Oleh : Ratna Dewi
(Aktivis Pendidikan)
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan saat ini tengah memulai proses renovasi kantor Gubernur Sumsel di Jalan Kapten A Rivai yang akan dilengkapi sejumlah fasilitas baru.
Dalam proses tersebut, Pemprov Sumsel menyiapkan anggaran hingga Rp20 miliar.
Adapun konsep dasar pengerjaannya diupayakan dapat mengembalikan semangat asli desain awal pembangunan kantor itu sendiri. Di halaman depan dekat jalan utama Kapt A.Rivaiakan dibuat alun-alun. Semacam plaza dan nanti ini bisa berfungsi sebagai ruang publik.
Pembangunan alun-alun direncanakan berada di bagian halaman depan dan dilengkapi dengan panggung (stage) yang diperuntukkan bagi perfomance masyarakat (komunitas) sertaruangb perpustakaankhusus.
Selain membangun alun-alun, renovasi yang dilakukan juga bertujuan mengatasi banjir yang kerapterjadi di halamankantor, termasuksistemparkir, sistemdrainase, dan keberadaan pengamanan kantor (CCTV).
Selain itu kedepan akan diterapkan juga smart building dan green buliding yang menyediakan satu ruangan khusus guna dibangun perpustakaan dan roof garden di bagian atas guna menjadi tempat bersantai.
Yang menjadi pertanyaan, apakah itu tepat dan pantas di tengah kondisi masyarakat Sumsel yang banyak mengkhawatirkan akibat dampak pandemi ini? Seperti yang kita ketahui dan rasakan bersama, Pandemi Covid-19 ini telah banyak mengubah tatanan kehidupan, tidak hanya untuk masyarakat kalangan bawah, kalangan atas pun tak ayal juga terkena dampak dari Pandemi ini. Terutama di sektor ekonomi dan pendidikan, pembelajaran harus dilakukan secara online atau jarak jauh, yang oleh sebagian masyakat dinilai memberatkan. Keluhan masyarakat terkait ketidaksiapan pemerintah menangani Pandemi ini semakin menambah beban berat masyarakat.
Penanganan pandemi oleh pemerintah yang dinilai kurang maksimal bahkan terkesan menyepelekan, berbanding terbalik dengan gencarnya pelaksanaan proyek pembangunan infratrusktur. Sesuatu yang biasa dalam sistem kapitalis Nyang mengedepankan asas manfaat. Kebijakan akan diambil dan diterapkan manakala memberikan manfaat kepada pemilik kebijakan.
Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam yang sangat menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dan menempatkan sebagai prioritas pembangunan dalam kondisi apapun. Sehingga fokus pembangunan dimasa kejayaan Islam yakni bagaimana pembangunan tersebut mampu mberikan manfaat dan daya dukung untuk masyarakat agar dapat memenuhi hak dasar dan kebutuhannya.
Pada masa kejayaan Islam salah satunya di masa Abbasiyah kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sehingga, kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai. Kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum. Sistem Islam sangat detail dan sempurna mengatur segala kebijakan dalam sendi-sendi kehidupan manusia, terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena aturan Islam tak hanya di dunia namun juga untuk di akhirat.
Ada empat indikator utama masyarakat dikatakan sejahtera, yaitu:
pertama basis dari kesejahteraan, ketika nilai ajaran Islam menjadi panglima dalam kehidupan perekonomian suatu bangsa. Kesejahteraan sejati tidak akan pernah bisa diraih jika kita secara diametral menentang aturan Allah Swt. Penentangan terhadap aturan Allah justru menjadi sumber penyebab hilangnya kesejahteraan dan keberkahan hidup (QS. Thaha: 124).
Kedua, kesejahteraan tidak akan mungkin diraih ketika kegiatan ekonomi tidak berjalan sama sekali. Inti dari kegiatan ekonomi terletak pada sektor riil, yaitu bagaimana memperkuat industri dan perdagangan. Sektor riil inilah yang menyerap angkatan kerja paling banyak dan menjadi ruh dari ekonomi Islam.
Ketiga, pemenuhan kebutuhan dasar dan sistem distribusi. Suatu masyarakat tidak mungkin disebut sejahtera apabila kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi. Sistem distribusi ekonomi memegang peranan penting dalam menentukan kualitas kesejahteraan. Islam mengajarkan bahwa sistem distribusi yang baik adalah mampu menjamin rendahnya angka kemiskinan dan kesenjangan serta menjamin bahwa perputaran roda ekonomi bisa dinikmati semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali (QS. al-Hasyr: 7).
Keempat, kesejahteraan diukur oleh aspek keamanan dan ketertiban sosial. Masyarakat disebut sejahtera apabila friksi dan konflik destruktif antar kelompok dan golongan dalam masyarakat bisa dicegah dan diminimalisir. Tidak mungkin kesejahteraan diraih melalui rasa takut dan tidak aman. Di sinilah peran penegak hukum untuk memastikan bahwa semua orang sama dimata hukum.
Wallahua’lam bi shawab.