Zakat Itu Solusi, Tapi…


Nisa Agustina

(Santri PIRT Khodimush Sunnah)




Kemiskinan masih menjadi problem krusial yang dihadapi negara kita saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka penduduk miskin di Indonesia naik 1,63 juta orang menjadi 26,42 juta orang per Maret 2020. Apalagi dengan dengan adanya Pandemi covid-19, angka kemiskinan ini semakin meningkat. Di Kabupaten Bandung sendiri diperkirakan ada 70 % warga miskin baru karena terdampak pandemi. (ayobandung.com, 31/05/20)

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, salah satunya dengan meresmikan Desa Cahaya (Cakap, Agamis, Sehat Berdaya). Program yang diinisiasi oleh Yayasan Baitul Mal (YBM) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) ini bersumber dari zakat yang dikumpulkan para pegawai PLN sebanyak 2,5 persen dari penghasilan setiap bulannya (halobdg.com, 02/11/20).

Program ini diharapkan dapat menjadi penopang program Pemkab Bandung dalam hal pengurangan angka kemiskinan. Bantuan yang diberikan berupa pemberdayaan ekonomi baik fisik maupun non fisik, dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga dapat mempercepat pengentasan kesenjangan ekonomi masyarakat.

Mengoptimalkan harta zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat memang bagus dan harus diapresiasi . Hanya saja, apakah upaya yang dilakukan ini bisa mensejahterakan rakyat dan benar-benar bisa mengentaskan kemiskinan yang sudah bersifat sistemik ini? Dan yang lebih penting lagi, apakah upaya ini sesuai dengan tuntunan syariat Islam atau tidak?

Perlu kita ketahui, kondisi kemiskinan suatu masyarakat bisa disebabkan oleh tiga faktor utama : Pertama, Kemiskinan Alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut dan lain-lain. Kedua, Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh rendahnya SDM akibat kultur masyarakat; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan Negara untuk mengatur urusan rakyat.

Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan struktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai Negara saat ini termasuk di Indonesia karena merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang rusak baik secara paradigma maupun konsep derivatif atau turunan dalam kebijakannya.

Menjadikan program zakat sebagai upaya pengentasan kemiskinan struktural merupakan program yang salah kaprah. Masalah kemiskinan adalah masalah sistemik maka solusinya pun harus dengan solusi yang sistemik pula.

Meluruskan Pandangan

Zakat merupakan ibadah dalam Islam yang memiliki dimensi sosial-ekonomi. Zakat berfungsi sebagai media redistribusi kekayaan dari kelompok yang mampu (aghniya’) kepada golongan yang kurang mampu (dhuafa’) dan yang tertindas (mustadh’afin).

Zakat merupakan solusi syariat Islam untuk menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi yang berkeadilan, sehingga pembangunan ekonomi mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Hanya saja zakat merupakan salah satu aktivitas ibadah yang pengaturannya bersifat tauqifiy, yakni apa adanya sebagaimana yang disebutkan dalam dalil syara’, sebagaimana apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi, termasuk dalam pendistribusiannya.

Tentang pendistribusiannya, zakat memiliki aturan yang jelas tentang siapa yang berhak menerimanya, sebagaimana telah dirincikan Alquran ke dalam delapan ashnaf penerima zakat (Q.S. At-Taubah [9]: 60). Mereka itu adalah: orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, mualaf, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang (gharimiin), fii sabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (Ibnu sabil).

Benar bahwa zakat merupakan sebuah proses yang produktif dalam pemberdayaan masyarakat. Artinya, pemanfaatan zakat semestinya bukan hanya terpaku pada hal-hal yang bersifat konsumtif, melainkan memiliki agenda pembangunan masyarakat yang terpadu melalui pemberdayaan masyarakat.

Seorang mustahik (yang berhak menerima zakat) dengan dorongan keimanan yang tinggi tidak hanya sekadar mencukupkan dirinya untuk menjadi mustahik selamanya, tetapi ia akan berusaha memanfaatkan dengan baik harta yang dimilikinya, mandiri dalam mengelola harta yang datang kepadanya. Sehingga, suatu saat ia tidak lagi menjadi mustahik, tetapi justru menjadi muzakki (pembayar zakat) baru.

Akan tetapi sekali lagi, bahwa pemanfaatan zakat tetap menjadi hak bagi mustahik mau diapakan harta zakat yang menjadi haknya tersebut, tidak ada pihak manapun yang berhak untuk memaksanya, bahkan negara sekalipun.

Apakah harta tersebut akan digunakan untuk usaha sehingga produktif harta zakat tersebut, ataupun untuk memenuhi kebutuhannya berupa makanan, pakaian, dan sebagainya sehingga habis dalam waktu yang tidak lama. Semua ada dalam kewenangan mustahik zakat.

Dari sini jelas, bahwa zakat tidak boleh sembarangan pemanfaatannya, hanya delapan ashnaf saja yang berhak menerimanya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 60, maka selain delapan ashnaf tidak boleh harta zakat diberikan kepadanya.

Dalam kitab Al Amwaal fii daulatil khilafah karangan Syaikh Abdul Qadim Zallum dijelaskan bahwa zakat tidak dikeluarkan untuk mendirikan masjid-masjid, rumah sakit, sarana-sarana umum, atau salah satu dari kepentingan negara maupun umat.

Lebih dari itu, pembangunan fisik dan non-fisik bagi masyarakat, sesungguhnya menjadi tanggung jawab negara dan tidak boleh dibebankan kepada rakyat, terlebih dibebankan kepada mustahik zakat.

Walaupun zakat adalah kewajiban dari kaum muslimin yang telah memenuhi syarat, akan tetapi seharusnya negara sebagai pelindung rakyat berusaha keras, berusaha maksimal untuk mengurusi rakyat ini dengan berbagai cara sehingga rakyat terpenuhi kebutuhannya.

Adapun untuk mengatasi kemiskinan, juga untuk membiayai pembangunan, Islam memiliki mekanisme tersendiri. Salah satunya melalui kewajiban negara untuk mengelola harta milik umum (seperti sumberdaya alam/SDA) yang hasilnya sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Karena itulah harta milik umum haram diserahkan kepada pihak swasta apalagi asing.

Praktik zakat akan bisa diwujudkan dengan baik, jika aturan Islam diterapkan secara kaffah di muka bumi ini. Oleh karena itu, upaya yang kita lakukan tidak cukup hanya menunaikan zakat dengan benar saja, tetapi berupaya dengan keras dan berjuang sungguh-sungguh agar sistem Islam bisa ditegakkan secara sempurna di muka bumi ini.

Karenanya, penyadaran dan pencerdasan umat terhadap aturan Islam serta perjuangan untuk tegaknya kembali syariat Islam di muka bumi ini, menjadi agenda utama kita hari ini.

Wallahu a’lam bish shawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak