Oleh : Hessy Elfiah (Founder Kajian Muslimah Bulanan MQ Lovers Bekasi)
Semangat atau ghiroh umat Islam untuk bangkit dari keterpurukannya terlihat nyata. Mereka semakin gigih menyusun kekuatan untuk melawan musuh-musuh Islam. Gerakan 212 dengan beberapa episode reuni tiap tahun, tercetusnya wacana pembentukan satu partai politik Islam untuk menggabungkan suara umat, hingga fenomena penyambutan imam besar yang bahkan mampu menggeser jadwal sejumlah penerbangan pada 10 November 2020. Inilah fakta yang tak dapat dibantah bahwa umat Islam mulai menggeliat untuk bangun dari tidur panjangnya.
Walaupun data mengungkapkan bahwa islam adalah agama mayoritas di negara ini, namun keberadaannya ibarat sekumpulan lidi yang tercerai berai. Tak mampu berbuat banyak terhadap maraknya penghinaan dan pelecehan terhadap Islam. Umat Islam butuh pemimpin, butuh kekuasaan untuk menerapkan syariatnya yang menunjukkan ke "rahmatan lil alamin" nya.
Tak dapat dipungkiri, kekuasaan adalah pencapaian tujuan tertinggi dalam percaturan politik. Namun sayang, sistem demokrasi tidak memberi ruang untuk kemenangan Islam. Pengalaman berdemokrasi sejak berpuluh puluh tahun berjalan telah menjawab banyaknya bukti ketidakadilan terhadap Islam. Alih-alih mendapatkan kekuasaan, umat Islam justru semakin terpecah belah, terperosok ke jurang permusuhan dan terkotak-kotak dalam partai politik praktis. Ngeri bin seram bin mengenaskan.
Berbagai partai politik yang digadang gadang sebagai partai politik Islam, menjadi kendaraan untuk mencapai pucuk kekuasaan tertinggi oleh umat. Namun faktanya, mereka tak berdaya oleh persaingan kancah politik demokrasi. Muncul partai-partai baru yang beraroma Islam akibat dari ketidakpuasan terhadap kinerja partai yang sudah ada. Terbentuknya Partai Umat yang diprakarsai bapak Amin Rais dan partai Masyumi yang ditengarai sebagai Masyumi reborn yang pernah dibubarkan pada masa orde lama akan berdampak makin beragamnya fragmentasi umat. Sedangkan aktivitas politik yang dilakukan hanya berorientasi meraih kursi hingga berkuasa untuk mengubah tatanan yg ada. Inilah jebakan demokrasi yang menghalangi umat memfokuskan diri pada pembangunan kesadaran politik Islam.
Dalam sistem negara Islam aktivitas partai politik secara umum adalah dakwah, yakni melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Maidah ayat 79 "Mereka satu sama lain selalu tidak saling melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya, amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu."
Dalam tatanan pemerintahan, fungsi partai politik adalah check and balance terhadap penguasa. Melakukan kontrol bersama-sama umat untuk memastikan bahwa Islam diterapkan secara sempurna. Hal ini diperjelas oleh firman Allah dalam surat Al Imron 104 yang berbunyi:
وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung"
Ayat ini adalah perintah untuk mendirikan jamaah yang terorganisir (partai politik) yang berfungsi untuk menyerukan kepada hal yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran. Maka partai politik yang ada haruslah berdasarkan ideologi Islam dan yang menjadi pengikat antar anggotanya adalah akidah Islam. Sedangkan visi dan misinya adalah melangsungkan kehidupan Islam di bawah naungan negara Islam.
Misi partai politik Islam pada saat negara Islam belum terbentuk adalah menegakkannya, sedangkan pada saat negara Islam telah ada adalah menjaga dan mempertahankan negara agar tidak melanggar penerapan syariat Islam. Partai politik seperti inilah yang dibutuhkan oleh umat Islam saat ini. Partai politik Islam harus memberikan pemahaman terhadap umat tentang Islam sebagaimana mestinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan partai politik dalam negara Islam sangatlah penting untuk keberlangsungan negara dan terlaksananya Islam dengan menyeluruh.