Penanganan Covid Tidak Maksimal, Sekolah Luring Beresiko Besar



Oleh : Dewi Cidawolong 3 / Majalaya, Ibu Rumah Tangga.

#PenulisIdeologis 
#KhilafahAjaranIslam



Pemerintah disebut berencana membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 mendatang.  Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyatakan, Komisi X DPR mendukung rencana tersebut dengan beberapa syarat.

“Kami mendukung pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan protokol Kesehatan ketat” ujar Huda dalam keterangannya, Jumat (20/11/2020).

Huda menyebut, pembukaan sekolah tatap muka memang menjadi kebutuhan, terutama di daerah-daerah. Hal ini terjadi karena pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak bisa berjalan efektif karena minimnya sarana prasarana pendukung, seperti tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata.

“Di beberapa daerah siswa selama pandemi Covid-19 benar-benar tidak bisa belajar karena sekolah ditutup. Kondisi ini sesuai dengan laporan terbaru World Bank (WB) terkait dunia Pendidikan Indonesia akan memunculkan ancaman loss learning atau kehilangan masa pembelajaran bagi sebagian besar peserta didik di Indonesia,” katanya.

Menurutnya kondisi tersebut akan memunculkan efek domino di mana peserta didik akan kehilangan kompetensi sesuai usia mereka. Lebih parahnya lagi, peserta didik banyak yang harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya atau terpaksa harus membantu orang tua mereka.

“Kami menerima laporan bahwa jumlah pekerja anak selama pandemi ini juga meningkat, karena mereka terpaksa harus membantu orang tua yang kesulitan ekonomi,” katanya.

Pembukaan sekolah dengan pola tatap muka / luring, kata Huda, akan mengembalikan ekosistem pembelajaran bagi para peserta didik. Hampir satu tahun ini, sebagian peserta didik tidak merasakan hawa dan nuansa sekolah tatap muka.

“Kondisi ini membuat mereka seolah terlepas dari rutinas dan kedisplinan pembelajaran. Pembukaan kembali sekolah tatap muka akan membuat mereka kembali pada rutinitas dan mindset untuk kembali belajar,” katanya.

Salah satu yang sangat terdampak selama masa COVID-19 adalah bidang pendidikan dan pembelajaran. Sekolah-sekolah dari semua tingkatan diliburkan dalam batas waktu yang belum ditentukan. Sistem pengajaran berubah secara drastis. Dari model konvensional yang tatap muka langsung berhadapan dengan siswa secara fisik. Ketika COVID-19 berlangsung kemudian menjadi bermedia dengan tatap muka online.
Baik siswa ataupun guru mengalami shock culture dalam menghadapi situasi ini. Mereka dipaksa untuk memanfaatkan secara optimal media teknologi informasi. Aplikasi Google meet dan Zoom telah menjadi ruang-ruang sekolah baru. Yang telah menggantikan kelas-kelas konvensional sebagaimana yang selama ini dikenal aplikasi-aplikasi tersebut, telah melintas batas wilayah. Sehingga setiap orang bisa bertemu Belajar di mana saja dan kapan saja tentang materi apa saja. Tanpa merasa dibatasi oleh dinding dinding kelas konvensional itu. 
Peserta didik dalam kelas-kelas virtual ini merasa seakan memiliki derajat posisi yang sama, baik antara sesama peserta atau antara guru dan murid. Seakan tidak bisa dibedakan mana guru dan mana murid.

Jika di ruang-ruang kelas konvensional guru menjadi pusat pembelajaran mampu mengontrol penuh perilaku murid dan mengarahkannya sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan pembelajaran. Maka di kelas virtual ini semua orang bisa berperan, bahkan mereka bisa berbuat apa saja, sebab yang mengontrol tindakan mereka adalah diri mereka sendiri. 

Para peserta di kelas kelas virtual memiliki kebebasan dalam memilih sikap. Selama proses pembelajaran berlangsung mereka bisa berbuat apapun saja. 
Belajar sambil berjalan serta memilih tempat dimana pun dia bisa mengikuti proses pembelajaran. Berpakaian sesuka hati mereka sekalipun mungkin hanya dengan menggunakan kaos oblong saja.

Mereka pun memiliki kebebasan untuk mengikuti proses pembelajaran ataupun tidak. Mereka cukup mematikan kamera video pada aplikasi itu tanpa harus izin sekalipun, semua serba bebas dalam kelas virtual ini. Dan anehnya tidak ada satupun orang yang mempermasalahkan tindakan-tindakan tersebut. Bahkan dianggapnya sebagai sesuatu yang remeh terlalu sederhana untuk dipersoalkan, sebab semua orang seakan menganggap yang terpenting adalah bagaimana materi pembelajaran bisa tersampaikan tanpa mempedulikan nilai-nilai.
Pembelajaran dan Akhlaq. 

Sementara Islam memiliki cara pandang yang berbeda dalam persoalan ini. Islam lebih mengutamakan adab dalam proses pembelajaran, bahkan dikatakan bahwa, akhlaq lebih utama dari pada ilmu. Serta kita bisa melihat pula dari banyak para ahli ilmu dalam mencari dan mendalami ilmu, mereka lebih mendahulukan akhlaq daripada ilmu. Ibnu Mubarak mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun. Sementara beliau mempelajari ilmu selama 20 tahun. Bahkan Imam Malik menceritakan bahwa ibunya menyuruh beliau untuk lebih banyak mendalami adab dari Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman (seorang ulama di kota Madinah di masanya) sebelum mengambil ilmu darinya. Untuk itu Imam Malik sangat menekankan pentingnya adab dalam belajar. Beliau mengatakan :


تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Ibnu Sirin menggambarkan tentang bagaimana sikap para ulama dalam memperlakukan adab dan ilmu, beliau berkata :

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم


“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Pada masa pandemi ini, di saat ruang-ruang belajar tidak bisa lagi dilakukan secara tatap muka dan menjadikan media sosial beraplikasi sebagai ruang-ruang kelas pembelajaran. Maka pertanyaannya, apakah adab atau akhlaq dalam menggunakan media pembelajaran masih terus dijaga dan dipertahankan?. Sinilah masalahnya.

Adab adalah suatu hal yang melintasi ruang dan waktu. Ia tidak dapat dibatasi oleh suatu tempat ataupun peristiwa. Zaman mungkin boleh berubah, namun adab harus tetap dijaga dan dipertahankan dalam melandasi semua tindakan. Khususnya dalam proses pembelajaran. Adab ibarat wadah untuk dapat menampung air. Sebelum seseorang menimba air maka ia harus mempersiapkan wadah atau tempat untuk dapat menampungnya. Tanpa adanya wadah, maka mana mungkin air dapat dikumpulkan pada suatu tempat. Dan bagaimana mungkin pula air dapat dimanfaatkan dengan baik?. Apabila air tanpa wadah maka ia akan berantakan tanpa arah. Dan apabila kapasitas air sangat banyak, maka ia hanya akan menghasilkan banjir yang dapat merusak dan membahayakan apa saja yang dilewatinya.

Demikian pula manakala adab telah hilang dalam proses pendidikan maka yang akan terjadi adalah manusia akan hidup tanpa aturan. Mungkin mereka memiliki ilmu dan kepandaian, namun ilmunya tidak mampu memberikan manfaat atau bahkan dapat membahayakan bagi kehidupan. Oleh karena itulah, Islam sangat mengedepankan adab dalam seluruh aktivitas dan tindakan khususnya dalam proses pembelajaran. Itulah adab dalam new normal.


Pembelajaran dan kemuliaan adab di new normal, atau 
Kehidupan new normal seharusnya adalah mengembalikan kemuliaan adab dalam proses pembelajaran. 

Pembelajaran di renah ruang  pendidikan yang dijalankan seharusnya lebih
mengutamakan pengagungan terhadap adab atau akhlaq. 
Sebab ia adalah buah dari hasil proses pendidikan yang berlangsung. 

Perkara adab seharusnya dipraktekkan dalam seluruh tindakan pembelajaran, mulai dari sikap dalam mempersiapkan proses pembelajaran, sikap disaat dalam proses pembelajaran berlangsung (mulai dari hal yang paling sepele seperti pakaian, cara duduk, cara.menanggapi dan sebagainya), sikap selama berinteraksi dengan guru, sikap terhadap sesama pembelajar, dan sebagainya.

Konstruksi adab inilah yang harusnya dikembalikan selama masa new normal. Setelah sekian lama di masa pandemi seakan turut ikut terpapar virus. Jika virus corona dapat menyerang siapa saja yang memiliki imunitas tubuh yang lev mah. Maka virus “qalil adab” defisitnya adab akan menyebabkan kematian dunia pendidikan.

Astaghfirullah.
Wallahu a'lam Bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak