Oleh : Rahmawati
(Muslimah Kendari)
Kasus hutang-piutang di negeri ini seakan telah menjadi budaya, baik itu dari kerjasama antar luar negeri ataupun dengan bank nasional. Salah satu tujuannya adalah agar pembangunan suatu daerah lancar dan dapat berkembang dengan baik.
Dikutip dari media online Telisik.id (9/11/2020),dijelaskan bahwa Pemerintah Kota Baubau baru-baru ini bersama dengan DPRD bersepakat untuk meminjam dana Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulawesi Tenggara (Sultra) sebesar Rp 200 miliar. Ketuk palu peminjaman dana tersebut dilakukan saat rapat paripurna DPRD Kota Baubau bersama pemerintah setempat di aula kantor DPRD Kota Baubau pada Senin (9/11/2020).
Berdasarkan nota kesepakatan yang dibacakan oleh sekretaris DPRD Kota Baubau, Yaya Wirayahman mengungkapkan anggaran Rp 200 miliar tersebut akan digunakan sebagai pelestarian jalan lingkar, pembangunan gedung aula PO-5, dan area parkir terintegrasi PO-5 yang bersumber dari dana peminjaman daerah. Jangka waktu pelaksanaan ketiga proyek tersebut sampai dengan tahun 2022. Sedangkan alokasi anggaran pertama tahun 2021 sebesar Rp 110 miliar dan alokasi anggaran kedua tahun 2022 sebesar Rp 94 miliar.
Wakil Wali Kota Baubau, La Ode Ahman Manianse beranggapan “Ini sudah menjadi kesepakatan dan utang daerah itu kan sebagai alternatif pendanaan untuk APBD, yaitu baik menjadi solusi atas kekurangan anggaran maupun untuk membiayai kegiatan yang bersifat strategis. Bahkan untuk peningkatan pendapatan maupun perbaikan pelayanan” ungkapnya pada awak media.
Pelayanan masyarakat bukan hanya tentang soal tersedianya seluruh infrastruktur. Namun masih banyak hal lain yang harus diprioritaskan, misalnya seperti pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Utang adalah jalan buntu untuk memuluskan pembangunan infrastruktur dalam sistem Demokrasi. Sebab ketika utang sudah menumpuk maka rakyatlah yang disengsarakan dengan penarikan pajak yang tinggi. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menutupi pelunasan utang yang disertai bunga tinggi (Riba).
Sadis, seharusnya rakyat dijamin kebutuhannya oleh negara. Namun saat ini malah rakyat sendiri yang menanggung beban utang yang banyak itu. Padahal belum tentu pembangunan infrastruktur yang dibiayai dari utang dapat dirasakan secara merata oleh rakyat.
Pembangunan dengan basis riba hanya akan membuat kemudharatan (membahayakan) bagi rakyat, karena memang pada dasarnya apa saja yang dilakukan dengan melibatkan aktivitas ribawi didalamnya maka hal demikian tidak akan diridhai oleh Allah. Pastinya rakyat tidak akan mudah menikmati infrastruktur yang dibangun, apalagi jika pengelolaannya diserahkan kepada pihak ketiga. Begitulah realitas pembangunan serta kaitannya dengan utang dalam sistem Demokrasi.
Sedangkan dalam sistem Islam, pembangunan infrastruktur jelas bertujuan untuk kemaslahatan umat semata dan dibangun sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian dapat mempermudah bagi pemerintah untuk memberikan pelayanan yang terbaik seperti kemudahan dalam pendistribusian kebutuhan pokok bagi seluruh mayarakat.
Pemenuhan kebutuhan rakyat oleh pemerintah bukan hanya janji semata dalam sistem Islam. Namun pada dasarnya pemerintah tahu betul bahwa tugas utama mereka adalah mengurusi umat seperti membagikan secara merata keperluan yang dibutuhkan (memperhatikan kemaslahatan umat) baik sandang, pangan dan papan untuk seluruh rakyat. Baik muslim maupun non muslim yang mau hidup di bawah naungan negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. Pemenuhannya pun sangat diperhatikan tanpa adanya jalan untuk mengundang murka Allah seperti mengutang dengan sistem ribawi. Wallahu a’lam.
Tags
Opini