Ummu Hanif (Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Seperti diketahui, hingga hari ini, berbagai negara sedang berlomba menemukan vaksin Covid-19. Namun, persaingan sengit tersebut hanya mengerucut pada tiga negara adidaya saja yakni Amerika, Cina, dan Rusia.
Untuk menjamin kesetaraan akses secara global terhadap vaksin ini, WHO bersama aliansi vaksin (GAVI) dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI) telah menginisiasi program COVAX (Covid Vaccine Global Effort) sejak awal tahun ini.
Setidaknya, sudah ada 168 negara yang bergabung dengan COVAX, 76 di antaranya adalah negara berpenghasilan menengah hingga tinggi.
Hanya saja, meski semua negara ini berkomitmen saling berbagi, tidak menjamin ketika vaksin ini benar-benar ditemukan, akan terjadi pemerataan distribusi sebagaimana diharapkan. Nasionalisme dan kapitalisasi vaksin yang berdampak pada penimbunan suatu negara sangat mungkin terjadi.
Masalahnya, tak semua negara memiliki uang untuk membeli vaksin yang dibutuhkan, apalagi dalam jumlah sangat besar. Sehingga hal ini sangat membuka peluang bagi negara-negara miskin tersebut jadi sasaran empuk jebakan utang dan balas budi yang diberikan negara-negara besar.
Sikap negara adidaya produsen vaksin yang masih enggan bergabung dalam COVAX pun memberi peluang menjadikan vaksin ini sebagai alat politik mereka untuk menarik loyalitas negara-negara lain di dunia.
Maklum, negara-negara tadi tak hanya dikenal dengan watak pedagang, tapi juga dikenal sebagai negara ideologis yang terus berambisi melakukan penjajahan.
Lantas bagaimana dengan nasib rakyat Indonesia? Ketua Penanggung Jawab Tim Pengembangan Vaksin Covid-19 Bambang Brodjonegoro sempat memprediksi Indonesia sendiri butuh sekira 570 juta vaksin. Mengingat penelitian menunjukkan pemberian vaksin tak cukup satu kali dilakukan (tirto.id, 09/10/2020).
Maka, untuk mendapatkan akses terhadap fasilitas vaksin global yang sedang dikembangkan, Indonesia pun buru-buru bergabung dalam program COVAX Facility. Bahkan sudah membayar dana untuk Down Payment (DP) pembelian vaksin sebesar Rp3,3 triliun dari Rp37 triliun dana yang disiapkan pada September lalu kepada WHO.
Di luar itu, pemerintah melakukan pembicaraan khusus dengan CEPI untuk menggagas kerja sama kelembagaan. Mengingat CEPI sudah mengakui keberadaan Bio Farma sebagai perusahaan pelat merah yang layak menjadi produsen vaksin Covid-19.
Selain dengan CEPI, pemerintah melalui Bio Farma pun diketahui bekerja sama dengan Sinovac Biotech Cina, serta Kalbe Farma dengan perusahaan Genexine Korea Selatan. (VoA Indonesia).
Dan kemarin, pemerintah diberitakan bernegosiasi terkait vaksin asal Inggris buatan AstraZeneca dan Oxford of University, bahkan siap membayar 3,6 triliun sebagai DP pembelian vaksinnya. (liputan6.com, 12/10/2020).
Memang, besarnya kebutuhan negara atas vaksin ini membuat pemerintah Indonesia mau tidak mau membuka opsi pelibatan pihak swasta, termasuk pengadaan Vaksin Merah Putih yang sedang dikembangkan Indonesia.
Sungguh benar-benar ironis. Semenjak dunia dikooptasi sistem sekuler kapitalisme neoliberal, kemanusiaan memang kian hilang. Mereka yang punya kekuatan malah berlomba mencari keuntungan besar meskipun di atas penderitaan orang.
Potret berbeda tampak pada negara miskin dan pengekor seperti Indonesia. Meski dikenal sebagai negara superkaya, namun Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya nampak tak berdaya. Mereka begitu bergantung pada negara-negara adidaya. Hingga tanpa malu, mengais-ngais iba dari mereka.
Dalam konteks hubungan dengan rakyatnya, negara juga makin abai mengurus mereka. Karakter oligarki korporatokrasi makin kental sejalan dengan kuatnya pengaruh kekuatan modal di berbagai kebijakan yang ada.
Kondisi hari ini sangat berbeda jauh dengan kondisi masyarakat saat ideologi Islam menaungi kehidupan. Dunia betul-betul dilingkupi keberkahan dan kedamaian tersebab penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Saat itu, negara Islam (Khilafah) betul-betul hadir memfungsikan diri sebagai pengurus dan pengayom rakyat sebagaimana perintah syariat: menjamin kebutuhan mereka dengan sebaik-baiknya, mulai dari kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, keamanan, hingga kesehatan.
Hebatnya, Khilafah punya sumber-sumber keuangan yang sustainable dan luar biasa besar yang dikelola lembaga keuangan bernama baitulmal. Khususnya berasal dari kekayaan milik umat berupa sumber daya alam yang depositnya tak terbatas, yang dianugerahkan Allah Ta’ala pada negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia.
Wallaahu a’lam.