Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Penolakan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) setelah disahkan pada 5 Oktober lalu terjadi karena dianggap tidak hanya merusak lingkungan, tetapi mendampak semua sektor. Namun pemerintah rupanya tidak surut langkah. Mereka berpandangan bahwa omnibus law adalah slaah satu langkah yang bisa diambil untuk menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi. Sebagaimana yang disampaikan Sekretaris Jenderal Jokowi Centre, Imanta Ginting yang mengapresiasi langkah Pemerintah Jokowi menginisiasi Omnibus Law. Menurut Imanta, dengan adanya Omnibus Law maka langkah-langkah yang progresif dan luar biasa bisa segera diambil Pemerintah untuk mengatasi resesi ekonomi yang sudah di depan mata akibat Pandemi Covid-19. (www.beritalima.com, 6/10/2020)
Kalau diperhatikan dengan seksama, klaim bahwa UU Cipta Kerja bisa menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi, adalah hal yang tidak mungkin karena tidak ada kaitannya, tidak nyambung. Karena UU ini tidak untuk menciptakan lapangan kerja melainkan justru akan menimbulkan banyak kemudaratan. Maka tidak heran jika banyak pihak menyampaikan UU ini cacat substansi, liberalistis, bahkan lebih kejam dari masa kolonial
Dan kalau kita mengikuti perkembangan pengesahan RUU ini kemudian menjadi UU, sebenarnya sudah banyak penolakan sejak awal maret 2020. Namun, ternyata tetap disahkan tanpa ada perubahan signifikan terhadap pasal – pasal yang dipersoalkan. Dan yang lebih mengerikan, telah disahkan secara tiba – tiba di malam hari. Jelas disini, aspirasi rakyat sekarang kurang mendapat tempat. Atas nama penguasa, mampu melakukan segala macam cara demi terlaksananya semua keinginannya, meski rakyat menolaknya.
Kita bisa mengambil contoh, dalam UU Ciptaker ini terdapat pasal yang mengatur kerja. diantaranya jam lembur lebih lama, hak cuti haid dan melahirkan tetap ada tapi tidak dibayar, lebih mudah masuknya TKA yang artinya kesempatan kerja anak negeri terbatasi, juga memudahkan sertifikasi halal bagi UMKM yang justru berbahaya karena jaminan produk halal tidak terjaga. Yang punya legalitas menetapkan halal, bukan hanya satu lembaga namun ada beberapa lembaga. Dampak UU lainnya adalah pada lingkungan berupa kebakaran hutan yang ditanggung negara bukan perusahaan. Sehingga akan banyak lagi kasus-kasus kerusakan lingkungan yang dimungkinkan terjadi dan mengambil banyak jatah dari APBN negara. Kemudian bank tanah, UU ini akan berpengaruh terhadap agraria, akan memberikan kemudahan kepada korporasi atau pemilik modal besar untuk menguasai tanah, dan seterusnya.
Sungguh, berharap kita lepas dari jurang resesi dengan pengesahan omnibus law adalah ilusi. Jauh panggang dari api. Sangat berbeda dengan sistem islam, yang memahami bahwa penguasa adalah penggembala bagi rakyatnya. Maka penguasa akan melindungi rakyatnya dan akan memberikan yang terbaik baginya. Karena dalam islam dipahami, menjadi penguasa bukan mendapat jabatan. Tapi mendapat amanah yang harus dipertanggungjawabkan dunia akhirat.
Lalu, sampai kapan kita menunggu solusi dari sistem buatan manusia ini? Yang sampai hari ini tetap tidak mampu mendatangkan solusi? Belum saanyakah kita melirik sistem dari ilahi robbi, yang tidak hanya menyejahterakan, namun menjadikan berpahala karena menerapkannya.
Wallhu a’lam bi ash showab.