Demi Tampuk Kekuasaan, Layakkah Meninggalkan Rasa Kemanusiaan?



Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis

Menolak lupa. Masih lekat ingatan ini,  tentang peristiwa beberapa tahun yang lalu. Sebuah perhelatan yang banyak memakan korban, dalam rangka memperebutkan kekuasaan. Mirisnya korban bukan hanya satu atau dua orang, namun hingga ratusan. Fantastis, sekaligus mengerikan. Demi menurutkan hawa nafsunya, terkadang manusia berlaku aneh. Berburu menuju tampuk kekuasaan, meninggalkan rasa kemanusiaan. Bahkan apa pun bisa mereka korbankan 

Perhelatan demokrasi, nyata tetap digelar meski di tengah pendemi. Apalagi di Indonesia, kurva pandemi kian hari kian naik tajam tak terkendali. Pilkada serentak ini, bahkan disinyalir akan menjadi kluster baru paling mengerikan, mengingat banyaknya masyarakat yang terlibat didalamnya. 

Seperti yang dilansir www.bbc.com pada 9/12/2020, Seorang pakar epidemiologi, Laura Navika Yamani dari Universitas Airlangga Surabaya mengatakan bahwa dampak Pilkada terhadap situasi pandemi belum dapat dinilai pada hari penyelenggaraan Pilkada. Karena - jika ada paparan virus corona pada proses Pilkada - butuh waktu dua sampai 14 hari sesuai masa inkubasi infeksi virus corona.

Hal ini menanggapi klaim Menkopolhukam Mahfud MD yang mengatakan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 2020, Rabu (09/12), secara umum sudah berjalan "cukup baik" yaitu sudah sesuai protokol kesehatan Covid-19.

Secara terpisah, Badan Pengawas Pemilu pada Rabu (09/12) siang mengungkapkan temuannya bahwa ada sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) di sejumlah wilayah Indonesia yang tidak menyediakan sarana "cuci tangan" dan "bilik khusus bagi calon pemilih yang suhu tubuhnya di atas 37,3 derajat celcius". Bawaslu juga mengklaim menemukan ada sejumlah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang "terpapar covid-19" dan diklaim "masih hadir di sejumlah TPS".


Pilkada atau pilihan kepala daerah digadang-gadang untuk mengurusi urusan rakyat. Apa jadinya jika suatu daerah tanpa seorang pemimpin. Itulah dalihnya. 

Namun, jika kita telaah lebih mendalam, diadakannya pilkada hanyalah sebuah tipuan muslihat belaka untuk mengelabui rakyat. Sebab tidak sedikit ketika mereka sudah berada dalam tampuk kekuasaan, kemudian rakyat dilupakan begitu saja. Ibarat sampah ketika sudah tidak berguna, maka dibuang. 

Tidak hanya itu, pilkada juga memakan biaya yang tidak murah. Jumlah dana yang harus dikeluarkan dalam penyelenggarannya pun begitu fantastis. Maka tidak sedikit para kontestan kemudian berkolaborasi dengan para pemilik modal, baik dalam negeri atau pun luar negeri.

Begitu mahalnya mahar yang harus dikeluarkan, termasuk dalam mendulang suara.  Money politic pun acapkali menjadi bahan permainan kotornya. Rakyat pun akhirnya terkelabui dengan tingkahnya. Seakan madu yang diberikan namun hakikatnya sedang menerima racun yang sangat mematikan. 

Tidak sedikit para konstestan yang tidak terpilih, akhirnya banyak yang frustasi. Bingung mengembalikan dana yang telah dikeluarkan dalam ajang perhelatan tersebut. Hal ini pun tidak dijadikan juga sebuah pelajaran berharga. Lagi dan lagi terulang. Harus ada pemutus mata rantai untuk mengakhiri semuanya. 

Apalagi bulan Desember 2020, dimana bayang-bayang coronavirus begitu berbahaya. Alangkah baiknya ketika pilkada serentak ini ditunda saja, mengingat  resiko terbesar adalah nyawa sebagai taruhannya. Betapa mengerikan jika rakyat harus menjadi tumbal kembali, hanya untuk sebuah perhelatan. Betapa mahal harga yang harus dibayar. 

Di dalam sistem Islam, pemilihan kepala daerah sudah menjadi sebuah keharusan. Sebab dengan adanya seorang pemimpin (wali) di setiap wilayah, maka akan mudah untuk mengurusi urusan rakyatnya. 

Dalam pemilihannya pun, tidak sulit. Juga tidak memerlukan biaya yang mahal dalam penyelenggarannya. Cukup seorang khalifah memilih siapa yang akan memimpin suatu daerah. Tentu dengan syarat yang telah ditentukan dalam Islam. Yakni, seorang laki-laki, muslim, baligh, merdeka, berakal, adil, dan mampu. 

Jadi pemilihan kepala daerah (wali) sangat murah, efektif dan efisien. Disamping itu, pemimpin harus yang amanah, serta bisa mengurusi urusan rakyatnya. Bukan seperti sekarang yang mengabaikan rakyat. Tidak peduli meski nyawa rakyat melayang. Terbukti, dengan bersikukuhnya dalam penyelenggaraan pilkada serentak. Walaupun coronavirus siap mengintai dengan nyawa sebagai taruhannya.   

Sesungguhnya pemimpin itu adalah imam dan perisai yang bertanggungjawab atas apa pun yang menimpa rakyatnya. Maka fakta ini semakin memperjelas, bahwa kapitalisme tidak pernah memikirkan kesejahteraan rakyat. Berbanding terbalik dengan sistem Islam, nyawa satu orang saja begitu berharganya, bila dibandingkan dengan dunia dan sei-isinya. Maka marilah kita Bersama bergandengan tangan untuk terus berjuang dan mewujudkannya. 
Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak