Resesi Selesai Dengan Islam, Bukan Omnibus Law Yang Penuh Catatan Kelam




Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis

Berdasarkan berita yang dirilis www.liputan6.com pada 18/9/2020, Terdapat 50 negara yang telah mengakui saat ini mereka mengalami resesi seperti Selandia Baru, Amerika Serikat, Jerman, Hongkong, Singapura, Korea Selatan, Australia, Prancis, Spanyol, Italia, Inggris, Filipina, Thailand, Malaysia, Polandia, Jepang dan lain-lain. Sementara Indonesia sendiri akhirnya mengakui mengalami resesi setelah kuartal ketiga ini pertumbuhan ekonomi ada di kisaran minus 2,9 sampai minus 1 (Ekonomi.bisnis, 2/10/2020).

Banyak pihak menganggap resesi berjemaah ini disebabkan penyebaran virus Corona. Pernyataan ini tidak sepenuhnya salah. Namun harus diingat, resesi bukan sekali ini saja terjadi. Para ekonom pun menganggap resesi adalah hal biasa asalkan tidak berlangsung dalam waktu lama. Jika resesi terjadi dalam waktu yang lebih lama lagi, maka bisa masuk dalam kondisi depresi.

Sementara itu, salah satu alasan yang digadang – gadang pemerintah dalam ketergesaan mereka mengesahkan UU Omnibus Law adalah karena dianggap UU Omnibus law mampu menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Sinta Kamdani, bahwa RUU Omnibus Law Ciptaker merupakan terobosan Pemerintah untuk mempercepat perizinan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja. (www.baliexpress.jawapos.com, 15/08/2020).

Kalau kita cermati, opini ini sebenarnya tidak nyambung. Karena UU ini tidak untuk menciptakan lapangan kerja melainkan justru akan menimbulkan banyak kemudaratan. Kita bisa mengambil contoh, dalam UU Ciptaker ini terdapat pasal yang mengatur kerja. diantaranya jam lembur lebih lama, hak cuti haid dan melahirkan tetap ada tapi tidak dibayar, lebih mudah masuknya TKA yang artinya kesempatan kerja anak negeri terbatasi, juga memudahkan sertifikasi halal bagi UMKM yang justru berbahaya karena jaminan produk halal tidak terjaga. Yang punya legalitas menetapkan halal, bukan hanya satu lembaga namun ada beberapa lembaga. Dampak UU lainnya adalah pada lingkungan berupa kebakaran hutan yang ditanggung negara bukan perusahaan. Sehingga akan banyak lagi kasus-kasus kerusakan lingkungan yang dimungkinkan terjadi dan mengambil banyak jatah dari APBN negara. Lalu dimanakah kaitannya dengan solusi resesi?

Resesi pada umumnya dipicu peningkatan utang, adanya turbulensi ekonomi yang mendadak (seperti virus Corona), adanya bubble economy/asset bubble (seolah asetnya banyak tapi faktanya tidak dimiliki), peningkatan harga barang (inflasi) dalam waktu singkat, perubahan teknologi (Artificial Intelligent yang banyak menyingkirkan peran manusia), serta adanya over deflation.

Aktivitas ekonomi dalam sistem kapitalis digerakkan dengan dua sektor yaitu sektor keuangan (moneter) seperti perbankan, pasar modal, pasar uang, dan sektor riil yaitu aktivitas pertukaran barang dan jasa. Dikatakan riil karena ada pertukaran barang dan jasa secara nyata. Setiap tenaga atau materi yang dipertukarkan mendapat kompensasi berupa barang dan jasa secara langsung.

Berbeda dengan sektor keuangan, meningkatnya perdagangan di sektor ini tidak diiringi dengan nilai intrinsiknya. Peningkatan yang terjadi berdasarkan harapan kenaikan harga di masa depan, namun fakta yang terjadi adalah anjloknya harga-harga. Fenomena bubble terakhir terjadi pada krisis subprime mortgage di Amerika pada 2008 dan secara siklik terjadi karena aktivitas spekulasi dan bunga.

Kondisi resesi pada 2020 sangat berbeda dengan resesi yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Sebelum 2020, resesi yang terjadi dipicu aktivitas di sektor keuangan. Namun, resesi tahun ini tidak hanya dipicu bubble economy, melainkan juga adanya pandemi virus Corona yang juga menghantam sektor riil. 

Para ekonom menganggap resesi ini akan “sembuh” dengan sendirinya, karena begitu sektor keuangan terjadi ledakan, sektor riil masih bisa dimainkan. Sayangnya, untuk kondisi tahun 2020 tidak demikian adanya. Sektor keuangan yang sudah sempoyongan karena mabuk utang, diperparah dengan melambatnya sektor riil akibat wabah yang membuat aktivitas terhenti dan banyak pasar ditutup.

Solusi yang biasanya diambil saat terjadi krisis sebelum tahun 2020 adalah memberikan stimulus ke pasar riil berupa penurunan pajak dan penurunan suku bunga. Harapannya, ketika suku bunga dan pajak diturunkan, maka aktivitas ekonomi di pasar riil masih bisa berjalan. Turunnya pajak dan beban bunga diharapkan akan menurunkan harga barang dan jasa, sehingga permintaan barang dan jasa relatif tetap berjalan kembali.

Namun faktanya, kebijakan menutup pasar, pembatasan aktivitas secara total, kekhawatiran orang untuk beraktivitas secara normal saat pandemi membuat sektor riil pun ikut tidak bergerak. Setiap orang akan berpikir berkali-kali untuk melakukan aktivitas konsumsi selain kebutuhan pokok. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, banyak toko atau industri mengurangi produksi yang berakibat pada pengurangan tenaga kerja. Banyaknya PHK membuat daya beli masyarakat menurun drastis dan akhirnya pergerakan ekonomi tidak hanya melambat tapi juga terancam berhenti.

Pemerintah melakukan upaya untuk menggerakkan perekonomian, namun masih menggunakan cara-cara lama seperti resesi-resesi yang biasanya terjadi. Padahal, kondisi saat ini sangat jauh berbeda. Memberikan stimulus dengan menggerojok bantuan sosial tanpa perhitungan ketahanan keuangan negara, akan membuat keuangan negara defisit. Defisit ini disebabkan penerimaan utama dari pajak melorot drastis, akhirnya tidak ada jalan lain kecuali menambah utang dan mengundang investor dengan syarat pendirian usaha yang sangat mudah.

Penambahan utang justru akan sangat membahayakan, karena saat ini saja utang sudah ada pada tanda merah. Serba dilematis, bantuan digenjot tapi utang membengkak, pajak diturunkan tapi membuat sumber pemasukan negara menjadi defisit. Baik pajak maupun utang berbunga keduanya dilarang dalam ekonomi Islam. Dan mengundang investor di segala lini, terlebih dengan persyaratan yang sangat mudah adalah  bunuh diri, karena sama artinya menjual negeri dengan harga murah.

Dalam sejarah, peradaban Islam pernah mengalami krisis, namun berbeda penyebabnya. Sistem Islam tidak mengenal bahkan tidak memperbolehkan pengembangan sektor keuangan seperti ribawi dan aktivitas spekulatif lainnya. Maka, krisis yang terjadi lebih disebabkan karena adanya wabah atau bencana alam.

Penanganan krisis ketika wabah akan memprioritaskan penyelesaian wabah tanpa memperhitungkan untung dan rugi. Dalam kasus wabah Corona akan dilakukan karantina lokal, artinya melakukan karantina terhadap yang sakit dan tetap membuka wilayah yang belum terjangkit penyakit. Sehingga pandemi bisa segera teratasi dan resesi yang mungkin terjadi, bisa dihindari. 

Wallahu a’lamm bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak