Oleh : Dyah Astiti
Pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron tentang sikapnya yang tidak bisa membiarkan kasus di sebuah gereja di Nice Kamis (29/10/2020) menuai kecaman. Macron berpendapat bahwa aksi tersebut merupakan serangan terhadap kebebasan berekspresi yang dilakukan "separatisme Islam".
Bertambahnya kecaman terhadap Macron muncul setelah sebelumnya atas nama kebebasan berekspresi juga, ia membiarkan munculnya karikatur nabi yang dibuat majalah Charlie Hebdo.
Charlie Hebdo sendiri adalah majalah satir mingguan Prancis berhaluan kiri yang terkenal dengan nada provokatif dan sikap anti-agama. Serangannya terhadap Islam bukan kali pertama terjadi. Charlie Hebdo telah sempat memuat karikatur Nabi Muhammad pada tahun 2006 dengan judul "Muhammad kewalahan oleh kaum fundamentalis". Tidak hanya itu, pada tahun 2011 majalah tersebut juga menerbitkan edisi khusus, dengan menambilkan kartun Nabi Muhammad di sampul depannya. Bahkan hal serupa juga dilakukan di tahun 2015.
Stigma Negatif dan Islamofobia
Atas apa yang disampaikan Macron tentang sikap melawan "sparatisme Islam" telah mampu menambah stigma negatif pada umat Islam dan Islam di perancis. Stigma itu memposisikan umat Islam seolah harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Stigma negatif ini bahkan sudah melekat pada mereka jauh sebelum peristiwa yang terjadi di tahun 2020 ini.
Melansir dari Associated Press (AP), Presiden Perancis Emmanuel Macron terus berupaya memberantas ekstremis Islam di Perancis, yang dia sebut sebagai 'separatisme', terminologi yang membuat muslim di negeri itu merasa 'ngeri'. Penggunaan istilah 'separatisme' telah berhasil menandai bertambahnya Islamofobia yang dikampanyekan negara. Semakin meningkatkan kebencian masyarakat perancis atas Islam dan kaum muslim (kompas.com)
Islamofobia itu juga nampak jelas dari sikap pemerintah perancis yang bertolak belakang. Disatu sisi mereka langsung menunjuk sparatisme Islam atas kasus penusukan di gereja Nice. Sedangkan pada peristiwa penusukan kepada dua orang muslimah di bawah menara Eiffel yang ditikam beberapa kali hingga menembus paru-parunya, hanya karena mereka berhijab. Bahkan, pelaku menyebut muslimah tersebut dengan panggilan “orang arab kotor”. Dikatakan terlalu dini untuk menyimpulkan kejadian itu sebagai kejahatan kebencian atas Islam dan Muslim (cnnindonesia.com).
Gaung islamofobia ini menjadi sesuatu yang wajar dilakukan Perancis. Dimana sekularisme negara menduduki posisi sentral dalam identitas nasional Prancis. Sekulerisme negara sendiri adalah bentuk hilangnya campur tangan agama dalam ranah publik. Tak ayal, tumbuh suburnya Islam di perancis sehingga memposisikan perancis menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di Eropa dirasa cukup mengkhawatirkan bagi sekularisme negara.
Demokrasi Berhasil Menumbuh suburkan Sekulerisme Negara dan Islamofobia
Kebebasan berekspresi yang didengungkan dan dijamin oleh demokrasi nyatanya hanya dalih untuk membenarkan penghinaan terhadap Islam. Karena sungguh di sayangkan dalam beberapa hal "Kebebasan berekspresi" sudah tidak lagi berlaku.
Sebenarnya bukan hanya kali ini saja terjadi, bagaimana kita diperlihatkan bahwa "kebebasan" hanya berlaku atas sebagian peristiwa. Sedangkan sudah tak diakui atas peristiwa yang lainnya. Konsep dimana ada demokrasi disitu ada kebebasan nyatanya hanya ilusi.
Di satu sisi Perancis membiarkan penghinaan pada Islam atas nama kebebasan demokrasi. Hal itu berdampak pada tumbuh suburnya Islamofobia. Akhirnya demokrasi telah berhasil dijadikan sarana untuk mengokohkan posisi perancis sebagai negara sekuler dan menumbuh suburkan islamofobia. Maka untuk mengakhiri segala bentuk islamofobia termasuk penghinaan pada Islam dan simbol-simbolnya tak cukup hanya memboikot produk-produk Perancis. Tapi butuh boikot atas setiap bentuk sekulerisme yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi hari ini.
Ketegasan pada penghinaan terhadap islam dan simbol-simbolnya pernah diwujudkan oleh Khilafah Islam. Sebagaimana pernah dilakukan pada masa Utsmaniyah, Khalifah Abdul Hamid II dengan tegas mengancam akan memerangi negara Prancis dan Inggris atas rencana diadakannya sebuah pertunjukan yang menghina nabi.
Semata-mata tindakan tegas itu dilakukan sebagai bentuk konsekuensi keislaman. Sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar oleh al-Qadhi Iyadh dalam Kitab al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa.
“Ketahuilah–semoga kita diberi hidayah taufik–bahwa siapa pun yang menistakan Nabi, menghina beliau, atau menganggap beliau tidak sempurna pada diri, nasab, dan agama beliau, atau di antara akhlak beliau, atau menandingi beliau, atau menyerupakan beliau dengan sesuatu untuk menistakan beliau, atau meremehkan beliau, atau merendahkan kedudukan beliau, atau menjatuhkan beliau, atau menghinakan beliau, maka ia termasuk orang yang menistakan beliau. Hukum yang berlaku atasnya adalah hukum pelaku penistaan, yaitu dihukum mati sebagaimana yang akan kami jelaskan ini.”
Wallahu'alam Bissawab