What Is Love?



Oleh : Yusi M Salimah
(Remaja Agent of Change)

Hayo, yang pertama kalian pikirin kalau denger kata cinta? Temen? Sahabat? Keluarga? Atau, yang lain?

Menurut kalian cinta itu apa sih? Cinta itu kayak gimana sih?

Cinta adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Allah Swt kepada makhluknya. Dengan cinta, hidup akan lebih berwarna.

Menurut Wikipedia, cinta adalah suatu emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Cinta juga dapat diartikan sebagai suatu perasaan dalam diri seseorang akibat faktor pembentuknya.

Dalam konteks filosofi, cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang.

Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut.

Nah kira kira pengorbanan rasa cinta ke siapa atau apa aja nih yang udah pernah kita lakukan? Ke Allah? Orangtua? Teman? Atau malah pacar? Astaghfirullah yang terakhir skip aja ya guys.

Seberapa besar rasa cinta kita berarti bisa kita lihat dari seberapa nurut dan patuhnya kita ke objek itu. Kepada siapa sih sebenarnya kita harus memberikan rasa cinta yang paling besar? Yup, bener banget yang pasti kita harus paling cinta kepada Allah dulu.

Sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Al Baqarah [2] : 165

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ

Artinya: Orang-orang yang beriman lebih kuat cintanya kepada Allah.

Cinta Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Segala macam cinta kepada selain  Allah akan  mudah luntur seiring berjalannya waktu. Cinta kepada Allah berarti menempatkan Allah di lubuk hati dengan khidmat.

Kecintaan hamba kepada Rabb-nya adalah dengan melakukan ketaatan kepada-Nya. Tidak menyalahi-Nya. Demikian juga kecintaan kepada Rasulullah saw.

Wujud cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya adalah dengan menaati syariah-Nya. Ketaatan pada syariah-Nya harus di atas ketaatan pada selainnya baik tokoh, cendekiawan, ajaran, aturan, paham, hukum, ideologi dan lain-lain.

Cinta tentu tidak cukup dengan kata-kata. Cinta juga tidak cukup hanya berupa komitmen, tetapi kosong tanpa bukti nyata. Klaim cinta itu tentu membutuhkan bukti nyata.

Hasan al-Waraq berkata, “Engkau bermaksiat kepada Allah, sementara engkau mengklaim cinta kepada-Nya. Sungguh orang yang mencinta itu sangat taat kepada yang dicinta.”

Cinta kepada Allah Swt harus dibuktikan secara nyata dengan mengikuti dan meneladani Rasulullah saw., yakni dengan mengikuti risalah yang beliau bawa. Itulah syariah Islam. Allah Swt berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS Ali Imran [3]: 31).

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) di dalam Tafsîr al-Qurân al-Azhîm menjelaskan ayat ini dengan menyatakan, “Ayat yang mulia ini menetapkan bahwa siapa saja yang mengklaim cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di jalan Muhammad saw. (tharîqah al-Muhammadiyyah), maka ia berdusta sampai ia mengikuti syariah Muhammad saw. secara keseluruhan.” (mediaumat.news, 24/10/20)

Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, mencegah karena Allah, maka sesungguhnya telah sempurnalah iman mereka." (HR. Abu Dawud).

Kecintaan yang benar (kepada Allâh Ta'âla) memiliki rasa manis dan lezat yang tidak mungkin dirasakan oleh orang-orang yang mengaku mencintai-Nya (tanpa bukti). Dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
Ada tiga sifat, barangsiapa memiliki tiga sifat ini, maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman, yaitu) : menjadikan Allâh dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya; mencintai orang lain semata-mata karena Allâh dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allâh sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalam api.

Jika rasa cinta kepada Allâh Ta'âla sudah ada dalam kalbu kita, maka kewajiban kita selanjutnya adalah menjaga rasa itu dan kita berharap diwafatkan dalam keadaan kita mencintai dan dicintai oleh Allâh Ta'âla.

Namun ini bukan hal mudah, banyak tantangan yang harus dilewati, terlebih di zaman seperti zaman sekarang ini. Fitnah begitu banyak tersebar ditambah lagi setan yang tidak pernah surut menggoda dan menjebak manusia.
Hanya kepada Allâh Ta'âla kita memohon agar Allâh Ta'âla menganugerahkan kepada kita rasa cinta kepada-Nya dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang dicintai oleh Allâh Ta'âla.

Maka, terukur dengan sejauh mana cinta kasih seseorang kepada Allah, sejauh itu pula ia akan merasakan lezat dan manisnya iman. Barangsiapa yang hatinya karam dalam kecintaan kepada Allah, maka cukuplah hal itu menjadikannya tidak perlu dengan kecintaan, kekhawatiran dan kepasrahan hati kepada selain Allah.
Sebab tidak ada yang dapat memuaskan hati, tidak bisa mengisi relung-relung cinta hatinya, serta tidak bisa mengenyangkan rasa laparnya kecuali cinta kepada Allah Swt.

Andaikan saja hati seseorang mendapatkan segala apa yang melezatkan, tidaklah ia merasa damai dan tenteram kecuali dengan kecintaannya kepada Allah Swt. Jika seseorang kehilangan cinta kepada Allah dalam hatinya, maka kepedihan yang dirasakannya jauh lebih parah dari pada kepedihan mata karena kehilangan cahaya pengelihatan, atau kepedihan telinga karena kehilangan pendengaran, hidung karena kehilangan penciuman dan mulut karena kehilangan kemampuan berbicara, bahkan kerusakan hati akibat kekosongan dari rasa cinta kepada Allah sebagai penciptanya, pencetus wujudnya dan Tuhan sesembahannya yang sejati, jauh lebih berat dari pada kerusakan fisik karena terpisah dari nyawanya.

Esensi (hakikat) cinta adalah jika kita merelakan segala yang Anda miliki untuk seseorang yang kita cintai sehingga tidak menyisakan sedikitpun apa yang ada pada diri kita.

Di sinilah, maka kecintaan seseorang kepada Allah hendaklah mengalahkan mendominasi segala perkara yang dicintai, sehingga apapun yang dicintai oleh seseorang tunduk kepada cinta yang satu ini yang menjadi penyebab kebahagiaan dan kesuksesan bagi diri kita. (firanda.com, 24/04/16)

Mungkin di antara kita ada yang mengaku mencintai Allah, tetapi sesungguhnya masih tidak mengetahui apa sajakah tanda-tanda cinta pada-Nya?

Berikut ini tujuh (7) tanda cinta kepada Allah Swt sebagaimana yang dituliskan Imam Al-Ghazali dalam buku Kimia Kebahagiaan, semoga dapat memberi gambaran dan memotivasi kita menjadi hamba yang mencintai Sang Pencipta

1. Tidak membenci atau merasa takut pada kematian

Orang yang mencintai Allah pastilah tidak membenci pikiran tentang mati, kerena tak ada seorang “teman” pun yang ketakutan ketika akan bertemu dengan “teman”nya. Nabi Saw. bersabda: “Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya.

2. Rela mengorbankan kehendaknya demi kehendak Allah

Siapa yang tidak ingin uang banyak? Jabatan bagus? Rumah dan kendaraan yang nyaman? Akan tetapi, ketika semua keinginan itu harus mengorbankan kedekatan dengan Allah, apalagi sampai melanggar aturanNya, sudah pasti akan ditolak oleh pencinta Allah.

Seseorang yang mencintai Allah pastilah berpegang erat-erat kepada apa yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan juga menjauhkan diri dari tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.

3. Mengingat Allah sepanjang waktu
Jika seseorang memang mencintai, maka ia akan terus mengingat-ngingat; dan jika cintanya itu sempurna, maka ia tidak akan pernah melupakan-Nya.

Ia tidak akan sekadar mengingat Allah ketika di masjid, ketika akan shalat, ketika Ramadhan, namun dia mengingat Allah kapanpun dan dimanapun.

4. Cinta pada Al Quran

Seseorang yang mencintai Allah akan mencintai al-Qur’an yang merupakan firman Allah. Jika cintanya memang benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah.

5. Tamak dalam beribadah

Seseorang yang mencintai Allah akan bersikap tamak terhadap ‘uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus mendambakan datangnya malam agar bisa berhubungan dengan Temannya tanpa halangan.

Allah berkata kepada Daud a.s.: “Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis orang yang menghalangi kehadiranKu: orang-orang yang bernafsu untuk mencari imbalan dan kemudian semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingatKu. Tanda-tanda ketidak-hadiranKu adalah bahwa Aku meninggalkannya sendiri.”

6. Ibadah menjadi hal mudah baginya

Seorang wali berkata: “Selama 30 tahun pertama saya menjalankan ibadah malamku dengan sudah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu telah menjadi suatu kesenangan bagiku.”

Jika kecintaan kepada Allah sudah sempurna, maka tak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kebahagiaan beribadah.

7. Pencinta Allah akan mencintai orang-orang yang menaatiNya, dan membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak taat

“Mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang dengan sesamanya.” Nabi saw pernah bertanya kepada Allah: “Ya Allah, siapakah pencinta-pencintaMu?” Dan jawabannya pun datang:
“Orang-orang yang berpegang erat-erat kepada-Ku sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang berlindung di dalam pengingatan kepada-Ku sebagaimana seekor burung mencari naungan pada sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana seekor macan marah yang tidak takut kepada apa pun.” ( rumahzakat, 25/04/15 ).

Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak