Oleh Ummu Ridho*
Kembali mencuat ke permukaan, kali ini DPR sedang membicarakan kembali tentang RUU larangan Minuman Keras Beralkohol (Minol). Sangat beralasan RUU ini digodok kembali dengan mengusulkan untuk penegasan & pemberian sanksi hukum pidana atau denda bagi pengonsumsi minuman keras beralkohol demi menjaga ketentraman dan keamanan lingkungan dari berbagai keburukan yang diakibatkan minol tersebut. Adapun sanksi yang diberikan atas pelanggaran tersebut adalah berupa pidana kurungan sedikitnya 3 bulan dan maksimal 2 tahun penjara, atau membayar denda minimal sebesar 10 juta dan maksimal 50 juta. (CNNindonesia, 13/11/2020)
Didalam tubuh DPR sendiri terjadi pro kontra diantara masing anggota fraksi partai. Jika partai PPP, PKS dan Gerindra sepakat mendukung disahkannya RUU ini (Illiza Sa'adudin wakil dari PPP berpendapat pentingnya RUU minol demi menjaga ketertiban karena akibat yang fatal, baik dibidang agama, bidang kesehatan dan bidang sosial budaya yang bisa mengakibatkan perkosaan, perkelahian, kecelakaan dll) berbeda dengan fraksi PDI dan Golkar yang menganggap minol tidak perlu dipermasalahkan karena mengisyaratkan keragaman masyarakat Indonesia sendiri, baik adat maupun agama tertentu.
Adapun reaksi dari masyarakat yang bergulat dengan minol semua sepakat menolak. Pengusaha minol berharap tidak disahkannya RUU tersebut, dengan alasan membunuh pariwisata, lagi pula sumbangsih cukai minol kepada pemerintah sangatlah besar, skitar 7,3 Trilyun di tahun 2019. Dari lembaga CIPS (The Center for Indonesia Policy Studies) mengatakan konsumsi minol warga Indonesia tergolong rendah dibanding negara Asia Tenggata lainnya. Begitupun dari pihak gereja juga ikut menolak dengan kesimpulan DPR sangat infertil (segalanya dilarang) dari Gumar Gulthom ketua umum PGI yang minol sebenarnya bagian dari ragam tradisi masyarakat Indonesia. (Bbcnews.com, 13/11/2020)
Kebanyakan dari mereka, berharap pemerintah cukup mengatur, mengawasi batas ijin usia mengonsumsi dan mengawasi distribusi minol ilegal agar tidak merugikan pengusaha dan masyarakat
Pembahasan yang alot terkait penerapan syariat sudah jadi bumbu dalam sistem demokrasi kapitalis, sebab dalam sistem ini sarat akan berbagai kepentingan dari pihak terkuat yaitu penguasa dan pengusaha. Jadi sudah barang tentu ada mereka dibalik pengesahan atau pembatalan RUU dalam kategori penerapan syariat. Nilai manfaat atau keuntungan akan lebih dominan dibanding dampak baik atau buruknya untuk masyarakat.
Dalam kacamata Islam, setiap yang memabukkan adalah khamr, dan khamr hukumnya haram. Semua tercantum dalam pedoman ideologi Islam, penguasa wajib menjalankan demi menjaga ketentraman dan melindungi seluruh masyarakat dengan memberi pembinaan bagi masyarakat akan syariat dan menutup celah peredaran khamr dari hulu hingga hilir.
Pertanyaannya, apakah syariat menyeluruh bisa diterapkan dalam sistem selain Islam? Dan bagaimana kelanjutan RUU larangan minol?
*Muslimah, ibu rumah tangga dari Sidoarjo
Ilustrasi habituallychic.luxury
Tags
Opini