Oleh : Yulia Sari, S.H
Di tengah pandemi covid 19 yang tak kunjung usai, KPK kembali menangkap koruptor. Kali ini yang menjadi tersangka adalah menteri sosial Juliani Batubara. Total ada 4 orang menteri dalam kabinet Pemerintahan Jokowi yang tersandung kasus Karupsi. Dua orang lainnya yakni eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi serta eks Menteri Sosial Idrus Marham, merupakan menteri Jokowi di Kabinet Kerja, yakni pada periode 2014-2019.
Di periode kedua (2019-2024), menteri Jokowi yang terjerat yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Sesuatu yang menyayat hati justru yang dikorupsi adalah bansos penanganan Covid-19. Bantuan yang diharapkan sebagai angin segar ditengah himpitan ekonomi pasca diterjang badai pandemi. Bantuan yang merupakan pelipur lara dikala mereka mempertaruhkan nyawa untuk tetap mencari nafkah dimasa wabah. Mungkin hanya Rp. 10.000,- itu yang mereka dapat setelah berjuang seharian. Tetapi justru Rp. 10.000,- itulah yang dikikis oleh para koruptor demi memenuhi nafsu hedonis mereka.
Demokrasi Sistem Rentan Korupsi
Kenapa dikala negara dan masyarakat tengah berjuang melawan pandemi masih muncul orang-orang yang tega “memalak” hak-hak rakyat. Padahal mereka tak kurang satu apapun, tetapi masih melirik hak “wong cilik” yang perutnya saja belum tentu makan sehari ? Tentu ini menjadi sebuah pertanyaan besar, padahal semua upaya telah dilakukan.
KPK (komisi Pemberantasan Korupsi) telah dibentuk, perangkat aturan Undang-Undang pun telah ada. Peradilan Khusus TIPIKOR (Tindak Pidana Korupsi) juga telah tersedia. Rupanya ini tidak menjadi batu sandungan bagi para koruptor untuk merancang celah membocorkan aliran dana rakyat.
Hal ini merupakan salah satu lubang kelamahan dari sistem yang dianggap terbaik di dunia yaitu sistem demokrasi. Dapat dikatakan dari beberapa menteri yang telah tertangkap oleh KPK mereka semua adalah pentolan partai politik. Idrus merupakan kader Partai Golkar dan Imam merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kemudian, Edhy adalah kader Partai Gerindra dan Juliari adalah politikus PDI Perjuangan. Artinya korupsi tak lepas dari peran politik ala demokrasi, karena mereka tak mungkin duduk di singgasana menteri tanpa adanya kompromi dari partai-partai peserta Pemilu dengan Presiden.
Telah banyak analis yang merasakan bahwa atara perkembangan Korupsi dan Demokrasi berjalan seiring. Setelah hampir 22 tahun reformasi, sudah cukup untuk menilai bahwa reformasi birokrasi dan politik gagal menyingkirkan rezim korupsi, tetapi hanya mentransformasi bentuk korupsi seiring perubahan struktur kekuasaan pasca-Pemilu 1999. Tanpa tedeng aling-aling, Vedi Hadiz, ilmuwan politik di Universitas Murdoch, menyimpulkan, kelembagaan demokrasi produk reformasi telah dibajak elite predator (Kompas.Com).
Lembaga-lembaga yang dibentuk dan UU yang dibuat, tak cukup hebat menahan evolusi elit koruptor. Apalagi kesemua lembaga dan UU itu justru dirancang oleh jaringan elit itu sendiri. “Trias Politica” menjadi jejaring langgengnya korupsi. Dimana tiap sendinya telah terjangkit virus-virus yang haus akan kekuasaan dan gaya hidup hedonis.
Hingga semua kebijakan rezim hanya menjadi “cawan” yang bawahnya telah berlubang. “bocor” demi tetap jalannya praktek korupsi dan riswah. Meski masih ada KPK yang kerap melakukan “tangkap tangan”. Tetapi lembaga ini pun berulang kali terancam legitimasi dan independensinya. Dan bisa jadi kasus yang terungkap hanyalah suatu fenomena gunung es, dimana justru dibaliknya jaringan elit koruptor ini menggurita hingga tak terbatas tentakelnya.
Sesungguhnya hukum dan keadilan tidak benar-benar berjalan di sistem demokrasi. Ketika penggeraknya adalah bagian dari tentakel elit predator tadi. Dan berapa pun upaya perubahan melalui metode ini, seolah-oleh tetap kembali pada masalah yang sama. Jika orde baru tumbang demi menghapus KKN era Presiden Soeharto, maka di era reformasi, para oknum lebih lihai lagi dan telah membangun jaringan oligarkinya sendiri. Jadi tak layak jika kita terus berharap bahwa korupsi akan lenyap melalui sistem demokrasi.
Penanganan Korupsi dalam Islam
Dalam Islam, korupsi adalah tindakan khianat. Yaitu penyalahgunaan amanah yang diberikan. Islam mengharamkan tindakan khianat, apalagi khianat atas uang negara atau hak rakyat. Ada beberapa langkah agar korupsi tidak menjamur di dalam sistem Islam.
Pertama, memperhatikan sistem penggajian pegawai negerinya. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”. Maka bagi pegawai pemerintah di berikan gaji yang layak hingga dia tidak melakukan tindak korupsi dengan alasan bahwa gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua, Larangan menerima suap dan hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan membuat pegawai pemerintah bekerja tidak sebagaimana mestinya. Maka Islam telah tegas melaknat perbuatan tersebut agar pegawai bekerja dengan adil.
Ketiga, dilakukan perhitungan harta kekayaan para pegawai pemerintah. Semasa menjadi khalifah, ‘Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, bukan jaksa atau orang lain, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Inilah yang disebut dengan pembuktian terbalik yang terbukti efektif mencegah perbuatan curang.
Keempat, teladan dari pemimpin. Khalifah ‘Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin ‘Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik baitulmal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Ini adalah salah satu contoh dari ketakwaan seorang pemimpin yang akan mempengaruhi subur tidaknya korupsi. Jika pemimpin telah memberi teladan terbaik, secara otomatis bawahannya akan mengikuti. Dan korupsi dapat dideteksi lebih dini.
Kelima, ancaman hukuman yang setimpal. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Dengan ancaman demikian, maka koruptor akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kecurangan.
Keenam, kontrol masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang.
Khatimah
Sungguh ironis bila kita masih berharap bahwa demokrasi bisa menjamin korupsi dapat dihilangkan. Beragam perubahan ala-ala sistem ini tetaplah terjangkiti virus-virus korupsi yang terus bermutasi dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Di satu sisi kita sadar tengah mengidap banyak sekali penyakit, termasuk penyakit kronis bernama korupsi, tapi di sisi lain kita menolak secara apriori terhadap kehadiran obat mujarab, yakni syariat Islam, yang mampu menyembuhkan penyakit-penyakit itu. Apalagi, selama ini obat lain telah terbukti gagal. Wallahu’alam bi al-shawab. (muslimahnews.com/2019/09/17/islam-dan-jalan-pemberantasan-korupsi)
Tags
Opini