Oleh: Candra Windiantika
Kasus Karikatur Nabi Muhammad dan pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron tentang kebebasan berpendapat yang berujung pada ajakan boikot belum juga mereda. Banyak terjadi pro dan kontra diseluruh dunia, di negeri kita pun demikian.
Majelis Ulama Indonesia(MUI) mengeluarkan imbauan kepada umat Islam Indonesia untuk memboikot segala produk asal negara Perancis.
Selain aksi boikot, MUI juga meminta Presiden Perancis Emmanuel Macron mencabut ucapannya dan meminta maaf kepada Ummat Islam se-Dunia.
Sebelumnya, Presiden Macron beberapa waktu lalu mengomentari pembunuhan terhadap seorang guru di luar Kota Paris yang menunjukkan kartun Nabi Muhammad pada murid-muridnya di kelas.
Menurut Macron aksi pembunuhan ini merupakan serangan terhadap kebebasan berbicara sehingga pihaknya menyebut akan melawan "separatisme Islam" yang ada.
Pernyataannya ini memicu reaksi negatif dari berbagai pihak di dunia, khususnya negara-negara yang dihuni oleh penduduk Muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Turki, Kuwait, dan lain sebagainya.
Boikot ini dilakukan setidaknya hingga Macron mencabut perkataannya dan meminta maaf pada Ummat Islam dunia yang disebut berjumlah 1,9 milyar jiwa di seluruh dunia.
Namun, apakah gerakan boikot yang dilakukan efektif untuk memberikan efek jera pada pelaku penghinaan terhadap Nabi Muhammad? Nyatanya tidak, karena penghinaan terhadap Rasulullah terus berulang. Pada tahun 2015 pernah terjadi penyerangan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo setelah majalah satire tersebut menerbitkan kartun Nabi Muhammad. Hal itu tidak membuat efek jera, karena kembali dilakukan di tahun ini.
Aksi-aksi berupa kecaman dan boikot adalah suatu hal yang baik dan seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menunjukkan kemarahan mereka kepada penghinaan Rasulullah Saw. Yang mulia.
Tapi sejatinya boikot dan kecaman tidak berpengaruh banyak. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, menyebut seruan dan tindakan boikot atas barang-barang Prancis tidak akan berdampak signifikan pada perdagangan negara itu. Ini karena nilai impor Prancis ke Indonesia sangat kecil jika dibandingkan dengan negara China, Amerika, Australia, dan India.(www.bbc.com, 02/11/20)
Selain karena nilai impor Prancis ke Indonesia relatif kecil, pemboikotan juga tak memberi solusi atas persoalan mendasar yang terjadi di sana, yakni pertentangan antara nilai-nilai agama dengan sekularisme ektrem.
Jadi langkah tepat yang bisa dilakukan bukan hanya memboikot produk yang hanya bersifat sementara, tapi juga memboikot sistem sekulerisme yang senantiasa menyuburkan penghinaan terhadap Rasulullah maupun syariatnya.
Sekulerisme menjadi asas bagi liberalisme yang diwujudkan dalam hal asasi manusia (HAM), berupa kebebasan berperilaku dan berpendapat yang sering dijadikan alasan untuk melakukan penghinaan terhadap Islam. Isu-isu negatif tentang Islam terus digulirkan bertujuan untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya.
Umat Islam seluruh dunia harus bersatu untuk meninggalkan dan mencampakkan sistem aturan buatan Barat dan kembali pada sistem kepemimpinan islam, sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW contohkan. Sebab dengan kepemimpinan Islam yang menerapkan syariat secara menyeluruh dalam negara, maka tidak akan pernah didapatkan siapa pun yang berani untuk menodai dan menghina Islam, Al-Quran, ajarannya dan Nabi.
Sejarah telah mencatat kisah masa kepemimpinan Ustmani yang dipimpin oleh khalifah Abdul Hamid II. Pada masa kepemimpinannya, pernah suatu hari negara Prancis akan melakukan sebuah pentas pertunjukkan kartun Nabi Muhammad. Berita itu terdengar sampai ke telinga khalifah. Saat itu khalifah begitu murka. Khalifah langsung memanggil utusan negara Perancis dan memberikan peringatan untuk menghentikan pergelaran pentas tersebut. Jika tetap dilaksanakan, maka khalifah akan mengerahkan pasukan tempur untuk menghentikan pentas tersebut. Melihat kekuatan dan besarnya kepemimpinan peradaban Islam saat itu, maka Prancis pun segera membatalkan acara tersebut.
Sikap marah dan ketegasan yang ditunjukkan oleh khalifah Abdul Hamid II merupakan wujud kecintaan terhadap Nabi dan pembelaan saat Rasulullah dihina sedemikian rupa. Khalifah tidak akan pernah membiarkan ada yang menghina, merendahkan, apalagi melecehkan ajaran Islam dan nabinya. Khalifah Abdul Hamid II mengatakan bahwa membela agama itu adalah wujud keimanan dan ia pun rela demi agama Islam yang mulia.
Sepanjang sejarah kepemimpinan Islam, tak pernah didapatkan kekerasan, intoleransi pada agama lain. Dalam penjelasan lain dari buku “The Genuine Islam”, Sir George Bernard Shaw menuliskan kekagumannya pada Islam di bawah kepemimpinan Baginda Nabi Muhammad SAW. Ia menuliskan, “Dia—Muhammad—membawa sebuah agama, mendirikan sebuah bangsa, meletakkan dasar-dasar moral, memulai sekian banyak gerakan pembaharuan sosial dan politik, mendirikan sebuah masyarakat yang kuat dan dinamis untuk melaksanakan dan mewakili seluruh ajarannya, dan ia juga telah merevolusi pikiran serta perilaku manusia untuk seluruh masa yang akan datang.” Tak ada yang menunjukkan kekerasan dan intoleran. Malah keadilan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian tercipta dalam negara yang menerapkan sistem aturan Islam. Wallahu’alam Bisshowwab.