Oleh : Azzahra
Berita santer sejagat raya akhir-akhir ini masih terus mengalami pergejolakan yakni pasca ketukan palu UU Omnibus Law atau Ciptaker yang telah disahkan.
Dilansir dari Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam pidato pelantikannya di Sidang Paripurna MPR RI pada 20 Oktober 2019 memaparkan penyederhanaan segala bentuk kendala regulasi yang disebut Omnibus Law. Salah satunya tentang Cipta Kerja yang baru disahkan DPR RI.
Program Presiden itu ditindaklanjuti dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Pada Sidang Paripurna DPR RI 17 Desember 2019, DPR RI menetapkan 248 (dua ratus empat puluh delapan) Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi prioritas.
Dimuat juga dari Banjarmasin, KP – Aliansi Pekerja Buruh Banua (PBB) menggelar aksi unjuk rasa menolak Undangan-undang Cipta Kerja Omnibus Law di depan Kantor DPRD Kalsel, Jalan Lambung Mangkurat, Kamis (22/10/2020) siang.
Mereka tergabung dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kalsel, Konfederasi Serikat Pekerja Selurub Indonesia (KSPSI) Kalsel, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Kalsel.
Mereka menolak keras Undang-undang Cipta Kerja Omnibus Law yang sudah disahkan DPR RI pada 5 Oktober lalu. Yang hingga kini draft atau naskah aslinya belum jelas dan tak dapat diakses.
Pada BANJARMASIN, KOMPAS.com - Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kalimantan Selatan (Kalsel) kembali menggelar aksi unjuk rasa menolak Undang-undang (UU) Cipta Kerja, Kamis (15/10/2020) siang..
Unjuk rasa ini merupakan yang kedua kalinya dilakukan setelah pekan lalu juga menggelar aksi yang sama di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalsel.
Dalam unjuk rasa kali ini, mahasiswa kembali menyuarakan aspirasi menolak UU Cipta Kerja. Bahkan massa menuntut Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja. "Tuntutan kita yakni meminta Jokowi untuk membatalkan Undang-undang Cipta Kerja dengan mengeluarkan Perpu," teriak Koordinator BEM se-Kalsel, Ahdiyat Zairullah menggunakan pengeras suara. Sebelum bergerak ke Kantor DPRD Kalsel, mahasiswa terlebih dahulu menggelar aksi di Bundaran Hotel A, Banjarmasin.
Dengan melihat realita yang ada bahwa yang menduduki sebagai wakil rakyat tidak lagi memihak kepada rakyat dimana suara rakyat hanya diperuntukkan untuk memilih kekosongan kandidat saja itupun bagian dari formalitas untuk mencari simpatik masyarakat namun ketika sudah terpilih ibarat kacang lupa dengan kulitnya.
Walhasil, ketika masyarakat menyampaikan aspirasi penolakaan dengan mudah dikebiri bahkan tidak sama sekali dihargai. Namun ketika rakyat menjerit histeris melihat kezholiman maka begitu mudah menganggap rakyat sebagai musuh hingga terjadilah perlawanan antara aparat keamanan dengan masyarakat hingga tak terelakkan padahal kini masih dalam kondisi pandemi tapi pemimpin negeri ini tidak mampu mendinginkan suasana akibat kebijakannya tersebut.
Beginilah mentalitas pejabat negeri yang hanya memiliki orientasi kekuasaan semata ketika terpilih bagaimana mengembalikan modal sebanyaknya serta kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya memuluskan para pemilik modal.
UU tersebut juga dijadikan dalih penguasa dalam mengatasi resesi, padahal memberi karpet merah bagi investor dan asing. Ini seperti menjadikan rakyat sebagai “jongos” di rumahnya sendiri. Memberangus aspirasi rakyat, merepresi dengan kekerasan, dan memperlakukan rakyat sebagai musuh.
Jadi dilihat, yang mana memberi karpet merah kepada investor dan asing adalah watak kapitalis. Sedangkan memperlakukan rakyat dengan kekerasan adalah rasa komunis. Rakyat masih juga didorong untuk judicial review ke MK.
Apakah ada peluang UU ini tidak bermasalah atau regulasi yang lahir dari judicial review ini nantinya berpihak kepada rakyat? Dari aturan mainnya saja sudah bermasalah.
Dalam pasal 59 ayat 2 UU No 8 Tahun 2011 tentang MK, disebut jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, pada 01/09/2020 ada penghapusan terhadap pasal tersebut. Sehingga, jika Judicial Review dipenuhi, tidak ada kewajiban DPR atau Presiden untuk menindaklanjutinya.
Sungguh miris melihat UU tersebut, negeri ini ibarat jajahan barang obralan untuk bisa diperdagangkan kepada para investor dengan fasilitas yang mudah dan murah hingga terkait efek kerusakan lingkungan yang ditimbulkan nantinya pada negeri ini pun diabaikan. Dengan dalih ingin memperbanyak lapangan pekerjaan hanyalah ilusi semata.
Faktanya bukan hanya UU Ciptaker/Omnibus Law saja ada RUU PKS, UU KPK, UU Minerba, UU Tapera, RUU HIP yang dirancanng dan beberapa dirilis di tengah kondisi ketidak pastian akibat virus covid-19.
Langkah-langkah tersebut yang menimbulkan terjadinya Distrust pada pemerintah yakni kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam menangani masalah wabah dan juga membuat geram masyarakat. Semakin kesini semakin kelihatan bahwa pemimpin negeri ini tidak becus memutus rantai penularan Covid-19 disaat rakyat mengalami kesulitahan hidup hingga terancam di gelombang resesi namun negeri ini malah menggolkan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat dan membiarkan kegaduhan masyarakat dikondisi pandemi saat ini. Akibatnya membuat masyarakat tidak lagi percaya terhadap elemen pemerintahan terkait kebijakan yang terus mengecewakan rakyat.
Maka wajar untuk melihat cara pandang keputusan dilihat dari objek yang diambil bila asas manfaat dan orientasi kekuasaan dalam sistem kapitalis-sekuler dijadikan tujuan adalah nyata dan harus dilawan dengan akal sehat. Serta sifat dasar kapitalis yang rakus sangat tampak disetiap kebijakan yang dibuat hanya menguntungan segelitir pihak elite pengusaha sehingga sistem kapitalis-sekuler melanggar aturan Allah demi nafsu kekuasaan adalah keborokannya.
“Sebaik-baiknya pemimpin diantara kalian ialah pemimpin yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakannya dan merekapun mendoakan kalian, dan seburuk-buruknya pemimpin diantara kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknatnya dan mereka pun melaknat kalian (HR. Muslim)
Jadi jelas seburuk-buruknya pemimpin ialah antara pemimpin dan rakyat saling melaknat dan sebaliknya rakyat yang merasa terzholimi melatnat kembali pemimpinnya karena kekecewaan yang mendalam disebabkan pemimpin yang tidak mampu beranggung jawab terhadap rakyat yang dipimpin.
Mengutip pernyataan dari Ibnu Jauzi, “Sungguh telah cukup lama rasa heranku terhadap orang yang beriman kepada Allah azza wa jalla, beriman kepada balasan-Nya. Sementara ia memilih melayani penguasa padahal ia melihat sekali kezaliman nyata yang dilakukannya.”
Dimana makna melayani penguasa adalah berada dalam posisi yang regulasinya seperti yang diciptakan kezaliman tersebut. Untuk itu wajib mengambil solusi yang bersumber dari Ilahi dan mencampakkan sistem hari ini yaitu Kapitalis-Sekuler.
Tidak cukup hanya menolak satu regulasi ini saja UU Ciptaker karena tidak akan bisa menyelesaikan resesi, tetapi masih banyak regulasi lain yang cepat atau lambat akan menghasilkan masalah-masalah baru karena tidak berbasis aturan Ilahi.
Rasulullah Saw bersabda : “Akan ada setelahku para umara’. Siapa yang masuk kepada mereka dan membenarkan kedustaan mereka dan mendukung kezaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya dan tidak disediakan atasnya telaga (di Hari Kiamat). Dan siapa yang tidak masuk kepada mereka (para umara’ tersebut) dan tidak membenarkan kedustaan mereka, dan tidak mendukung kezaliman mereka maka maka dia adalah dari golonganku, dan aku golongannya, dan dan baginya disediakan telaga (di hari kiamat).” (HR Ahmad).,
Oleh karena itu, sebagaimana juga sabda nabi “Imam itu adalah laksana pengembala, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban akan rakyatnya (yang dibelakangnya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Ahmad). Maka hal tersebut hanya akan terlaksana bila kembali kepada aturan Islam secara kaffah sebab seorang imam tidak lagi berlandaskan untung dan rugi dan tidak akan serampang dalam mengambil sebuah kebijakan dengan hawa nafsunya serta menjadikan rasa takut kepada Allah yang pasti akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak terhadap rakyat yang diurusnya sehingga ketakwaan kepada Allah yang menjadi tujuan utama. Wallahu a’lam bish-shawab.