Perpanjangan GSP, Indonesia Menuju Ekonomi Makin Liberal?



By : Ummu Farhan

 Melalui kunjungan Menteri Luar Negeri AS (era Trump) Mike Pompeo ke Indonesia akhir Oktober lalu, dipastikan Pemerintah Amerika Serikat (AS) memperpanjang pemberian fasilitas bebas bea masuk atau Generalized System of Preferences (GSP) untuk produk-produk impor asal Indonesia (kumparan.com, 01/11/2020).

Terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS menggantikan Donald Trump pada awal November, kesepakatan perpanjangan GSP ini ibarat “oleh-oleh” Pompeo dari Indonesia.

Tak ayal, GSP pun menjadi salah satu kebijakan terbaik yang menguntungkan ekonomi AS di awal suksesi rezim Biden. Apalagi AS diketahui sebagai salah satu negara yang ekonominya terdampak cukup parah akibat dihantam pandemi Covid-19.

Meski melalui GSP masih akan memosisikan Indonesia sebagai negara berkembang, namun perlu diketahui GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak 1974, Indonesia pertama kali dapat GSP pada 1980.

Lima besar ekspor produk GSP Indonesia dari Januari-Agustus 2020 adalah matras, kalung, dan rantai emas, tas bepergian dan olahraga, minyak asam dari pengolahan kelapa sawit, serta ban pneumatik radial untuk bus atau truk (voaindonesia.com, 01/11/2020).

Melalui Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, pemerintah menekankan perpanjangan GSP merupakan bentuk kemitraan strategis Indonesia-AS yang bermanfaat bagi Indonesia dan menguntungkan bisnis AS. Tak heran, Pompeo juga makin bersemangat mendatangkan lebih banyak lagi investasi dari AS ke Indonesia.

Karenanya jelas, dengan perpanjangan pemberian fasilitas GSP ini, nilai ekspor Indonesia ke AS semakin meningkat. Dan artinya, perpanjangan GSP bagi Indonesia adalah istilah lain dari tetap tingginya kebutuhan AS terhadap produk-produk yang diekspor Indonesia ke AS.

Di kalangan pejabat di dalam negeri, perpanjangan GSP diharapkan dapat memberi sinyal positif bagi sektor UMKM. Namun yang harus kita ingat, aset Indonesia bukan hanya produk UMKM. Bahkan melalui perpanjangan GSP ditambah bantuan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang telah diteken pemerintah, jenis produk sumber daya yang diekspor ke AS bisa semakin beragam dari sebelumnya.

Menurut Bank Dunia, sebanyak 150 juta orang tersebut hanya berpenghasilan kurang dari 1,9 dolar AS (Rp 29.000) per hari. Sekitar 82 persen orang yang akan jatuh ke dalam kemiskinan parah itu diprediksi berasal dari negara-negara berpenghasilan menengah seperti India, Nigeria, dan Indonesia. Bank Dunia juga menambahkan, orang-orang yang akan jatuh miskin kebanyakan berasal dari kelompok berpendidikan di perkotaan (kompas.com, 02/11/2020).

 Perpanjangan GSP ini akan menjadi gejala kuat bagi ekonomi Indonesia yang sangat mungkin semakin liberal. Inilah bukti makin kuat pula cengkeraman hegemoni AS di negeri kita.


Negeri yang Berkah
Sejenak merenungi firman Allah SWT:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al-A’raf [07]: 96).

 Oleh karena itu,keberkahan itu hanya terlimpah bagi kaum yang beriman dan bertakwa. Yang pastinya, di negerinya diterapkan aturan dari Allah SWT.

Allah SWT melalui lisan Rasul-Nya saw., pun telah menetapkan:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Hadis tersebut menyatakan kaum muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api; Ketiganya tidak boleh dimiliki individu.

Para ulama terdahulu sepakat; air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai seseorang atau hanya sekelompok orang.

Berserikatnya manusia itu karena posisi air, padang rumput, dan api adalah fasilitas umum yang dibutuhkan bersama oleh suatu komunitas atau masyarakat. Negara mewakili masyarakat mengatur pemanfaatannya, sehingga semua masyarakat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari harta-harta milik umum itu.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Politik Luar Negeri Khilafah
Urgen untuk memosisikan kebijakan ekspor-impor antarnegara ini beriringan dengan politik luar negeri sahih sebagaimana pernah terlaksana di masa Khilafah.

Dalam mengurusi politik luar negeri, Khilafah menetapkan dakwah dan jihad sebagai kebijakannya. Khilafah akan memetakan konfigurasi geopolitik dan geostrategis negara-negara di dunia. Mana negara kafir harbi fi’lan (halal diperangi), serta mana kafir harbi hukman (negara kafir tapi tidak diperangi).

Khilafah akan menetapkan langkah lanjutan, negara mana yang layak menjadi mitra bilateral dan target dakwah, serta mana negara musuh yang layak diperangi sebagai target pelaksanaan jihad demi menyebarluaskan cahaya Islam.

Dengan demikian, Khilafah tidak akan salah menentukan mana kawan dan mana lawan.

Tentu saja, untuk mewujudkan negara maju, mandiri, dan visioner semata-mata adalah meniscayakan adanya negara dan pemerintahan yang independen sebagaimana Khilafah tersebut, yang tak bergantung pada tekanan global.

Demikianlah, Khilafah berhasil menjadi negara maju dan mandiri tanpa harus disetir asing, baik tingkat bilateral, regional, multilateral, ataupun keterikatan terhadap aturan yang dibuat negara lain, sebagaimana negeri kita yang dikendalikan AS melalui kamuflase GSP dalam konteks fasilitas perdagangan internasional.

Visi kemandirian suatu negara secara defacto dan dejure hanya terwujud melalui negara Khilafah. Sebab Allah SWT telah melarang dengan tegas intervensi pihak asing atas kaum muslimin.

Justru akibat masih tegaknya sistem kapitalisme sekuler, negeri-negeri kaum muslimin g Indonesia, berjalan tanpa arahan hukum syariat. Hingga begitu mudahnya menerima uluran tangan asing, yang sejatinya maksud utama mereka adalah imperialis belaka.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak