Utang Menggunung, Negara Makin Bergantung



Oleh: Zikra Asril, SE 

(Aktivis Muslimah)

Bank Dunia telah merilis  International Debt Statistics (IDS) 2021 tentang data utang luar negeri (ULN) 120 negara. Dari laporan tersebut Indonesia menduduki peringkat ke 7 di antara negara berpendapatan menengah dan rendah. Juni lalu Bank Dunia juga mengucurkan lagi pinjaman Rp.3,6 triliun ke RI untuk tangani corona. Saat ini ULN Indonesia sebesar US $ 402 Milyar atau setara dengan Rp.5.948 T. Saat ini ULN Indonesia  lebih besar dari Argentina, Afrika selatan Dan Thailand .

Kondisi ini tentu mengkhawatirkan karena Pemerintah telah mewariskan utang kepada generasi mendatang. Artinya utang ini akan terus menjadi beban negara. Apabila membangun negara dengan utang maka diprediksi negara itu akan selalu bergantung pada kreditur baik kreditur swasta, lembaga keuangan internasional maupun negara. Bukan menjadi rahasia lagi utang telah dijadikan alat untuk mengintervensi suatu negara. Utang tahun 1998 kepada IMF adalah buktinya. Pada saat penandatangan MoU dengan IMF ada klausul untuk menghentikan pendanaan terhadap proyek pembuatan pesawat N250. Pada akhirnya cikal bakal Industri pesawat terbang Indonesia itu resmi dihentikan. Padahal Industri pesawat terbang adalah Industri strategis untuk menjadi negara mandiri. Harusnya sejarah kelam ini menjadi pelajaran akan bahaya utang apalagi utang luar negeri.

 John Cavanagh, peneliti dari Institute for Policy Studies di Washington D.C. Amerika Serikat (AS) dalam tulisannya berjudul “World Bank, IMF Turned Poor Third World Nations into Loan Addicts” menyatakan, ketika negara menerima structural advice atau persyaratan struktural, Bank Dunia “menghadiahi” negara tersebut dengan pinjaman lebih banyak lagi yang memperdalam utang mereka. Sehingga akan memunculkan loan addicts (candu utang).  Lalu, Cavanagh juga mengungkapkan ada implikasi dari persyaratan struktural riil yang seolah bagai pedang bermata dua bagi negara peminjam.

Komentar senada juga disampaikan Catharine Weaver dalam tulisannya, “Hypocrisy Trap: The World Bank and the Poverty of Reform” menyatakan, penyesuaian struktural bagi sebuah negara sebagai syarat pinjaman Bank Dunia membuat negara tersebut menjadi aid dependence atau ketergantungan dana bantuan.

Inilah salah satu bahaya yg harus dihadapi oleh negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem kapitalisme memang meniscayakan utang. Sumber pemasukan negara hanya dari pajak dan non pajak. Ketika pos penerimaan ini tidak mampu membiayai pengeluaran negara maka alternatif yang ditawarkan adalah utang, baik utang domestik maupun utang luar negeri.

Ditambah lagi indikator keberhasilan ekonomi yang dipakai adalah pertumbuhan ekonomi. Variabel yang menjadi perhitungan adalah konsumsi masyarakat, investasi, belanja pemerintah dan net ekspor. Perlu dicermati variabel kunci dari keempat variabel ini adalah investasi. Dengan investasi tersedia lapangan pekerjaan untuk masyarakat sehingga konsumsi masyarakat meningkat. Investasi pula yang menentukan pajak yang besar yg diterima pemerintah untuk membiayai belanjanya.  begitupun penentu kenaikan ekspor. Sehingga sistem ekonomi kapitalisme memang menjadikan penguasa negara itu adalah investor. Akibatnya negara akan selalu bergantung pada investor (red: pemilik modal). Pemerintah tidak akan mampu independent membangun negara karena di dalam sistem kapitalisme negara hanya regulator bukan pelayan rakyat. Mari kita bayangkan sejenak bagaimana jadinya negara ini 10 atau 20 tahun yang akan datang dimana negara dibangun dengan basis investasi Dan utang, maka bisa dipastikan negara ini semakin menuju liberalisme ekonomi Dan akhirnya akan terus bergantung pada utang Dan investasi

Hal ini tentu saja menjadikan Visi Indonesia 2030 hanyalah sebuah halusinasi. Negara yang mandiri hanya akan berdiri dengan sistem aturan yang tiada satupun  bisa mengintervensi. Tentu caranya adalah keluar dari aturan sistem yang mengintervensi itu yaitu sistem ekonomi kapitalisme. Sebagai negara mayoritas Muslim sudah seharusnya sistem alternatif yang diambil adalah sistem Islam. Karena Islam membuat manusia itu bergantung hanya pada Allah pemilik kehidupan ini. bukan kepada manusia atau negara lain apalagi pemilik modal. Sistem Islam dalam bentuk negara Khilafah mempunyai aturan pengelolaan untuk mengatur ekonomi negara. Sumber pemasukan berupa harta milik umum dan milik negara adalah aset yang besar untuk mensejahterahkan rakyat. Dengan demikian khilafah akan tumbuh menjadi negara yang mandiri, kuat dan terdepan. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak