Dilema Buruh Perempuan Dalam Sistem Kapitalis



Oleh : Desi Anggraini

 (Praktisi Pendidikan Palembang)

“Saya sudah bilang ke HRD, saya punya riwayat endometriosis jadi tidak bisa melakukan pekerjaan kasar seperti mengangkat barang dengan beban berat,”

Itulah pengakuan salah satu buruh perempuan yang bekerja pada perusahaan produsen es krim PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice, Elitha Tri Novianty. Perempuan berusia 25 tahun ini sudah berusaha mengajukan pemindahan divisi kerja karena penyakit endometriosisnya kambuh. Tapi apa daya, perusahaan justru mengancam akan menghentikannya dari pekerjaan.

Elitha terdesak dan tidak punya pilihan lain selain terus bekerja. Akhirnya, dia pun mengalami pendarahan hebat akibat bobot pekerjaannya yang berlebihan. Elitha terpaksa melakukan operasi kuret pada Februari lalu, yang berarti jaringan dari dalam rahimnya diangkat. Elitha hanya satu dari banyak buruh perempuan yang hak-haknya terabaikan oleh Aice. ( The Conversation, 18 Maret 2020 )

Negara yang mengadopsi sistem kapitalisme tidak pernah memposisikan perempuan sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Sistem buatan manusia ini memandang perempuan sebagai faktor produksi, bahkan sebagai barang komoditas.

Dalam sistem kapitalisme dan rezim neolib, perempuan akan diposisikan sama seperti laki-laki yang berkontribusi memberikan sumbangan materi, sehingga negara mendapat pendapatan lebih besar. Perempuan di dunia menghadapi persoalan yang kompleks.

Dengan alasan meningkatkan pendapatan negara dan menyejahterakan masyarakat, perempuan dieksploitasi secara fisik meski mengorbankan kehormatan dan peran utama sebagai pengasuh dan pendidik generasi.

Ekonomi kapitalistik bertanggung jawab atas semua ini, menyebabkan kekayaan hanya berada di tangan segelintir orang. Sementara, jumlah kaum papa di dunia semakin bertambah, kemiskinan global yang terjadi memaksa para perempuan ikut arus eksploitasi ekonomi. Menambah berbagai permasalahan sosial dan menyumbang degradasi kualitas generasi manusia.

Pegiat gender juga mengatakan adanya korelasi positif antara kesetaraan gender dengan pertumbuhan ekonomi. Ya, benar sekali, positif menjerat perempuan hidup dalam kesengsaraan, memiskinkan mereka. Ekonomi meningkat, perempuan menjadi tumbalnya.

Ilusi dan Eksploitasi

Ide kesetaraan hanya ilusi, faktanya yang terjadi justru eksploitasi. Misal, dalam industri media elektronik, perempuan menjadi objek seksual. Tubuh perempuan dan kemolekannya dijadikan alat untuk memikat.

Keindahan atau sensualitas tubuh perempuan dijadikan alat untuk menjual produk yang diiklankan. Diperolehlah keuntungan dari industri pornografi lewat media elektronik seperti TV dan internet. Belum lagi kasus pekerja pabrik dengan jam kerja yang menguras tenaga mereka, ditengarai sebagai bentuk eksploitasi.

Tenaga Kerja Perempuan (TKW) juga tidak jarang berakhir pada prostitusi dan tindakan kekerasan yang tidak dapat dipisahkan dari perbudakan.

Inilah kapitalisme, memandang perempuan sebagai sarana yang dapat dieksploitasi demi kepentingan bisnis. Ujung-ujungnya negara lepas tangan menyejahterakan rakyat termasuk perempuan.

Perempuan Butuh Khilafah untuk Sejahtera

Ekonomi kapitalis yang eksplotatif menjadi penyebab eksploitasi pada perempuan. Sistem ekonomi Islam melarang aktivitas ekonomi yang menzalimi orang lain atau upah yang tidak layak. Selain itu, menjauhkan semua jenis aktivitas memanfaatkan kemolekan tubuh perempuan demi keuntungan materi.

Pemenuhan kebutuhan pokok setiap perempuan ditempuh dengan berbagai strategi:

Pertama: Mewajibkan laki-laki menafkahi perempuan. “Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (TQS al-Baqarah [2]: 233)

Allah Swt berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (TQS ath-Thalaq [65]: 6).

Kedua: Jika individu itu tetap tidak mampu bekerja menanggung diri, istri, dan anak perempuannya, maka beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya. Firman Allah Swt, “Ahli waris pun berkewajiban demikian.” (TQS al-Baqarah [2]: 233)

Ketiga: Jika ahli waris tidak ada atau ada tetapi tidak mampu memberi nafkah, maka beban itu beralih kepada negara melalui lembaga baitulmal. Nabi Saw. bersabda, “Aku lebih utama dibandingkan dengan orang-orang beriman daripada diri mereka. Siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu bagi keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan utang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku dan menjadi kewajibanku.” (HR Ibnu Hibban).

Tak Perlu Kesetaraan Upah, Islam yang Menjamin

Dalam khilafah, khalifah memaksimalkan pengumpulan zakat, infak, dan sedekah untuk memenuhi kebutuhan orang miskin, baik laki-laki maupun perempuan. Kebutuhan pokok yang meliputi pendidikan, kesehatan, serta keamanan dipenuhi secara langsung dan gratis.

Pembiayaannya berasal dari harta milik negara, juga hasil pengelolaan harta milik umum seperti migas, tambang, laut, hutan, dan sebagainya. Dipastikan tidak akan ada lagi perempuan -sebagaimana laki-laki- yang harus menanggung kemiskinan.

Maka, tidak butuh kesetaraan upah di antara laki-laki dan perempuan, karena Khilafah menjamin kesejahteraan mereka dengan pengaturan berbagai kebijakan yang manusiawi. 

Wallahu a'lam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak