oleh : Nabila Fadel
Amien Rais mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) telah mendeklarasikan lahirnya Partai Umat, disusul oleh K.H. Ahmad Cholil Ridwan salah satu pendiri Partai Bulan Bintang (PBB) mendeklarasikan pula berdirinya Partai Masyumi Reborn.
Dua partai ini sama-sama mengidentifikasikan diri sebagai partai Islam. Partai Ummat tercermin dari logonya yang berbentuk perisai tauhid. Yakni kalimat tauhid yang disebut Amien Rais sebagai kalimatut tahrir atau kalimat pembebasan. Sementara Partai Masyumi Reborn mengklaim diri sebagai penerus partai legendaris Masyumi besutan M. Natsir. Partai yang sudah dikenal sebagai partai Islam dan dulu sempat menjadi partai besar.
Sebenarny, sebelum dua partai ini lahir, sudah ada beberapa partai Islam dan berbasis massa Islam di Indonesia, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PAN, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), PBB, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Namun rupanya penggagas dua partai baru ini menganggap partai-partai lama tersebut sudah tidak lagi mampu menampung aspirasi perjuangan umat Islam sebagaimana yang mereka harapkan. Dari sisi ideologi, partai-partai lama ini memang kian cair. Penyematan identitas Islam mereka pandang sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman dan era keterbukaan.
PKS misalnya, sejak 2008 secara lugas mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka. Keanggotaannya tak lagi hanya terbatas pada umat Islam. Bahkan para kader yang non-Islam, dibiasakan untuk mengenal Islam yang terbuka (inklusif). Di internal mereka sendiri, keputusan ini sempat memicu kontroversi. Sebagian kadernya mempertanyakan perubahan yang dipandang menyalahi khithah awal partai. Hingga di antara mereka ada yang akhirnya memilih mundur teratur.
Mereka kecewa, lantaran partainya dipandang makin pluralis dan bahkan mulai liberal. Ada petingginya yang tak lagi canggung mengucapkan salam di luar Islam. Ada yang berani menyampaikan ucapan selamat Natal atau berfoto dalam perayaan Natal. Malah iklan kampanye pun tak ragu lagi menampilkan sosok perempuan tak berhijab.
Dalam kerja politiknya pun demikian. Partai ini memang tak lagi tabu berkoalisi dengan partai berideologi sekuler. Termasuk dengan partai yang sebelumnya secara ideologis dikenal sebagai lawan.
Saat pilkada misalnya, partai ini pun beberapa kali mendukung calon kepala daerah atau wakil rakyat yang beragama non-Islam. Bahkan mendukung calon yang diusung partai-partai sekuler atau yang berbasis massa militan Kristen.
Tak jauh dengan PKS, PPP pun demikian. Bahkan partai yang berdiri tahun 1973 dan merupakan gabungan dari beberapa partai Islam ini sudah jauh lebih lama berubah menjadi partai terbuka dan selalu menempel pada partai sekuler yang berkuasa. Padahal secara tertulis, PPP masih mencantumkan Islam sebagai asasnya, serta Ka’bah sebagai logonya. Kondisi ini pun terjadi pada parpol Islam atau parpol berbasis massa Islam yang lain. Pragmatisme politik rupanya telah membuat para tokoh partai-partai ini ramai-ramai berbalik arah. Mereka mencampakkan idealisme Islam yang dipandang usang. Lalu berkompromi dengan keadaan, demi mengecap sedikit kue kekuasaan.
Sebagian dari mereka berargumen bahwa perubahan sikap politik ini adalah sebuah keniscayaan. Karena faktanya, dari pemilu ke pemilu, elektabilitas parpol Islam kian berkurang. Lalu mereka tudingkan bahwa sebab utamanya adalah kentalnya identitas Islam.
Menurut mereka, identitas inilah yang menjadi pembatas dan bahkan menghalangi masyarakat untuk memberikan dukungan. Sungguh miris, identitas Islam dipandang tak laku di pasaran. Mereka pun mulai menarasikan bahwa tak perlu kaku dalam mendakwahkan dan mewujudkan Islam. Apalagi menyebut-nyebut pentingnya penerapan syariat Islam. Karena hal itu sama saja dengan menentang keberagaman dan bahkan berbahaya bagi spirit kebangsaan.
Akhirnya, mereka mulai menyerukan apa yang disebut sebagai Islam substansial, alias Islam sebagai nilai-nilai. Islam seperti ini dipandang lebih cocok dengan Indonesia yang plural. Kompromi pun makin kental dalam semua urusan. Tak ada lagi perjuangan atas dasar ideologi, kecuali sekadar artifisial, atau sekadar janji-janji saat mereka berburu suara dengan mendekati kelompok Islam militan atau mencari dukungan dari basis massa yang berkecenderungan Islam.
Wajar jika akhirnya banyak umat kecewa. Lalu muncul opini, bahwa tak ada beda antara partai Islam dengan partai sekuler. Semuanya ternyata hanya menjadi alat perebutan kekuasaan yang ujungnya semata demi memenuhi syahwat kepentingan kelompok.
Salah satunya ditandai dengan banyaknya umat yang memilih apatis. Hingga dari pemilu ke pemilu angka golput pun terus meningkat. Apalagi ketika mereka melihat adanya fenomena politisi kutu loncat dan perpecahan di antara elite partai Islam yang selalu berujung pada perpecahan partai.
Munculnya gagasan mendirikan partai baru yang beridentitas Islam sesungguhnya menjadi pertanda tentang masih adanya keinginan di tengah umat akan hadirnya partai ideologis yang sungguh-sungguh memperjuangkan Islam.
Juga menunjukkan bahwa di tengah umat masih ada orang-orang idealis yang percaya diri mengusung ideologi Islam yang diyakini mampu mewujudkan keadilan dan menumbangkan kezaliman yang ditimbulkan rezim sekuler. Namun pertanyaannya, bisakah?
Secara spirit, ikhtiar para penggagas partai baru ini memang patut diapresiasi. Karena, tampak mereka sangat greget melihat pragmatisme partai-partai Islam dan berbasis massa Islam yang alih-alih mampu mengubah keadaan, malah cenderung cari aman atau masuk dalam arus sistem yang melegitimasi kezaliman struktural, atau bahkan menjadi bagian dari persoalan.
Sementara rakyat saat ini sudah dalam kondisi yang sangat hancur. Berbagai krisis terjadi tanpa bisa diselesaikan. Mulai dari krisis ekonomi, politik, moral, hukum, dan sebagainya. Bahkan tak sedikit aktivis partai Islam yang terkena kasus hukum, seperti tertangkap tangan melakukan suap menyuap, menjadi pelaku korupsi, hingga terjegal urusan moral.
Hanya saja, kehadiran dua partai baru ini ternyata tak direspons terlalu antusias oleh kalangan umat Islam. Bahkan beberapa pengamat dan politisi sangat meragukan kemampuan keduanya untuk bisa mendapat dukungan besar dari masyarakat hingga bisa memenangi kontestasi di pemilu mendatang.
Realitasnya, tak dipungkiri suara mayoritas umat Islam hari ini masih mengarah pada parpol sekuler. Sementara sebagiannya lagi banyak yang memilih untuk tak memilih alias menjadi golongan putih (golput). Baik golput karena apatis maupun karena alasan ideologis.
Situasi ini tentu menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi partai yang ingin mengindentifikasi diri sebagai partai Islam. Yakni, bagaimana merebut dukungan dan loyalitas konstituen ditengah kuatnya pengaruh parpol sekuler, masih banyaknya swing voters dari kalangan apatis, serta munculnya arus golongan putih ideologis.
Seharusnya, semua yang telah terjadi cukup menjadi pembelajaran, bahwa problem utama mandulnya parpol Islam dalam mengemban perubahan hakiki ada pada dua aspek.
Pertama faktor eksternal, yakni penerapan sistem politik demokrasi yang memang sama sekali tak kompatibel dengan Islam. Sistem ini dipastikan tak akan pernah memberi jalan bagi partai Islam untuk menang. Apalagi membiarkan hukum-hukum Islam diterapkan. Sistem ini bahkan akan selalu memaksa parpol Islam untuk bersikap pragmatis. Lalu sedikit demi sedikit menghilangkan idealisme politik ideologisnya dari jati diri partai Islam. Hingga partai ini pun tak sungkan berkompromi dengan ideologi yang bertentangan dengan hukum syara’. Terutama ideologi sekularisme kapitalisme yang hari ini menghegemoni negeri-negeri Islam. Hal ini tampak dari berbagai proses pemufakatan atau pengambilan keputusan dalam sistem perwakilan sistem sekuler demokrasi. Dimana parpol Islam tak bisa benar-benar terikat pada aturan halal haram. Bahkan mereka harus siap bermain di era abu-abu dan berkompromi dengan kekufuran.
Kedua faktor internal, kondisi parpol Islam sangat sesuai dengan yang dikritisi oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya at-Takattul al Hizbiy. Partai yang ada di tengah umat Islam hari ini memang akan sulit menjadi motor perubahan hakiki karena jauh dari kriteria partai Islam yang sahih sebagaimana dikehendaki syariat Islam.
Partai-partai Islam ini tidak tegak di atas kesadaran bahwa akar dari seluruh problem umat adalah karena penerapan sistem sekuler liberal. Alias akibat tak diterapkannya aturan-aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Parpol-parpol Islam ini pun tak memiliki gambaran utuh soal bagaimana cara aturan Islam memberi solusi atas semua problem. Sekaligus tak memiliki gambaran sahih tentang peta jalan perubahan.
Di luar itu, ikatan yang dibangun di dalam keanggotaan parpol pun bukanlah ikatan berlandas pemikiran Islam ideologis. Melainkan hanya ikatan berdasar kesamaan perasaan atas kezaliman yang menimpa, atau bahkan sekadar ikatan keorganisasian yang dengan mudah pecah karena ada perubahan kemaslahatan yang diinginkan anggota-anggotanya. Oleh karenanya, wajar jika partai-partai ini tak pernah mampu meyakinkan umat bahwa prinsip perjuangan yang dibawanya layak diikuti dan diperjuangkan bersama-sama. Mereka malah terjebak dalam jalan perjuangan yang tak akan pernah menyampaikan mereka pada tujuan.
Selain itu, partai-partai ini pun mudah goyah, atau lazim berkompromi dengan parpol atau rezim sekuler. Alih-alih serius memperjuangkan agar Islam menjadi landasan kehidupan bermasyarakat, mereka justru hanya fokus meraih suara, tanpa berupaya memahamkan umat tentang urgensi dan kewajiban menegakkan sistem Islam. Karena tegaknya Islam memang bukan sebenar-benar tujuan mereka .