Oleh: Marhamah Shalihah S.Pd (Pendidik)
Setelah menunggu hampir 1 bulan, akhirnya Presiden Joko Widodo menandatangani UU CIPTA KERJA tanggal 2 November 2020 pada hari Senin lalu. UU CIPTAKER diundangkan dalam nomor 11 tahun 2020. (@cnnindonesia, 2/11). Meskipun demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah oleh para buruh, mahasiswa dan pelajar menolak pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu, namun harus dihadapkan dengan tindakan kekerasan oleh pihak Kepolisian. Mereka menyuarakan aspirasi rakyat, namun ternyata Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah mengkhianati rakyat itu sendiri. Belum reda dampak wabah Korona, UU ini semakin menambah kecemasan dan penderitaan rakyat.
Penyusunan RUU oleh Pemerintah dan pembahasannya oleh DPR terkesan sengaja ditutupi dan menimbulkan banyak kejanggalan, baik dalam proses regulasi dan substansinya. Ternyata konstelasi dan perkembangan dari draft sejak tanggal 12 Februari 2020 telah mengalami revisi 6 kali , meskipun DPR telah mengesahkannya tanggal 5 Oktober dengan tebal 905 halaman , 15 bab dan 186 pasal. Namun Pemerintah masih terus merubah isi pasal hingga tanggal 19 Oktober kemarin menjadi setebal 1187 halaman. (@fraksipksdprri, 24/10).
Sejak awal, nuansa UU ini sebenarnya semakin mengokohkan UU pro liberal dan kapitalis, yang selama ini sudah ada. Tampak dari dibentuknya Satgas Cipta Kerja oleh Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, dari kalangan Pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Merekalah yang selama ini bermain di berbagai sektor dan memiliki hubungan dengan bisnis pertambangan dan pemilik perusahaan. (@bersihkanindonesia, 5/11).
Dari penelusuran Juru bicara #BersihkanIndonesiaDariJaringanTambang, Merah Johansyah, tentang analisa profil para Satgas dan Panitia kerja (Panja) UU Ciptaker DPR, terungkap 12 aktor penting yang memiliki hubungan dengan bisnis pertambangan, beberapa diantaranya adalah Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian), Puan Maharani (Ketua DPR), Arteria Dahlan (anggota Fraksi PDIP), Rosan Roeslani (Ketua Kadin), Lamhot Sinaga (anggota Fraksi Golkar), Benny Sutrisno (Wakil Kadin),dll. Menurut Iqbal Damanik, Direktur Tambang dan Energi Auriga Nusantara, mengungkapkan bahwa: setidaknya 57% anggota Panja sendiri merupakan Pelaku usaha, dan sebagian dari mereka adalah Tim Sukses dan Kampanye Jokowi pada Pilpres 2019. Maka tak ayal lagi kita menyatakan bahwa UU Ciptaker ini adalah untuk balas jasa para Konglomerat.
Substansi UU Ciptaker ini semakin pro liberal dan neo Imperialis, yang akan menambah kesengsaraan rakyat dan membahayakan kedaulatan negara. Adapun substansi pasal pasal yang kontroversial dan sarat dengan kezhaliman yaitu:
1. Berpotensi menggusur tanah milik rakyat secara massif.
2. WNA dapat memperoleh sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang dimiliki oleh negara atau pemilik tanah.
3. Berpotensi merusak lingkungan
4. Menghapus pembatasan jabatan TKA di bidang jasa konstruksi.
5. Mengancam keberpihakan negara terhadap nelayan kecil.
6. Mengancam pendapatan negara dan daerah di sektor pertambangan mineral dan batubara.
7. Mengancam moral bangsa.
8. Membuka liberalisasi industri pertahanan nasional.
9. Mengancam wilayah konservasi perairan.
10. Menghilangkan 70% penggunaan ABK WNI di Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia.
11. Syarat minimal 30% untuk mempertahankan kawasan hutan dan aliran sungai dihapus.
12. Mengancam kesejahteraan dan jaminan pekerjaan para buruh.
13. Liberalisasi bidang pendidikan.
14. Sertifikasi halal produk tidak lagi harus dari MUI, dll. (@fraksipksdprri, 24/10).
Dari paparan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa UU CIPTA KERJA sangat kental dengan kepentingan para investor baik dalam negeri maupun luar negeri dan mengabaikan kepentingan masyarakat, terlebih kaum buruh. UU ini bukan memperbaiki ekonomi Indonesia, namun memperparah kondisinya. Para kapitalis lokal dan asing semakin berpesta pora menjarah SDA negeri ini, sedangkan rakyat hanya menjadi kuli ditambah krisis ekonomi akan semakin menjadi-jadi.
Dalam sistem Demokrasi, UU memang sangat rentan ditunggangi oleh kepentingan para pembuatnya. Simbiosis mutualisme antara elite politik yang butuh modal, sementara pemilik modal memerlukan akses dan perizinan yang memuluskan usahanya. Sehingga slogan bahwa Demokrasi itu perwujudan kehendak rakyat, sejatinya adalah ilusi yang utopis direalisasikan dalam kenyataan. Penyakit utama dalam Demokrasi adalah standar hukum yang tidak jelas yakni standar yang hanya berasaskan pada suara mayoritas. Padahal mayoritas tersebut bertumpu pada segelintir elite. Akibatnya hukum mengabdi demi melindungi kepentingan segelintir penguasa dan pengusaha tsb.
Solusi Islam
Islam memiliki mekanisme dalam menyelesaikan krisis, bahkan sebelum krisis terjadi, Islam telah mengantisipsinya terlebih dahulu. Adapun solusi Islam dalam mengatasi permasalahan terkait substansi UU Ciptaker dikategorikan dalam 3 hal, yaitu:
1. Investasi
Terkait mekanisme investasi, dalam Islam memiliki regulasi yang dilakukan oleh Khilafah, yaitu:
a). Investor asing tidak boleh berinvestasi di bidang yang strategis atau vital. Contoh: industri persenjataan, pencetakan uang, informasi dan komunikasi, industri berat,dll.
Allah swt berfirman, yang artinya: “…dan Allah swt sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (TQS. An nisa:141).
b). Investasi asing tidak boleh dalam bidang yang membahayakan. Contoh: pembalakan hutan, produksi khamar dan narkoba,dll. Hal ini dilarang, sebagaimana kaidah syara’: “Al ashlu fil mudhoroti tahrim (segala sesuatu yang membahayakan, hukumnya haram)”.
c). Investasi tidak diperbolehkan dalam bidang yang haram dan sektor nonriil. Contoh: prostitusi, perjudian, diskotik, bursa saham, dll. Hal-hal haram yang bersifat jasa, kaidah syara’ menjelaskan: “Laa tajuuzu ijaaratul ajiir fii maa manfa’atuhu muharramah (tidak diperbolehkan melakukan kontrak kerja pada jasa yang diharamkan)”. Kaidah ini berangkat dari mafhum riwayat yang dituturkan Ibnu Mas’ud : “Nabi saw telah melaknat pemakan riba, orang menyerahkannya, para saksi dan pencatatnya”. (HR. Ibnu Majah).
d). Investasi asing tidak diperbolehkan dalam kepemilikan umum. Contoh: air, hutan, api (sumber energi), benda-benda yang termasuk fasilitas umum seperti listrik, jalan raya, laut, danau, sungai dan pertambangan yang jumlahnya sangat besar. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Kaum Muslimin berserikat dalam 3 hal yaitu: air, hutan dan api”. (HR. Abu Daud).
e). Investasi asing tidak boleh dalam hal yang membahayakan akhlak Muslim. Contoh: acara-acara di TV, radio, media elektronik maupun cetak yang merusak akhlak,dll.
f). Investor bukanlah terkategori Muhariban fi’lan. Hubungan dengan mereka hanyalah dakwah dan Jihad.
2. Ketenagakerjaan
Persoalan ketenagakerjaan erat kaitannya dengan kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi. Permasalahan-permasalahan yang muncul akibat semata hubungan pengusaha dan pekerja, terdapat hukum-hukum yang menyangkut ijarah (kontrak kerja). Adapun apabila rakyat tidak memiliki pekerjaan, maka Khilafah Islam bertanggungjawab untuk menjamin setiap warganya mendapatkan pekerjaan sehingga bisa menghidupi diri dan keluarganya. Disamping itu memastikan mereka menunaikan kewajibannya tersebut, karena Islam telah mewajibkan mereka mencari rezeki dan berusaha. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al Mulk: 15, yang artinya: “Berjalanlah kalian di segala penjuru bumi serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya”.
3. Kebutuhan Hidup Rakyat
Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan melakukan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Kebijakan ini menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu disertai adanya jaminan yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap sesuai kemampuan yang dimiliki. Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan dengan ekonomi kepada manusia, Allah swt telah menetapkan hukum-hukum tersebut untuk pribadi, masyarakat dan negara.
Kebutuhan primer dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan. Khilafah yang akan menjamin terselenggaranya penanganan masalah tersebut. Sehingga rakyat, apapun pekerjaanya, akan dijamin pemenuhan pendidikan anak-anaknya, kesehatan keluarga, transportasi aman dan nyaman, serta energi untuk keperluan rumah tangganya. Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban negara dan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat, menjadikan rakyat mengaksesnya dengan murah bahkan gratis. Bukan malah diserahkan pengurusannya kepada individu atau kapitalis yang berorientasi kepada materi dan keuntungan.
Rasulullah saw bersabda: ”Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. (HR. Bukhari).
Walhasil, sebenarnya penolakan dan kritikan tidak cukup hanya ditujukan pada UU Ciptakerja yang banyak menimbulkan kemudhorotan dan kezhaliman bagi rakyat. Akan tetapi lebih dari itu, kritik mendasarnya adalah sistem ekonomi Kapitalis Liberalis dan sistem pemerintahan Demokrasi yang bobrok ini.
Cukuplah sabda Rasulullah saw. ini sebagai peringatan: “Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah swt mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak menunaikan hak rakyatnya), kecuali Allah swt akan haramkan dia (langsung masuk) surga.” (HR Muslim). Wallaahu a’lam bish-Shawwab.