Pemboikotan Produk Perancis


Oleh : Riani

(Karyawan Swasta)

Presiden Prancis Emmanuel Macron mendukung kebebasan berekspresi terkait kontroversi kartun Nabi Muhammad Saw di negaranya. Macron berargumen bahwa prinsip negaranya adalah mendukung kebebasan berpendapatan.

Ucapan Macron dikritik Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Ia menyebut kesehatan mental Macron perlu diperiksa serta menginisiasi ajakan boikot produk-produk Prancis. Ajakan Erdogan lantas direspons oleh warganet dari Arab maupun Indonesia yang menyerukan boikot untuk produk-produk Prancis lewat sosial media.

Meski begitu, pengamat ekonomi sekaligus Dosen Perbanas Institute, Piter Abdullah memastikan gerakan boikot produk Prancis tidak berpengaruh banyak kepada Indonesia, baik dari sisi investasi maupun ekspor impor. Sebab, produk-produk Indonesia sendiri tidak banyak yang bisa menjadi substitusi produk Prancis.

Alasannya, produk asal Indonesia belum tepat untuk dijadikan pengganti barang-barang Perancis yang kerap digunakan sebagai gaya hidup. Seperti tas Hermes yang kedapatan digemari oleh istri Erdogan, Emine Erdogan.
(Liputan 6.com ,30/10/2020)

Bukan pertama kalinya majalah Charlie Hebdo menghina Islam. Pada tahun 2015, mereka pernah mencetak ulang karikatur Nabi Saw yang berakhir dengan penyerangan kantor majalah tersebut. Dengan dalih kebebasan berekspresi, majalah satire yang berpusat di Prancis itu kerap memprovokasi umat Islam.

Berulang kali Islam dilecehkan, dihina, dan diolok-olok. Berulang kali pula negeri muslim mengecam, mengutuk, dan memboikot. Namun, apakah dengan kecaman itu Prancis kapok? Apakah dengan pemboikotan, negara mereka bangkrut? Apakah dengan pengusiran duta besar, Prancis takut?

Sampai sekarang mereka tetap baik-baik saja. Malah bertambah arogansinya. Tak merasa salah dan enggan meminta maaf. Semua berlaku atas nama kebebasan. Meski demikian, kita patut mengapresiasi respons umat yang marah karena Nabi Saw. dihina. Ekspresi itu ditunjukkan dengan kecaman, kutukan, pemboikotan produk, dan tuntutan pengusiran duta besar Prancis.

Hanya saja, umat Islam dunia bagai buih di lautan. Banyak, tapi tak memiliki kekuatan. Hanya berbekal lisan dan seruan. Tapi lemah menghadapi penghinaan Nabi Saw. yang dilakukan kaum kafir.

Andai saja Erdogan, Jokowi, raja Saudi, Presiden, Perdana Menteri negara Arab dan negeri Islam lainnya menyatukan seruannya mengancam akan memerangi Prancis bila tak berhenti menerbitkan karikatur Nabi Saw, barulah Prancis mungkin akan takut. Sayangnya, sekat nation statememustahilkan hal itu.

Yang dilakukan pemimpin muslim itu sekadar mengecam. Adakah pemimpin-pemimpin muslim berani memutus hubungan diplomatik dan menyeru jihad kepada kaum muslim? Sebagaimana yang sudah pernah terjadi, panasnya bela Nabi Saw akan menyurut seiring berjalannya waktu.

Inilah kelemahan umat. Tersekat oleh paham nasionalisme. Tak punya kekuatan bersatu padu melawan dan menekan Prancis ataupun Barat baik secara politik maupun ekonomi. Para pemimpin muslim lebih memikirkan dampak buruknya bila terus berkonfrontasi dengan Prancis. Mereka lebih mengutamakan kepentingan nasional negara masing-masing dibanding membela kehormatan Nabi Saw.

Bersatu kita kuat, bercerai kita lemah. Nasionalisme telah mengerat tubuh umat Islam menjadi puluhan negara. Dulu, saat Khilafah masih digdaya, Prancis yang ingin mengadakan teater mengenai Nabi Saw pun dibuat merinding dengan ancaman Khalifah Abdul Hamid II. Muruah kaum muslim disegani dunia saat kkhilafah masih berdiri tegak.

Namun, kemuliaan itu sirna setelah khilafah hancur akibat paham nasionalisme. Barat membagi-bagi wilayah Khilafah dengan konsep nation state. Mengoyak tubuh Khilafah menjadi bagian-bagian kecil negeri muslim sebagaimana kita saksikan hari ini.

Umat pun tercerai-berai. Tersandera kepentingan nasional masing-masing. Tersebab Islam tak memiliki kekuatan politik yang mampu menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan tunggal.

Menghadapi negara bebal seperti Prancis itu harus dengan kekuatan yang mampu menandingi kedigdayaan mereka. Pernyataan Macron mestinya menyadarkan kita semua bahwa tanpa kekuatan politik, umat tak berdaya. Tanpa institusi yang menjalankan politik pemerintahan, Islam akan terus ditindas dan dihina.

Umat butuh persatuan. Bukan hanya persatuan karena bersatunya perasaan, namun juga bersatunya pemikiran. Tatkala perasaan dan pemikiran menyatu, bukan tidak mungkin rumah besar umat akan terwujud. Ya, rumah besar kita sebagai umat terbaik adalah Khilafah Islamiyah, bukan demokrasi sekuler.

Umat membutuhkan persatuan politik dan ukhuwah Islam. Agar bermunculan kembali sosok sultan Sulaiman Al Qanuni yang disegani Barat. Agar terlahir kembali sosok khalifah Abdul Hamid II yang tegas membela kehormatan Rasulullah dan Islam. Khilafah menjadi urgensi yang tak bisa ditunda lagi. Dengan khilafah, penghina Nabi Saw merasakan efek jera. Tanpa khilafah, Islam hanya akan jadi tempat bully-an para pembencinya.
Wallahu'alam bish-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak