UNDANG-UNDANG OMNIBUS LAW CIPTA KERJA, UNTUK SIAPA?





Oleh : Halimah Tsa’diyah

Dalam situasi pandemi covid-19 yang masih memuncak dan mempunyai dampak yang luas terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat, yang membuat masyarakat semakin terburuk terutama dalam hal ekonomi seperti pendapatan usaha yang semakin menurun, pemutusan hubungan kerja (PHK), sulit mendapatkan lapangan pekerjaan karena tidak ada ketersediaan lapangan pekerjaan, sementara tuntutan kebutuhan hidup terus meningkat dan tidak bisa terelakan. Selain itu, eforia atau hiruk pikuk tentang pemilihan kepala daerah juga menyedot perhatian publik, namun demikian, publik juga dikejutkan dengan pengesahan undang-undang cipta kerja.  Sementara di sisi lain perhatian masyarakat terhadap kebutuhan hidupnya sehari-hari yang demikian sulit  pada saat yang bersamaan DPR justru mengambil kesempatan untuk mengesahkan undang-undang cipta kerja, yang kemudian menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Secara normatif UU sepertinya akan mengakomodir kepentingan semua pihak, baik masyarakat, kalangan dunia usaha dan pemerintah, akan tetapi setelah rancangan UU tersebut disahkan menjadi UU justru menuai kritik dan penolokan dari berbagai pihak, termasuk partai politik oposisi. Gelombang demonstrasi dari masyarakat terutama kaum buruh dan mahasiswa terjadi di berbagai kota, akibatnya menimbulkan masalah anarkis di berbagai tempat. Bahkan para tokoh serikat pekerja berjanji terus melakukan demo sampai pemerintah membatalkan UU tersebut. Aksi demo tersebut justru mendapat simpati dari beberapa kepala daerah, dan mereka mendesak pemerintah agar mengeluarkan perpu untuk membatalkan UU tersebut. Kalau terjadi kritikan dan demontrasi masyarakat secara besar-besaran sebagai bentuk penolakan atas UU omnibus law cipta kerja, maka pertanyaannya adalah UU tersebut dibuat untuk kepentingan siapa? Omnibus law kemudian diterapkan pada rancangan undang-undang yang muatannya lebih dari satu subjek. 
Oleh karena itu, UU Omnibus Law Cipta Kerja, adalah hanya cukup satu undang-undang dapat mengatur berbagai hal, Namun dalam perkembangannya ada yang menyangkal tentang perubahan pasal dan isinya dalam UU tersebut karena ada kerapihan redaksinya. Spekulasi tentang hal tersebut terjadi karena pada saat pengesahan UU omnibus law cipta kerja tidak dibarengi dengan publikasi draf aslinya. Ironismya adalah DPR dan pemerintah menganjurkan kepada pihak-pihak yang menolak UU untuk membacanya, sementara draf aslinya yang sudah disahkan menjadi UU tidak dipublikasikan, sehingga membingungkan seluruh lapisan masyarakat. 
Berdasarkan fakta UU Omnibus Law hanya akan melahirkan ketidakadilan berupa pengorbanan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang PHK massal, hingga penghapusan pidana perburuhan. Selain itu, diskriminatif dalam pelaksanaan hukum, semakin banyaknya penggusuran, hingga potensi memperparah pelanggaran tata ruang dan alih fungsi zona. 
UU omnibus law cipta kerja dianggap sebagai solusi terhadap tumpang tindihnya sejumlah peraturan perundang-undangan yang menghalangi investasi, baik investasi asing maupun investasi dalam negeri sebagaimana yang disampaikan pemerintah, Oleh karena itu pemerintah dan DPR memiliki argumentasi yang sama, bahwa dengan adanya UU omnibus law yang telah disahkan DPR tersebut dapat mempermudah investasi dan penyerapan tenaga kerja. Dari aspek lingkungan,  komnas Ham mengatakan bahwa UU omnibus Law akan membuat pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi lingkungan hidup yang baik dan sehat, karena mengubah izin lingkungan menjadi persetujuan linkungan dan berkurangnya kewajiban Amdal bagi kegiatan usaha.  Hal ini akan mengancam kelestarian lingkungan hidup dan mengancam warga masyarakat, akibat dari kerusakan lingkungan maupun pencemaran lingkungan. Sehingga boleh dikatakan bahwa UU omnibus law cipta kerja tersebut lebih berpihak kepada kepentingan pelaku bisnis atau para kapitalis terutama bagi kapitalis asing yang memiliki modal besar, sehingga mereka bisa leluasa berinvestasi di Indonesia pada sektor-sektor yang menjanjikan, dan UU tersebut justru kurang bersahabat dengan para pekerja (buruh), masyarakat dan linkungan. Inilah akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini, yang menganut prinsip kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah), sehingga para kapitalis atau pelaku bisnis bebas memiliki dan mengelola sumber daya alam sektor migas, kehutanan, perairan, pertambangan dan lain-lain.
Oleh karena itu maka Solusinya adalah diterapkannya sistem Islam dengan prinsip Ibahatu al-milkiyyah, bukan hurriyah milkiyyah, sehingga ada batas-batas kepemilikan, baik kepemilikan Individu, Kepemilikan umum dan kepemilikan negara serta kewenangan pengelolaannya, dengan standar halal dan haram kepemilikan dan pengelolaan tersebut. Sedangkan terkait dengan standar gaji buruh adalah didasarkan pada standar yang digunakan oleh Islam yakni manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, artinya harga yang disesuaikan dengan kondisi pasar bukan mengikuti kehendak pemilik perusahan atau pemilik modal dan hal ini akan di atur oleh negara sebagai wujud pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak. Waalahu A’alam bi Showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak