Oleh : Rahmayana, S.Pi
(Tokoh Muslimah Muara Enim)
Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana bencana amblasnya tambang baru bara milik rakyat “illegal” yang menyebabkan tertimbunnya 11 (sebelas) orang pekerja di Desa Tanjung Lalang Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan pada 21 Oktober 2020 lalu. Peristiwa ini masih menyisakan kesedihan pada keluarga korban.
Menyikapi hal tersebut, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru sangat menyayangkan kejadian itu, yangterjadi pada tambang milik rakyat yang berstatus ilegal. Untuk mencegah terulangnya kembali kejadian tersebut, Herman Deru mendorong rakyat untuk melakukan legalisasi usaha tambang batu bara yang ada di Muara Enim dengan target akhir tahun 2020 sudah dapat terealisasi, seperti dilansir dari Kompas.com, 06/11/2020 Herman Deru Mengatakan "Dalam prosesnya nanti, akan ada sebuah badan usaha baik itu dari BUMN atau BUMD yang mengkoordinir aktivitas para penambang tersebut, sehingga semua dapat berjalan secara lebih aman dan memiliki standar keselamatan yang jelas".
Sudah seharusnya negara yang mengelola berbagai jenis tambang yang ada di negeri ini. Sehingga dapat meminimalisir kejadian serupa. Namun, sistem Kapitalisme yang saat ini diterapkan negeri ini telah menghilangkan tanggung jawab
negara untuk mengelola sumber daya alam. Pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta dan negara berperan sebagai regulator, yang menerima pendapatan dari pajaknya saja. Ketika swasta mampu membeli nilai pada sumberdaya tersebut, maka sumberdaya tersebut akan menjadi milik individu, terlepas apakah sumberdaya itu menyangkut hajat hidup orang banyak (publik) ataukah tidak.
Bagaimana dalam Sistem Islam?
Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi Asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.:
“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama: Pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar dan lain-lain bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemudaratan bagai masyarakat.
Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat, karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka wajib dikelola oleh negara.
Selanjutnya hasil keuntungan penjualan baik dari dalam negeri maupun ekspor maka dapat digunakan: Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Kedua, dibagikan kepada kaum muslim atau seluruh rakyat. Dalam hal ini Pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan.
Dengan demikian, selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tidak akan banyak manfaatnya bagi rakyat. Hal ini juga juga akan mengurangi keberkahannya. Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.
Alhasil, mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya, dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara. Pasalnya, banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumberdaya alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini.
WalLâhu alam.