Oleh: Rayani Umma Aqila
Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada) serentak hari
Rabu 9 Desember 2020 yang dilangsungkan di tengah pandemi masih terus meluas, perebakan
pandemi virus corona membuat pelaksanaannya berbeda dengan pilkada di tahun-tahun
sebelumnya. Dan tak hanya itu tren Dinasti politik masih menyeruak tak menyisakan
ruang untuk bergeming.
Dinasti politik yang melingkupi tak hanya di
Daerah namun juga di pusat pemerintahan. Seperti membahas perihal dinamika politik
di Provinsi Banten, selalu tidak lepas dari keluarga mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah.
Pada Pilkada serentak 2020, calon kepala daerah yang berasal dari keluarga Ratu
Atut bakal bisa dipastikan menyapu kemenangan di tiga daerah; Kabupaten Serang,
Kabupaten Pandeglang dan Kota Tangerang Selatan. (Merdeka.com 12/12/2020).
Sebelumnya KPU menyelenggarakan pilkada serentak
di 270 daerah untuk memilih gubernur di sembilan dari 34 propinsi, bupati di 224
dari 416 kabupaten dan walikota di 37 dari 98 kota. Diperkirakan ada lebih dari
100 juta warga yang memiliki hak suara. Tetapi sejumlah kota melaporkan jumlah pemilih
kurang dari separuh yang terdaftar. Tingginya jumlah warga yang tidak memberikan
suara atau dikenal sebagai golput ini memang sudah diperkirakan sebelumnya, tidak
saja karena kekhawatiran warga akan perebakan pandemi, tetapi juga sedikitnya pilihan
tokoh yang dapat dipilih.
Pilkada 2020 ini juga memunculkan dinasti politik
baru dengan keikutsertaaan beberapa anggota keluarga orang nomor satu dan nomor
dua Indonesia, juga keponakan para mantan pemimpin. Sebut saja putra pertama Presiden
Joko Widodo – Gibran Rakabuming Raka – yang mencalonkan diri sebagai walikota Solo
dan menantu laki-laki Jokowi – Bobby Nasution – yang mencalonkan diri sebagai walikota
Medan.(katadata.co.id 12/12).
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun
2020 semakin menunjukkan penguatan dinasti politik. Berdasarkan hasil hitung cepat
sejumlah lembaga survei dan Sistem Informasi dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum
(Sirekap KPU), sederet kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat
memenangi pesta politik lima tahunan tersebut. Kemenangan keluarga petahana dalam
Pilkada 2020, menegaskan bahwa demokrasi tak bisa melepaskan diri dari politik dinasti
sebab,di satu sisi praktik politik dinasti merampas hak orang lain karena berpotensi
menggunakan cara-cara yang tidak benar yang melanggar prinsip demokrasi dan hak
asasi manusia yang diagungkan oleh pemuja demokrasi itu sendiri.
Pada sisi lain, pelarangan terhadap seseorang
yang mempunyai hak untuk dipilih akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kebetulan
merupakan bagian dari dinasti politik tertentu, juga melanggar hak politik seseorang
sehingga bertentangan dengan asas demokrasi. Jika dilihat politik dinasti sudah
dikenal dan menggejala jauh sebelum Indonesia merdeka. Di tingkat desa, pada suksesi
kepemimpinan pemilihan kepala desa sangat lumrah diwarnai dengan politik dinasti.
Walau tetap dengan pemilihan langsung, calon yang ikut kompetisi berasal dari dinastinya,
seperti istri, anak atau kerabatnya.
Fenomena pemilihan kepala desa secara langsung,
politik dinasti juga menjadi hal yang lumrah. Walau dipilih secara langsung, peranan
ke-dinasti-an tetap berjalan, walaupun dengan proses demokrasi. Bahkan memasuki
era reformasi yang merubah memperoleh kekuasaan dengan demokrasi, pemilihan langsung,
praktik politik dinasti benar-benar menggejala.
Karena campur tangan pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan, kekuatan, pengaruh dan infrastruktur politik. Dan sangat begitu jelas
bahwa politik oligarki adalah bagian penting dalam politik demokrasi. Demikian kuatnya
kekuatan modal dan kekuasaan mereka sehingga para elite penguasa begitu melanggengkan kedudukannya untuk terus berkuasa.
Melalui dinasti politik yang dimenangkan oleh pihak keluarga petahana, hal ini membuktikan
bahwa pengaruh kekuasaan itu semakin kuat.
Tidak mengherankan, jika para elit politik dalam
demokrasi lekat dengan kekuasaan, kekuatan, politik uang dan juga korupsi. Demokrasi
yang diagung-agungkan tak lebih sistem yang merusak. Dan untuk mempertahankannya,
segala hal dilakukan, tampak demokratis namun kenyataannya hanya pada keluarganya dan orang terdekat yang diberikan jabatan. Diakui atau tidak, politik
dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin.Karena politik
dinasti, cenderung mengabaikan kompetensi dan rekam jejak.
Secara jujur publik juga paham bagaimana calon
pemimpin masih minim jam terbang di dunia
politik dan masih sangat rendah. Namun begitu regulasi tidak ada pasal yang melarang
mereka menggunakan hak sebagai warga negara untuk ikut kontestasi di pilkada. Siapa
yang tidak tahu kalau mereka adalah anak dan menantu presiden. Sinyalemen inilah
yang menjadi spekulasi publik bahwa ada campur tangan kekuasaan. Baik langsung maupun
tidak langsung.
Politik dinasti dianggap salah, karena berpotensi
kuat menyuburkan budaya koruptif. Betapa tidak, politik dinasti dapat diartikan
sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih
terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti lebih indentik dengan kekerabatan,
termasuk kekerabatan secara politik.
Dengan demikian secara politik, ada kecenderungan
mempertahankan kekuasaan dengan cara menyuburkan politik dinasti. Jangan sampai
kekuasaan direbut oleh lawan politiknya, atau kelompok yang berseberangan. Seseorang
bisa diistimewakan karena dinasti politik, sementara kader yang jauh dari kekerabatan
kesempatannya menjadi hilang. Dengan politik dinasti membuka peluang orang yang
tidak kompeten memiliki kekuasaan. Alhasil kedaulatan rakyat hanya ilusi, karena
keputusan di tangan kaum kapitalis dan pemilik kursi atau petahana. Suara rakyat
untuk kesejahteraan hanya angin lalu yang dibutuhkan jika pencalonan, setelah berkuasa
tak akan diperhatikan lagi.
Berbeda dengan Islam, politik dinasti tak dikenal
seperti dalam demokrasi. Dalam Islam sistem pemerintahan Islam disebut Daulah Islam
atau khilafah. Kedaulatan pada sistem pemerintahan Islam berada di tangan hukum
syara. Penguasa ditunjuk untuk menjalankan seluruh syariat Islam pada setiap tatanan
kehidupan dan urusan rakyat sesuai Al-Qur’an serta sunnah.
Kepemimpinan hanya akan diraih dengan syarat
yang ditentukan oleh syariat dengan mendapatkan dukungan penuh yang nyata dari umat,
karena calon pemimpin telah dikenal ketakwaan serta kecakapannya untuk menjalankan
seluruh syariat Islam. Khilafah adalah sistem yang datang dari pencipta, yang membawa
dan menerapkan hukum-hukum-Nya di setiap aspek kehidupan. Khilafah merupakan bagian
dari ajaran Islam yang tidak akan pupus oleh masa seperti sistem saat ini. Menegakkan
khilafah adalah bentuk takwa dan janji Allah SWT kepada kaum Muslimin. Dan ini bisa
terwujud jika umat bersedia mengambil dan menerapkannya.
Wallahu
a’lam bi showwab.