Oleh : Khirunnisa
(Millenials Ideologis)
Tidak terasa waktu cepat berlalu. Begitu banyak fenomena mengejutkan. Sebagian besar momen diabaikan oleh 'Bapak'. Mendekati momen besar yang akan terjadi. Tepatnya 9 Desember 2020, pesta rakyat ditengah wabah menjadi momok kepanikan warga. Namun, semenjak rilis wacana pemilihan diiringi kemudian kampanye. Sorak warga dan tokoh meminta penundaan (Replubika.id, 21/9/2020).
Nyatanya hanya menjadi angin lalu. Adanya calon kepala daerah sebanyak 70 orang terkonfirmasi positif Covid-19 dan 4 diantarannya meninggal dunia, serta sekitar 100 KPU positif (kabar24.bisnis.com, 28/11/2020). Menjelang pemilihan, keputusan tidak dilayangkan. Justru diam menunjukkan bahwa samakin tidak peduli akan keamanan.
Sudah berulang kali bahkan bisa dikatakan sering mengabaikan. Nyawa hanya jadi bulan-bulanan kepentingan. Menurut mantan Ketua MK Hamdan Zoelva menyatakan "Pengorbanan untuk Demokrasi amat besar," ungkapnya ( kabar24.bisnis.com, 6/12/2020). Peryataan yag diberikan seakan mengkonfirmasi bahwa nyawa rakyat diberikan kepada demokrasi.
Pesta Rakyat Demokrasi
Penerapan demokrasi menjelaskan sistematika berjalan terpilihnya pemimpin. Pemimpin dipilih dengan dasar konsekuensi yang akan diterima, menjadi korban atau menjadi budak.
Bahkan hal ini bukan hal yang bisa dibantah, sebelum pandemi rakyat diposisikan pada jurang hidup dan mati. Konsekuensi apabila kita menjadi sengsara akibat pilihan yang diambil. Cabe mahal, salah lo pilih dia, itulah yang terlontar dari emak-emak paslon satunya.
Beginilah sejatinya sistem demokrasi yang cacat sejak lahir. Bagaimana tidak, sistem pemilihan hanya berfokus pada kandidat yang sejatinya bukan murni pilihan rakyat. Namun, calon yang telah ditentukan kemudian dipilih oleh rakyat. Sehingga terkesan pilihan rakyat. Sejatinya rakyat adalah korban aturan main demokrasi. Rakyat ditumbalkan kepada para pemodal calon. Setelah terpilih aset kekayaan untuk menghidupi rakyat diambil alih para pemodal para calon melalui regulasi calon terpilih.
Terlebih asas yang dibangun dari demokrasi adalah kebebesan atau sekuler tidak lain anak dari kapitalisme, paradigma kehidupan yang dibangun berdasrakan manfaat dan utung rugi, bahkan bisa jadi kepemimpinan atau terpilihnya pemimpin melalui pesta rakyat sejatinya meramaikan kepentingan dan menguatkan keberpihakan mereka atas manfaat yang didapatkan setelahnya.
Wajar apabila kesengsaran meliputi masyarakat saat ini. Faktor utama adalah terletak pada penerapan aturan yang dibuat. Para terpilih bukan memenuhi janji kesejahteraan untuk rakyat namun pada keuntungan individu dan pemodal.
Senada dengan yang disampaikan selaku Komisaris Bawaslu RI Frizt Edward Siregar menyebutkan bahwa "Tidak menampik adanya isu-isu pembiayaan seperti sumber dana dan ada tambang dalam pilkada" disampaikan dalam acara webkusi (bawaslu.co.id, 5/12/2020). Bahkan mahar politik pun ikut mewarnai yang menunjukkan realita transaksional dalam kursi jabatan. Amat disayangkan, rakyat hanya tumbal dan umpan saja melanggengkan jual beli kekuasaan.
Nampaknya kita salah memilih konsep aturan pemilihan pemimpin. Harap maklum apabila dalam keadaan wabah pilkada tetap gigih dilakukan.
Amat disayangkan, padahal kita memiliki pedoman hidup dan bernegara yang sempurna bahkan telah terbukti 14 abad yang lalu mengurusi rakyat, yaitu Islam.
Sistem Islam dalam Konsep Pemilihan Pemimpin
Islam sebagai agama penyempurna diturunkan sepaket dengan aturan. Islam adalah rahmatanlil’alamin. Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah saja, melainkan akhlak bahkan ranah pemerintahan dan negara.
Islam memiliki kaidah dalam memilih pemimpin. Rakyat diwajibkan menunjuk pemimpin. Kemudian dipilih berdasarkan latar belakang yang dimiliki yaitu sifat yang amanah, jujur, dan cerdas yang kemudian disepakati. Sebagaimana pemilihan khulafaur rasyidin.
Islam tidak menuntut mahar politik bahkan uang kampanye sebagaimana demokrasi. Justru para pemimpin yang terpilih harta kekayaan yang dimiliki diserahkam ke baitul mal untuk digunakan oleh rakyat. Disebabkan ketakutan fitnah dan ketakwaan kepada Allah swt. Sebagaimana yang tertulis dalam firman-Nya disebutkan dalam Alquran Surah Yusuf ayat 55, “hafizhun ‘alim. Hafizhun” artinya adalah seorang yang pandai menjaga. Yakni, seorang yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan akhlaknya mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya sebagai dasar kepemimpinan dalam islam .
Berbeda jauh apabila dibandingkan penerapan yang dilandaskan semacam demokrasi dengan Islam. Bahkan amat tidak pantas pula kalau kita harus jadi mengorbankan diri dan korban demokrasi. Sungguh kita akan termasuk golongan yang rugi dan celaka. Wallahu'alam bishawwab