Oleh: Endah Husna
Sungguh fantastis dan mencengangkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan alokasi dana untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) naik Rp 5,23 triliun dari Rp 15,23 triliun menjadi 20,46 triliun. Kenaikan terjadi karena pemerintah harus menyiapkan protokol kesehatan selama pilkada berlangsung. Ia bilang dana sebesar Rp 15,23 triliun akan ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kemudian, sisanya sekitar Rp 4,77 triliun menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Diketahui, Presiden Joko widodo menegaskan bahwa tahapan pelaksanaan pilkada serentak 2020 di 270 daerah akan tetap dilaksanakan meski pandemi belum berakhir. (CNN Indonesia, Selasa 22/09/2020)
Tampaknya kritik dan berbagai saran dari para ahli tidak menghalangi pilkada ini digelar. Salah satunya datang dari Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, mendorong pemerintah dan DPR menunda pelaksanaan Pilkada 2020. Sebab, jika tetap dilakukan maka pilkada sangat berpotensi menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.
"Sikap berkeras diri untuk tetap melangsungkan Pilkada 2020 bukanlah sebuah sikap bijak dari sebuah pemerintahan demokratis yang terbentuk atas dasar kehendak rakyat," kata Firman, dalam telekonferensi, kamis(1/10/2020)
Setidaknya ada 12 pertimbangan dari LIPI terkait betapa perlunya pelaksanaan pilkada 2020 ditunda. Diantaranya adalah, penyelenggaraan pilkada 2020 berpotensi menimbulkan pelanggaran kemanusiaan akibat terabaikannya aspek-aspek keselamatan manusia, ambivelen atau bertentangan dengan semangat mencegah Covid-19. Firman mengatakan pemerintah membuat aturan pembatasan sosial, namun justru mengadakan pilkada yang berpotensi menimbulkan kerumunan.
Ketidaksepakatan pilkada dilaksanakan di tengah pandemi selanjutnya datang dari Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito menyebut, 45 kab/kota yang akan melaksanakan pilkada serentak dalam bulan desember 2020 adalah zona merah Covid-19. Ini jelas berbahaya. Selain itu, laporan kasus baru Covid-19 yang dicatat Indonesia tersebut merupakan yang tertinggi di antara negara Asia Tenggara lainnya (tribunnews.com, 18/09/2020).
Menanggapi usulan dan permintaan penundaan tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan penundaan pilkada hanya bisa dilakukan lewat UU atau perppu. Untuk UU, waktu sudah tidak memungkinkan, sedangkan untuk pembuatan perppu, belum tentu mendapat dukungan DPR. Wacana penundaan pilkada pernah dibahas oleh pemerintah, KPU dan DPR. Namun waktu itu, kata Mahfud, diputuskan pilkada tetap digelar 9 Desember 2020.
Ada dua alasan. Pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas. Kedua, jika ditunda karena Covid-19, tidak ada kepastian sampai kapan Covid-19 berhenti dan tidak lagi berbahaya. Karena sampai hari ini, angka positif Covid-19 masih terus menanjak (beritasatu.com, 14/09/2020)
Betapa memprihatinkan, sekian banyak ahli yang menyampaikan bahwa berbahaya jika pilkada dilaksanakan di tengah pandemi, namun tak menyurutkan pemerintah untuk tetap melaksanakannya. Pemerintah cenderung mengesampingkan kesehatan dan keselamatan nyawa rakyatnya. Begitu murah nyawa rakyat dihadapan demokrasi, karena demokrasi tidak sesuai dengan fitrah insani.
Sejatinya pilkada 2020 ngotot tetap dilaksanakan adalah tidak lain untuk melanggengkan kursi kekuasaan menuju Pemilu 2024. Pemerintah mementingkan kekuasaan dan acuh terhadap penanggulan pandemi yang sudah menyebabkan kematian ribuan orang.
Sungguh berbeda dalam Islam, Islam sangat menghargai nyawa satu manusia, Allah SWT berfirman, yang artinya,"......Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." (TQS. AL-Maidah 5: 32).
Dalam Islam pengangkatan kepala Daerahnya juga tidak membutuhkan biaya mahal serta efektif dan efisien dan tanpa harus melalui proses panjang.
Dalam Islam, disebut dengan Khilafah, yakni Sistem pemerintahan Islam yang menggunakan Undang-Undangnya bersumber dari Alquran dan Assunnah. Sumber yang pasti tepat untuk mengatur seluruh urusan manusia. Dalam sistem Islam (Khilafah), negeri yang diperintahnya dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut wilayah (provinsi), pemimpinya disebut wali (gubernur). Kemudian setiap provinsi dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut Imalah ( karesidenan), pemimpinnya disebut amil atau hakim.
Wali sebagai penguasa untuk suatu wilayah (provinsi) diangkat oleh Khalifah. Wali harus memenuhi syarat-syarat: seorang laki-laki, merdeka, muslim, balig, berakal, adil, dan mampu.
Sungguh, pengangkatan pejabat daerah di dalam Islam tidak akan memakan biaya banyak, lebih efektif dan tidak mewajibkan rakyatnya untuk menantang maut dengan datang untuk memilih ditengah pandemi.
Kemudian jika sudah terpilih, seluruh pejabat negara benar-benar amanah, karena mereka paham, mereka terpilih menjadi pemimpin untuk mengurusi rakyatnya secara sunguh-sungguh dan pelindung rakyat, baik dari ancaman kelaparan, kemiskinan, dan termasuk penyakit yakni dalam hal ini adalah potensi tertular Covid-19, benar-benar difikirkan.
Jadi jika dibandingkan antara sistem demokrasi yang diterapkan sekarang ini dengan Islam yang sudah Rasulullah saw terapkan hampir 1300 tahun, maka pilihan yang tidak perlu berpikir panjang, jatuh pada aturan Islam yang tepat. Pilih Islam, mulai dari mengatur akhlak hingga bagaimana memilih aparatur negara, ada dalam Islam. Maka Islam lengkap dan asti pas.
Bagaimana dengan Anda wahai pemilik hati-hati yang lurus dan ikhlas? Apa selanjutnya pilihan Anda? Setiap pilihan ada konsekuensinya, maka takutlah kepada Allah pemilik pembalasan yang amat pedih bagi pelanggarnya.
Wallahu a'lam biasshawab.