Penghargaan Utang Negeri, Award Bergengsi ?



Oleh: Elis Sondari
(Ibu Rumah Tangga)

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meraih penghargaan sebagai Kantor Pengelola Utang Terbaik se-Asia Timur dan Pasifik 2020 dari majalah Global Markets. Dilansir laman Global Capital, Kamis (15/10), Indonesia dinilai sebagai negara pengutang paling baik selama pandemi virus corona. Indonesia juga dinilai memiliki panduan yang baik untuk menghadapi krisis dengan cara yang fleksibel dan tajam. Global Markets menilai, penerbitan surat utang global senilai USD 4,3 miliar pada April 2020 dinilai mengesankan. Sebab situasi global saat ini masih dipenuhi kepanikan akibat corona. (Kumparan.com)
Sontak, penghargaan yang diberikan pada menteri keuangan banyak dipertanyakan publik, terkhusus para ekonom. Pasalnya, kondisi perekonomian Indonesia sedang mengalami guncangan hebat. Tata kelolanya yang amburadul dan solusinya yang buruk ditengarai menjadi kondisi terparah sepanjang sejarah negeri ini merdeka. 
Seperti dilansir dari media tribunnews.com yaitu Hal ini diungkapkan Fadli Zon dalam konten YouTube pribadinya. "Saya banyak ditanya oleh rekan-rekan termasuk oleh konstituen, bagaimana bisa menteri keuangan kita sekarang mendapat lagi gelar sebagai menteri keuangan terbaik se-Asia Pasifik," ujar Fadli Zon. Fadli Zon menilai bahwa pertanyaan sejumlah pihak sangat pantas untuk disikapi. Media luar negeri mampu menilai bahwa Menkeu Sri Mulyani merupakan menteri keuangan terbaik.
Sedangkan menurut Fadli Zon realitanya saat ini perekonomian di Indonesia semakin sulit. "Ini adalah satu pertanyaan yang menurut saya perlu disikapi, karena diberikan oleh sebuah majalah atau institusi bahwa apa yang dilakukan oleh menteri keuangan itu dan kebijakan-kebjikannya bisa dianggap sebagai menteri keuangan terbaik," papar Fadli Zon. "Sementara realitasnya kita merasakan bagaiman ekonomi kita semakin sulit," sambung Fadli Zon. Dipaparkan Fadli Zon, saat ini Indonesia banyak menghadapi masalah ekonomi. Seperti nilai tukar rupiah yang melemah dan juga utang negara yang terus menumpuk. "Kita mempunyai masalah fisikal, masalah pendapatan kita dari pajak kita punya masalah pengeluaran, masalah moneter." 
Fadli Zon menyimpulkan bahwa Menkeu Sri Mulyani merupakan menteri terbaik di mata asing dan bukan di mata rakyat Indonesia. "Nah saya mengatakan begini, mungkin penilaian ini dari satu komunitas masyarakat asing dilihat dari luar mungkin saja memang benar bahwa menteri keuangan kita itu adalah menteri keuangan terbaik di mata asing bukan di mata rakyat indonesia," pungkasnya. 
Berbicara utang luar negeri tak bisa dipisahkan dari politik luar negeri suatu negara. Artinya, tidak hanya semata-mata dilihat dari sisi fikih utang itu sendiri. Utang tanpa riba dalam syariat boleh hukumnya. Namun, jika berbicara masalah utang luar negeri yang merupakan kebijakan suatu negara, hendaklah suatu negara memperhatikan kedaulatan negaranya atas semua kebijakan yang dilakukannya.
Secara alamiah, otak manusia cenderung untuk berpikir gaining pleasure and avoiding pain; mengejar kenikmatan dan menghindari penderitaan. Maka, jika ingin membentuk habits baru atau mempertahankan habits yang sudah ada, ciptakan kepuasan sebanyak mungkin saat melakukannya. Pemberian reward adalah salah satu strateginya. 
Sepertinya pola perilaku ini yang terjadi pada Indonesia, ngutang dilakukan bukan lagi karena kebutuhan, tapi sudah level hobi, habits, bahkan adiksi (kecanduan). Mengutip laporan Bank Dunia  (World Bank) bertajuk International Debt Statistics 2021, utang luar negeri Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yakni sebesar US$179,4 miliar pada 2009. Kemudian sebesar US$307,74 miliar pada 2015, US$318,94 miliar pada 2016, US$353,56 miliar pada 2016, sebesar US$379,58 miliar pada 2018 dan sebesar US$402,08 miliar pada 2019. Pencapaian tren naik yang sama sekali tidak layak dibanggakan, terlebih dirayakan. 
Dalam sistem kapitalisme, ngutang memang didesain sebagai exit strategy defisit keuangan, bahkan menjadi komponen inherent dalam penyusunan APBN. Tradisi kebiasaan ngutang ini selalu dilakukan turun temurun, tidak peduli siapapun rezim yang berkuasa. Tapi dari semua habit ngutang tersebut, ada kesamaan pola yang terbentuk: mayoritas utang itu bersifat jangka panjang. Misalnya, komposisi utang luar negeri jangka panjang Indonesia pada 2019 sebesar US$354,54 miliar atau 88,8% dari total ULN, sedangkan jangka pendek sebesar US$44,79 miliar.  (cnnindonesia.com)
Ingin negara bebas dari utang, hanya akan menjadi ilusi. Bahkan utang akan membawa pada penjajahan gaya baru. Terbebasnya negara dari hutang akan menjaga kedaulatan negara ini, demikian akan sulit dilaksanakan jika paradigma sistem ekonomi negara kita masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme liberal. Yang menjadikan utang sebagai pondasi utama dalam pembangunan nasional. Padahal, ada sistem ekonomi yang terbukti tahan krisis, yang proporsi pendapatan dan pembiayaannya bisa dipastikan tanpa pajak dan hutang. Sistem ekonomi ini bukan berasal dari hasil pemikiran akal manusia yang terbatas, tapi berasal dari sang Pencipta semesta, yaitu sistem ekonomi Islam. 
Sejarah gemilang ditorehkan Khalifah di masa Daulah Abbasiyah Harun Arrasyid. Telah tersohor suasana negara di bawah kekuasaan Khalifah Harun Ar-Rasyid begitu aman dan damai. Kesejahteraan rakyatnya begitu terasa, hingga sangat sulit mencari orang yang diberikan zakat, infak, dan sedekah. APBN selalu surplus, hingga satu riwayat mengatakan surplusnya di atas 900 dinar. 
Tidakkah kita ingin segera keluar dari lingkaran setan debt trap yang menyengsarakan dan beralih pada sistem yang menyejahterakan dan menjadi rahmat untuk seluruh alam? Tidakkah kita ingin mendapatkan award bergengsi yang sesungguhnya, yaitu gelar taat pada aturan Rabb-nya? Bukan sekadar award negara tekor yang tragis dan konyol seperti saat ini. 
Wallahu'alam Bi Shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak