Opini
Oleh : Lilik Yani (Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)
Pandemi tak kunjung usai. Jumlah korban positif covid-19 masih terus bertambah tinggi. Kebijakan new normal seakan membuat kehidupan normal tak ada pandemi. Umat tertipu lagi! Keadaan belum aman dan bahaya siap mengancam jiwa tanpa kompromi.
Dalam keadaan demikian, pemerintah lewat menteri pendidikan memberitahukan bahwa sekolah tatap muka akan segera dibuka lagi. Bagaimana respon masyarakat saat tahu kalau ada wacana sekolah, tatap muka akan dibuka?
Jika kebijakan pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Berarti harus menyiapkan sarana prasarana yang tidak sedikit. Sudahkah dipersiapkan dengan matang?
Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah disebut berencana membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 mendatang. Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyatakan, Komisi X DPR mendukung rencana tersebut dengan beberapa syarat.
“Kami mendukung pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan protokol Kesehatan ketat” ujar Huda dalam keterangannya, Jumat (20/11/2020).
Huda menyebut, pembukaan sekolah tatap muka memang menjadi kebutuhan, terutama di daerah-daerah. Hal ini terjadi karena pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak bisa berjalan efektif karena minimnya sarana prasarana pendukung, seperti tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata.
“Di beberapa daerah siswa selama pandemi Covid-19 benar-benar tidak bisa belajar karena sekolah ditutup. Kondisi ini sesuai dengan laporan terbaru World Bank (WB) terkait dunia Pendidikan Indonesia akan memunculkan ancaman loss learning atau kehilangan masa pembelajaran bagi sebagian besar peserta didik di Indonesia,” katanya.
Menurutnya kondisi tersebut akan memunculkan efek domino di mana peserta didik akan kehilangan kompetensi sesuai usia mereka. Lebih parahnya lagi, peserta didik banyak yang harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya atau terpaksa harus membantu orang tua mereka.
“Kami menerima laporan bahwa jumlah pekerja anak selama pandemi ini juga meningkat, karena mereka terpaksa harus membantu orang tua yang kesulitan ekonomi,” katanya.
Pembukaan sekolah dengan pola tatap muka, kata Huda, akan mengembalikan ekosistem pembelajaran bagi para peserta didik. Hampir satu tahun ini, sebagian peserta didik tidak merasakan hawa dan nuansa sekolah tatap muka.
“Kondisi ini membuat mereka seolah terlepas dari rutinas dan kedisplinan pembelajaran. Pembukaan kembali sekolah tatap muka akan membuat mereka kembali pada rutinitas dan mindset untuk kembali belajar,” katanya.
Kendati demikian, Huda menegaskan bahwa pemerintah harus memastikan syarat-syarat pembukaan sekolah tatap muka terpenuhi. Di antaranya ketersediaan bilik disinfektan, sabun dan wastafel untuk cuci tangan, hingga pola pembelajaran yang fleksibel.
Penyelenggara sekolah juga harus memastikan bahwa physical distancing benar-benar diterapkan dengan mengatur letak duduk siswa dalam kelas.
Bagaimana pendapat orangtua jika sekolah tatap muka dibuka di tengah pandemi covid masih melanda negeri ini? Kata Menteri Pendidikan, tidak ada paksaan bagi anak untuk masuk ke sekolah.
Kalaupun sekolah nantinya kembali dibuka, Nadiem menyebut orang tua tetap berhak menentukan apakah anak mereka akan mengikuti proses pembelajaran tatap muka di sekolah atau tidak.
"Orang tua masih bisa tidak memperkenankan anaknya untuk datang ke sekolah untuk melakukan tatap muka. Hak terakhir dari siswa individu, walau sekolahnya sudah tatap muka, masih ada di orang tua," kata Nadiem.
Rima Suliastini, orangtua siswa di Yogyakarta, mengatakan tidak setuju jika sekolah dibuka kembali sebelum vaksin Covid-19 diberikan kepada masyarakat.
"Pengumuman terlalu tergesa-gesa, kecuali setiap anak sudah mendapatkan vaksin dari pemerintah kemudian tatap muka. Itu mungkin lebih tepat. Pertanggung jawaban bagaimana kalau ada anak yang tertular, kemudian terjadi klaster? Tatap muka sebelum vaksin, aku nggak setuju," ujarnya kepada Furqon Ulya Himawan, wartawan di Yogyakarta yang melaporkan untuk BBC News Indonesia. (20 November 2020)
Nadiem menyatakan, terdapat sejumlah persyaratan terkait dengan protokol kesehatan yang harus diterapkan sebuah sekolah sebelum proses belajar-mengajar tatap muka kembali dapat digelar.
Dilansir IDN Times - Satuan tugas (Satgas) COVID-19 Kota Malang angkat bicara mengenai kesiapan sekolah untuk buka kembali. Secara umum, agar sekolah bisa melangsungkan pertemuan tatap muka, maka sarana dan prasarana harus mendukung.
Paling tidak, sesuai dengan 6 poin yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan. Setelah sekolah menyiapkan itu, Satgas COVID-19 akan meninjau langsung dan baru bisa memutuskan.
Pemerintah juga harus menyiapkan anggaran khusus untuk memastikan prasyarat-prasyarat protokol Kesehatan benar-benar tersedia di sekolah-sekolah.
Sesuai laporan WB, disebutkan bahwa 40% sekolah di Indonesia masih belum mempunyai toilet. Sedangkan 50% sekolah di Indonesia belum mempunyai wastafel dengan air mengalir yang diperlukan saat pandemi ini.
Banyak hal yang harus dipertimbangkan jika pemerintah akan membuka sekolah tatap muka di tengah pandemi dimana covid-19 masih berkecamuk. Masalahnya berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia.
Kebijakan new normal sebelumnya, membuat masyarakat menganggap kondisi sudah normal (aman). Masyarakat mulai berani berkeliaran di muka bumi dengan alasan bekerja, mencukupi kebutuhan keluarga. Meski ditertibkan dengan protokol kesehatan namun kenyataanya banyak yang menyepelekan.
Bagaimana nanti jika sekolah tatap muka di buka? Sekolah belum dibuka saja, banyak anak berkeliaran di jalan. Ada yang bilang jenuh di rumah, ada pula yang terpaksa keluar untuk membantu orang tua mencari nafkah. Demi kebutuhan makan keluarga karena bapaknya menjadi korban PHK.
Bisa dibayangkan ketika sekolah tatap muka dibuka, maka akan semakin banyak anak berhamburan di jalanan. Sudah siapkah dengan sarana prasarananya? Penyediaan banyak wastafel, hand sanitizer, sabun antiseptik, tempat duduk terpisah. Ada pembatas antar meja anak, agar tak ada potensi penularan karena berdekatan.
Tentunya semua membutuhkan biaya tidak sedikit. Dalam hal ini pemerintah yang harus menyiapkan dana untuk membuat sarana prasarana tersebut. Ada banyak jiwa yang harus dijamin keselamatannya.
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Dalam pemerintahan Islam, pemimpin begitu besar perhatiannya untuk umat. Sejak awal terjadi pandemi sudah ada tindakan jelas tanpa harus menunggu penyebaran luas.
Karantina di tempat terjadi wabah hingga penangan lebih mudah. Daerah pandemi akan diisolasi. Masyarakat dites, yang negatif, sehat di biarkan keluar. Yang positip sakit diisolasi dan mendapat pengobatan memadai dan pelayanan optimal agar segera sembuh.
Seluruh kebutuhan masyarakat di daerah isolasi akan ditanggung oleh pemerintah. Sementara daerah aman tetap menjalankan aktivitas seperti sediakala. Perekonomian tetap berproduksi dan berjalan sesuai porsinya. Demikian pula bidang pendidikan.
Sekolah di daerah bebas pandemi akan berjalan normal. Belajar mengajar aktif di sekolah. Tidak seperti sekarang, pandemi semua diliburkan. Tidak ada pemilahan yang sakit atau sehat. Jadi penularan bisa terjadi setiap saat. Karena meski sekolah libur, belajar lewat daring, namun anak-anak yang bosan di rumah banyak berkeliaran di luar.
Kemudian ada wacana sekolah tatap muka akan dibuka. Sebagian orang tua gelisah, merasa tak aman membiarkan anak keluar rumah. Di sekolah tak ada jaminan anak menerapkan protokol kesehatan. Apalagi banyak sarana prasarana yang perlu dipersiapkan, semua harus dalam pemikiran mendalam. Demi memelihara jiwa manusia yang sangat berharga.
Wallahu a'lam bishawwab
Surabaya, 26 November 2020