar jika masyarakat pun semakin hari bukannya semakin disiplin terhadap protokol kesehatan, namun justru semakin menyepelekan.
Padahal, wabah covid-19 di Indonesia bahkan dikatakan belum melewati first wave dari kurva pandemi. Angka kasus harian yang terinfeksi kian meroket tajam. Bakan terus naik ke puncaknya entah kapan akan melandai. Tak terelakkan, jumlah kasus kematian pun semakin bertambah tak terkendali. Berdasarkan situs covid19.go.id, kasus positif covid-19 di Indonesia telah mencapai 623.309 orang hingga Senin (14/12/2020). Jumlah tersebut didapatkan setelah ada penambahan sebanyak 5.489 kasus dalam 24 jam terakhir. Sementara itu, ada penambahan 137 kasus kematian akibat Covid-19. Maka, pasien Covid-19 meninggal dunia jadi 18.956 orang.
Kondisi “pandemic fatigue” sebenarnya merupakan hal yang wajar terjadi. Menurut teori psikologi, perubahan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan semisal mematuhi protokol kesehatan, diet zat pangan, berhenti merokok ketika dilakukan selama 6 bulan, ada kemungkinan 50% orang akan kembali ke kebiasaan lamanya. Maka ketika sekarang sudah 9 bulan kita lalui, wajar saja jika patuh terhadap protokol kesehatan merupakan hal yang berat. Di sisi lain, banyak sekali informasi hoaks seputar pandemi disebaran secara luas oleh pihak tak bertanggungjawab. Semakin parah karena lemahnya literasi masyarakat, sehingga mereka mudah sekali percaya tanpa ada klarifikasi.
Namun yang jadi masalah, mengapa pandemi ini tak juga bisa untuk diakhiri? Bahkan semakin lama semakin tak terkendali? Bahkan kemampuan dari fasilitas kesehatan sudah diambang kemampuan untuk menangani. Banyak kasus yang akhirnya tidak bisa tertangani secara optimal dikarenakan penuhnya kapasitas RS rujukan yang ditugasi. Sedang tenaga kesehatan dipaksa untuk tetap bertahan di dalam kondisi ini. Padahal posisi mereka tak terkecuali juga sedang mengalami kelelahan luar biasa bahkan tak sedikit yang harus meregang nyawa. Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Muhammad Adib Khumaidi, mengatakan 194 dokter meninggal karena Covid-19 per tanggal 10 Desember 2020.
Maka, saat ini sudah sepatutnya lah dunia tak terkecuali negeri ini mau mengaca. Bagaimana wajah dunia meghadapi pandemi? Ada apa hingga saat ini tak juga mampu mengatasi? Hingga nyawa manusia seolah tak lagi berarti? Dan harus pula menyadari bahwa dunia terkhusus Indonesia telah gagal menanggulangi pandemi. Berikut juga mengeveluasi penyebab yang menjadikannya gagal, bukan semakin congkak dengan kegagalannya dan menutup diri untuk mencari alternatif solusi.
Jika ada yang mengatakan bahwa pandemi ini akan berakhir dengan adanya vaksin, benarkah? Padahal para ilmuwan masih meragukannya, dikarenakan adanya kemungkinan mutasi virus dan bertambahnyanya virulensinya. Belum lagi adanya potensi komersialisasi vaksin oleh negara yang mampu memproduksi vaskin kepada negara miskin. Lalu lagi-lagi, bagaimana nasib nyawa manusia di dunia. Sedang tabiat kapitalisme tak bisa dipungkiri adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya denagn berbagai cara. Bahkan, dalam kondisi pandemi seperti ini tak dipungkiri jika ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan bisa untung di atas menderitaan umat manusia.
Maka, perlu disadari oleh umat manusia di dunia bahwa penanganan sebuah pandemi bukanlah persoalan teknis medis semata. Namun, perkara ini berkaitan erat dengan cara pandang terhadap manusia, kesehatan, dan keselamatan jiwa. Kita ketahui, bahwa kapitalisme merupakan ideologi dimana pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Negara tidak bisa melakukan intervensi karena sifatnya hanya regulator saja. Maka dalam menangani pandemi fokus utamanya adalah si pemilik modal ini tak boleh merugi, maka jelas nyawa manusia tak ada harganya dibanding kerugian ekonomi.
Berbeda dengan Islam. Islam memberikan penghargaan tertinggi pada nyawa manusia, sebagaimana hadist dari Rasulullah, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasa’i). Begitu juga Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS Al Maidah [5]:3).
Maka kebijakan yang diambil oleh Islam dalam menangani pandemi harus secepat mungkin dan sebisa mungkin tidak ada korban jiwa. Ada beberapa prinsip Islam dalam penanggulangan wabah sehingga segera berakhir tanpa korban lebih banyak lagi. Maka kebijakan lockdown adalah hal yang harus dilakukan ketika terjadi wabah. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw, “Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim). Namun, nyatanya lockdown justru ditolak mentah-mentah oleh berbagai negara dunia, tak terkecuali Indonesia.
Selanjutnya adalah mengisolasi orang yang sakit. Sabda Rasulullah saw, “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.”(HR Imam Bukhari). Begitu juga menjaga yang sehat agar tidak sampai tertular yang sakit dengan berbagai upaya. Tentunya kebijakan yang benar-benar memanusiakan manusia bukan kebijakan yang hanya memikirkan kepentingan penguasa. Sehingga, rakyat pun tidak akan pernah mengalami dilema dan mau patuh terhadap segala kebijakan yang ditetapkan negara.
Kemudian, diupayakan adanya pengobatan segera hingga sembuh. Bersabada Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan diadakan-Nya bagi tiap-tiap penyakit obatnya maka berobatlah kamu, tetapi janganlah berobat dengan yang haram.” Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok rakyat, sehingga negara wajib memberikannya secara cuma-cuma alias gratis. Tidak boleh dikomersilkan sebagaimana kapitalisme saat ini. Termasuk pengadaan vaksin yag didukung dengan penelitian yang memadai untuk seluruh umat manusia. Hal ini tentu didukung sepenuhnya oleh sistem kesehatan Islam yang merupakan hasil dari penerapan secara total sistem kehidupan Islam yakni sistem ekonomi dan politik Islam berikut sekumpulan konsep sahihnya.
Dengan paradigma dan prinsip seperti itu seharusnya menjadi mudah untuk menyelesaikan wabah. Begitulah Islam sebagai sistem kehidupan yang sohih dengan seperangkat aturan yang kompleks mampu menjadi solusi setiap problematika dunia. Wallahua’lam bi shawab.