Antara Dinasti Politik dan Demokrasi



Oleh : Reka (Ibu rumah tangga dan Pengemban Dakwah)

Ungkapan "siapa yang kuat, dia yang berkuasa," apabila kita sambungan dengan kejadian setelah Pilkada menjadi sangat cocok. Dinasti politik di era domokrasi saat ini menjadi menjamur dan tidak terelakan keberadaannya. Bahkan Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan Sistem Informasi dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU), sederet kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat memenangi pesta politik lima tahunan tersebut.

Keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada dalam deretan tersebut. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa unggul telak atas pasangan Bagyo-Supardjo di Pilwalkot Surakarta. Pasangan Gibran-Teguh mengantongi 87,15% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika. Menantu Jokowi, Bobby Nasution yang berpasangan dengan Aulia Rachman unggul atas pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi di Pilwalkot Medan. Pasangan Bobby-Aulia mengantongi 55,29% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika. Kemenangan Gibran akan menjadikan Jokowi sebagai Presiden pertama di Indonesia yang memiliki anak menjabat kepala daerah. Catatan sejarah baru ini, pun ditorehkan Jokowi hanya dalam waktu enam tahun kepemimpinannya. 

Pemenang Pilkada 2020 lain yang masuk dalam kategori dinasti politik adalah Hanindhito Himawan Permana. Ia adalah anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Berdasarkan hasil sirekap KPU, ia dan pasangannya Dewi Mariya unggul telak atas kotak kosong dengan 76,8% di Pilkada Kediri.
Lalu, Pilar Saga Ichsan yang menjadi calon Wali Kota Tangerang Selatan mendampingi petahana Benyamin Davnie. Ia adalah kemenakan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany yang jabatannya akan habis tahun ini dan anak dari Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah.

Sederet pasangan yang menang di Pilkada tahun 2020 ini menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa terafiliasinya pasangan yang menang dengan pejabat atau mantan pejabat menandakan kuatnya dinasti politik pada sistem saat ini. Menurut peneliti ICW (Indonesia Corruption Watch) Egi Primayogha mengungkapkan bahwa dinasti politik ini mengarah kepada oligarki. Sementara oligarki dekat dengan korupsi. Adapun yang berpendapat bahwa dinasti politik pun berpotensi merusak demokrasi lantaran membuat masyarakat lain yang tak berasal dari lingkaran keluarga elite tertentu sulit berkontestasi dan menang dalam pemilu. 

Sesungguhnya apabila kita mau membuka pikiran kita, sebenarnya demokrasi memang sudah rusak bawaannya. Jadi jangan terbalik dan keliru, menilai bahwa kerusakan tatanan politik saat ini telah merusak demokrasi. Padahal demokrasilah yang melahirkan kerusakan itu sendiri.

Kita ketahui bersama, bahwa biaya politik dalam sistem demokrasi sangat mahal. Bahkan untuk menjadi anggota DPR saja sekurang-kurangnya butuh 1 miliyar rupiah. Maka untuk menjadi pejabat negara tidak mungkin meng-ongkosi dirinya sendiri, tetapi butuh pihak yang bisa meng-ongkosi biaya mahal itu. Pengusaha dan penguasa sangat lekat hubungannya dalam sistem demokrasi, dimana disinilah kekuatan oligarki berperan. Penguasa dalam sistem demokrasi dituntut oleh pengusaha 'yang meng-ongkosi' untuk 'mengembalikan modal' biaya politik yang sudah dikeluarkan untuk memenangkan dirinya. Misalnya dengan memuluskan proyek-proyek besar para penguasa kelas kakap, dan regulasi yang memudahkan para kapital ini untuk proyeknya. Hal ini sudah lumrah terjadi, dan menjadi keniscayaan dalam sistem demokrasi. 

Kita ketahui bersama, bahwa jatah panggung politik di Indonesia dengan sistem demokrasinya hanya 5 tahun. Maka dari itu untuk melancarkan proyek-proyek milik para pemilik modal yang sudah 'berjasa' kepada penguasa, harus dikondisikan dengan sebaik mungkin untuk mengamankan posisi tuannya. Maka lahirlah politik dinasti yang merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi.

Demokrasi sudah rusak dari asasnya, yakni di tangan rakyat, yang dimainkan untuk kepentingan-kepentingan para kapital. Demokrasi menunjukan taringnya bahwa selamanya sistem ini tidak akan berpihak dan memihak kepada kepentingan rakyat. Siapapun yang memimpin dalam sistem ini akan berjalan sesuai dengan sistem yang rusak. Kerusakan dan kezaliman saat ini adalah karena manusia lebih memilih sistem buatan manusia (baca demokrasi) daripada sistem dari pencipta-Nya. Maka kiranya perlu sistem alternatif yang memihak kepada manusia secara keseluruhan, yakni sistem Islam. Sistem yang berasal dari Sang Pencipta dan menjamin apabila sistem Islam diterapkan akan memberikan rahmat kepada seluruh alam, sesuai dengan QS. Al-Anbiya ayat 107 yang artinya "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."

Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak