Oleh Aas Asiyah
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum 30: Ayat 41)
Kebakaran hutan yang disengaja demi kepentingan pribadi kembali terjadi. Baru-baru ini terkuak fakta bahwa kebakaran hutan itu sengaja dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh salah satu perusahaan penanam modal asing asal Korea Selatan.
Pada tanggal 12/11 beredar video hasil Investigasi terbakarnya hutan Papua. Investigasi yang dilakukan oleh Forensic Architecture dan Greenpeace Indonesia, yang diterbitkan pada Kamis (12/11/2029) bersama dengan BBC, menemukan bukti bahwa Korindo telah melakukan pembakaran hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawitnya.
Investigasi menemukan bukti kebakaran di salah satu konsesi Korindo selama beberapa tahun dengan pola 'pembakaran yang disengaja' secara konsisten. (BBCIndonesia.com, 12/11/20)
Dari pihak perusahaan sendiri membantah dengan tudingan tersebut dan mereka mengatakan bahwa kebakaran itu disebabkan oleh masyarakat suku Malind.
Sedangkan pernyataan dari pihak masyarakat malah menunjukkan sebaliknya
"Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang dari luar bongkar itu. Buat saya itu luka," ujarnya.
Seperti yang kita ketahui tanah papua kaya akan SDA yang melimpah, khususnya di bidang perhutanan. Luas hutan di sana mencapai 33.7 juta hektar dan 75% lahannya sudah menjadi milik asing. Termasuk 57.000 hektar hutan di sana telah dikuasai oleh PT Korindo, dan luas itu hampir sama luasnya dengan Seoul, ibu kota Korea Selatan. Kesepakatan itu disetujui oleh sekitar 10 marga suku di sana, dengan menukar lahan hutan mereka, masyarakat Papua di iming-imingi dengan beberapa fasilitas seperti diberikan uang ganti rugi, rumah bantuan, sumur air bersih, dll. (BBCIndonesia.com, 12/11/20)
Tapi pada kenyataannya, setelah bertahun-tahun kesepakatan itu dijalankan, masyarakat papua belum merasakan apa yang perusahaan Korsel itu janjikan. Akses air bersih dan listrik pun belum tersedia dan juga mahalnya harga bahan bakar per liternya sampai empat kali lipat harga di ibu kota. Uang yang diberikan sebagai ganti rugi pun tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat. (BBCIndonesia.com,12/11/20)
Tanah Papua yang kaya akan SDA sekarang semua itu tidak berarti bagi masyarakat papua karena SDA itu kini telah dikeruk kekayaannya oleh pihak Asing dan masyarakat papua sendiri harus berjuang mencari nafkah di tanah yang seharusnya mereka nikmati hasil kekayaannya.
Bukan hanya kerugian ekonomi saja yang mereka alami tapi kesehatan juga mengancam mereka setiap kebakaran itu terjadi. Hutan tempat di mana mereka mencari makan dan penghasilan kini telah dibabat habis oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan asap dampak dari kebakaran sendiri mengancam kesehatan paru-paru mereka.
Dalam Islam, hutan merupakan kepemilikan umum yang tidak bisa dimiliki oleh pribadi atau suatu perusahaan.
Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud "Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api."
Tapi pada kenyataannya sekarang ini banyak sekali tanah dan lahan yang beralih tangan menjadi kepemilikan individu dan perusahaan. Didukung pula dengan adanya UU Cipta Kerja yang di dalamnya terdapat UU Kehutanan seperti pada pasal 18 ayat (2) dan (3) juga keputusan bank tanah yg mengalokasikan 30% untuk reforma agraria umum. Di dalam UU itu juga dimudahkannya izin berusaha di kawasan hutan lindung bagi badan usaha. Dengan adanya UU tersebut mempermudah perusahaan asing atau swasta untuk melakukan deforestasi dan degradasi.
Lagi pula dengan izin usaha yang diberikan kepada pemilik modal sudahlah pasti potensi kerusakan dan degradasi akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan izin hanya diberikan kepada perseorangan atau koperasi. Bukannya membawa kebaikan, hal ini justru menyebabkan makin memperparah kerusakan lingkungan dan konflik kepemilikan lahan.
Merusak lingkungan dan hutan seperti membakar hutan, pencemaran lingkungan akan dikenakan sanksi Pidana sesuai dengan pasal 88 UU No.32 tahun 2019. Tapi sekarang banyak yang secara diam-diam melanggar pasal tersebut dan tidak ada tindakan langsung dari pemerintah setempat. Dalam hal ini sudah jelas bahwa rezim sistem demokrasi telah gagal dalam mengurusi kepentingan-kepentingan umat.
Karena itu, sudah semestinya kita tidak lagi tertipu oleh demokrasi. Sebab kemerdekaan dari penguasaan asing dan juga kesejahteraan rakyat dalam sistem ini hanyalah sebuah ilusi. Harus ada sistem alternatif yang betul-betul mampu menjamin kemerdekaan, melepaskan dari cengkraman asing. Juga secara nyata mampu memberikan kesejahteraan pada rakyat. Itulah sistem Islam.
Dalam sebuah negara dibutuhkan seorang pemimpin yang bijak dan adil. Tugas seorang pemimpin atau khalifah salah satunya adalah sebagai pengurus urusan rakyat yang harus mengurusi setiap kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
"... Imam (khalifah) adalah roin (pengurus rakyatnya), maka ia bertanggung jawab atas apa yang diurusnya itu." (HR. Bukhori)
Seorang khalifah atau pemimpin tidak akan pernah merampas hak rakyat, termasuk dengan masalah hak atas tanah. Sistem Islam juga tidak akan pernah membuat suatu UU yang nantinya akan merusak lingkungan dan tanah.
Di sisi lain merusak lingkungan juga tidak dibenarkan dalam Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 56)
Islam juga mendorong umat untuk melestarikan lingkungan dan menjaganya dengan baik sehingga tercipta keseimbangan dalam hidup antara alam dan manusia.
Dalam Islam dijelaskan juga secara rinci pengelolaan terhadap hutan, di antaranya :
1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
2. Pengelolaan hutan hanya boleh diurusi oleh negara, tidak boleh pihak lain. Negara sebagai sarana hanya boleh mengelolanya untuk kepentingan rakyat, dan hasil dari pengelolaan itu akan dikembalikan kepada rakyat yang kemudian akan dibangun fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi rakyat sehingga rakyat bisa menikmatinya secara gratis.
3. Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan provinsi/wilayah). Contoh untuk pengangkatan menteri kehutanan ada ditangan pemerintah pusat. Sedangkan pengelolaannya ditangani oleh daerah. Jadi bukan berarti setiap urusan ditangani oleh pemerintah pusat (khalifah).
4. Pendapatan hasil dari hutan dimasukkan ke dalam Baitul Mal ( kas negara) oleh negara dan mendistribusikan hasilnya untuk kepentingan dan kemaslahatan umat.
5. Negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus.
Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah.
6. Negara wajib melakukan pengawasan dan pengelolaan terhadap hutan. Pengawasan hutan seperti menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum dan menangani kasus pencurian, pembakaran dan perusakan hutan.
7.Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.
8.Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.
Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan).
Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya.
Dengan demikian sudah jelas bahwa sistem Islam adalah satu-satunya sistem yang tepat dan benar untuk mengurusi kemaslahatan umat termasuk juga dengan hal pertanahan ini.
Tags
Opini