Oleh
: Yauma Bunga Yusyananda
Sistem yang menjadi role model
dunia untuk menjalankan pemerintahan seolah menemui ajalnya. Viralnya foto
unggahan instagram Anies Baswedan yang sedang membaca buku “How Democracies
Die” membuat spekulasi dikalangan masyarakat tentang demokrasi itu sendiri.
Masyarakat berpikir bahwa tokoh yang membaca buku ini sedang mencari cara untuk
“membunuh” sistem yang dijalankan di negerinya sekarang. Padahal buku ini juga
di rekomendasikan oleh mantan Presiden AS Barack Obama, dan para tokoh tentu
terbiasa memiliki hobby untuk membaca. (isubogor.pikiran-rakyat.com 24/11/2020)
Buku yang ditulis oleh Profesor
dari Harvard yaitu Steven Levitsky and Daniel Ziblatt ini menjelaskan tentang
kematian demokrasi dengan terpilihnya pemimpin otoriter yang menyalahgunakan
kekuasaan. Dan sebenarnya dari sisi penulis mengajak para pembaca untuk peka
dan sadar gejala-gejala yang menghantarkan sistem ini pada kematiannya. Namun,
tanpa kita sadari demokrasi di seluruh dunia sedang menghancurkan dirinya
sendiri.
Hal ini bukan karena pengaruh
pandemi yang semakin terlihat bahwa sistem ini tidak bisa menyehatkan
orang-orang di dunia, karena sistemnya sendiri tidak sehat dan rusak. Kenapa
sistem demokrasi dinilai sebagai sistem yang rusak? Menurut penulis buku
tersebut, Levitsky dan Ziblatt, "kemunduran demokrasi hari ini dimulai
dari kotak suara." Maksudnya saat
pemilihan umum, adanya penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan yang
dibuat oleh demokrasi itu sendiri, penolakan lawan politik, toleransi yang
mendorong ke arah kekerasan dan kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil atau
rakayt untuk berpendapat termasuk media pun ikut dibatasi. Dan ada satu hal
lagi yaitu adanya jalan pintas untuk menempati posisi penguasa dengan saling
bersekutu dengan politikus mapan. (tirto.id 25/22/2020)
Dan masyarakat pun banyak melihat
fakta bagaiman demokrasi saat ini tidak mampu menjalankan sistemnya dengan
baik, hal ini bukan karena pandemi. Namun demokrasi sudah cacat dari saat
sistem tersebut tercipta. Karena sumber sistem tersebut hanya bersandar pada
kejeniusan manusia yang seolah mengetahui tentang dirinya sendiri. Manusia yang
angkuh dan tamak dengan menggunakan sistem sebagai kendaraan untuk berkuasa dan
bersekutu dalam koalisi elite tanpa memikirkan rakyat. Alih-alih ada yang
mengatakan bahwa segala perawatan masyarakat yang terkena virus covid-19
ditanggung oleh pemerintah, bukankah kita harusnya sadar bahwa pelayanan
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan untuk masyarakat adalah tugas negara dan
memang harus digratiskan.
Maka masyarakat seharusnya bisa
menyadari bahwa ketika pelayanan diberikan secara gratis hal tersebut bukan;ah
hal yang istimewa namun itu adalah kewajiban negara. Kenapa kita menganggap
sesuatu yang gratis yang merupakan bantuan dari pemerintah adalah sesuatu yang
seolah istimewa? Karena kita selama ini tidak diberikan hak nya dan dilatih
menjadi rakyat yang mandiri tanpa fasilitas dari negara dan negara hanya
sebagai restribusi pelayanan kepada rakyat. Seolah negara menjual pelayanannya
kepada rakyat.
Negara layaknya seorang Ibu yang
mengurusi kebutuhan anak-anaknya, yaitu rakyat. Karena Pemimpin negara adalah
ra’in ( pemelihara ) bagi rakyatnya. Dan itu yang harus kita sadari dari
demokrasi saat ini. Bahwa demokrasi tidak bisa menyejahterakan masyarakat,
karena yang mampu menyejahterakan masyarakat hanya sistem yang berasal dari Al
Kholoq Al Mudabbir Allah Subhanahu Wa Ta’alaa. Sistem yang pernah dicontohkan
oleh Rasulullah dan diteruskan oleh Para Khalifah. Sistem yang menerapkan
aturan yang jelas, yang berasal dari Allah. Sistem tersebut adalah Khilafah
Islam yang pernah berjaya selama kurang lebih 13 tahun untuk memimpin ummat
dengan aturan yang bukan berasal dari keangkuhan makhluq. Dan sesungguhnya
demokrasi lah yang membunuh dirinya sendiri, yang tidak bisa mengurus masyarakat
dengan baik. Maka sudah saatnya kita sebagai umat yang berpikir memilih
Khilafah Islam yang jelas sumber dan sandaran hukumnya dari yang Maha Mengatur
dan Pencipta kita, yaitu Allah Subhanahu wa ta’alaa. Karena hanya dengan
Khilafah, kita kembali kepada fitrah kita sebagai manusia, yaitu Islam.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” ( Terjemah QS.
Ar rum ayat 30 )
Wallohu’alam bi ash shawab.
Empat indikator utama yang harus diperhatikan adalah:
- Penolakan (atau komitmen yang lemah terhadap) aturan main
yang demokratis;
- Penolakan legitimasi lawan politik;
- Toleransi atau dorongan kekerasan;
- Kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk
media.
Dalam sinopsisnya, buku tersebut menceritakan kematian
demokrasi dengan terplihnya banyak pemimpin otoriter. Kepemimpinan otoriter
dinilai akan menyalahgunakan kekuasaan pemerintahan, dan penindasan total atas
oposisi. Gejala-gejala kematian demokrasi dinilai sedang terjadi di seluruh
dunia dan pembaca diajak untuk mengerti untuk cara menghentikan kematian
demokrasi ini. Dua penulis merupakan profesor dari Harvard yang menerangkan
sejarah dan kerusakan rezim selama abad ke-20 dan ke-21 dan menunjukan
bahayanya pemimpin otoriter ketika menghadapi krisis besar.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"Anies Baca Buku How Democracies Die, Wagub DKI: Tak Usah Ditafsirkan
Berlebihan", Klik untuk baca:
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/24/17345161/anies-baca-buku-how-democracies-die-wagub-dki-tak-usah-ditafsirkan?page=all.
Penulis : Singgih Wiryono
Editor : Nursita Sari