Omnibus Law : Konflik Lahan dan Kerusakan Lingkungan



Oleh: Rika Merdha,  S. E

Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja masih menyisakan polemik yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Salah satu poin krusial yang mengundang kontroversi di UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah masalah pengaturan pertanahan. Presiden pun telah menegaskan bahwa ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria.

Namun alih-alih membawa perbaikan, undang-undang ini malah berpotensi merusak lingkungan dan memperparah konflik lahan. Sebagaimana yang disoroti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) terkait dengan pasal 121 RUU Cipta Kerja yang mengubah pasal 8 dan 10 UU nomor 12 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang meliputi kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata dan kawasan lain yang diprakarsai atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Sartika menilai ketentuan tersebut dapat mempermudah alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan kelompok petani. Proses alih fungsi yang dipermudah, menurut Dewi akan mempermudah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan dan penggusuran tanah. (Nasional.kompas.com/12 Agustus 2020)

Selain pasal pengadaan tanah, sejumlah pasal dalam UU Omnibus Law juga abai melindungi lingkungan, misalnya menghilangkan ketentuan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai atau pulau dalam UU kehutanan. Ketiadaan pasal ini berpotensi mempercepat laju penggundulan hutan primer Indonesia, yang sudah masuk 3 besar di dunia dengan rusaknya 324 ribu hektare hutan per tahun.

Alih-alih memberikan sanksi berat, UU Cipta Kerja justru memberi karpet merah bagi pelaku perusakan lingkungan. Sejumlah perbuatan yang mengotori alam, seperti pelanggaran baku mutu air dan udara, hanya diberi sanksi administratif. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya bahwa sanksi administrasi lebih efektif karena tidak perlu melalui proses persidangan. (Koran.tempo.co/10 Oktober 2020)

UU Omnibus Law Cipta Kerja bukanlah satu-satunya undang-undang yang prokorporasi. Undang-undang adalah produk hukum yang diciptakan dalam sebuah sistem Pemerintahan. Maka, UU Cipta Kerja merupakan produk dari sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi negeri ini. Jadi tidak heran, jika hampir seluruh undang-undangnya memihak korporasi. Tak sedikit UU yang dibuat justru menjadi jalan melegalkan perampokan SDA. Tengoklah kebijakan investasi yang padat modal, membolehkan asing menguasai kekayaan milik umum dan hak-hak publik, juga menyingkirkan peran rakyat dan pengusaha kecil.

Sungguh, persoalan umat bukanlah semata digolkannya UU Omnibus Law, karena pada faktanya sebelum undang-undang ini ada, eksploitasi SDA dan SDM pun telah terjadi di negeri ini. Semua ini terjadi karena negara ini berlandaskan pada demokrasi, sistem yang tidak mengenal halal haram. Karena kedaulatan di tangan rakyat, berarti manusialah sumber tertinggi dalam pembuatan kebijakan.

Sedangkan Islam, tidak akan membolehkan asing menguasai SDA yang merupakan kepemilikan umum. Islam mengharamkan negara menyerahkan SDA yang merupakan hak rakyat kepada korporasi. Tugas negara adalah mengelola SDA tersebut untuk sebaik-baiknya kemaslahatan umat.

Kondisi seperti ini hanya dapat terjadi pada sistem khilafah yang menerapkan aturan Islam secara paripurna, termasuk ekonomi. Ekonomi dalam Islam tegak atas prinsip kepemilikan yang terbagi menjadi kepemilikan umum, negara dan individu. Diantara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah Saw :
"Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : air, rumput dan api". (HR. Ibnu Majah)

Dari sini, Allah telah menetapkan SDA yang jumlahnya tak terbatas termasuk dalam kepemilikan umum sehingga haram dikuasai oleh individu bahkan negara sekalipun. Adapun negara hanya diperintah syariat untuk mengelola SDA yang hasilnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat melalui pemenuhan kebutuhan dan hak kolektif, seperti pendidikan, kesehatan, layanan infrastruktur, keamanan dan fasilitas hidup lainnya. Sehingga tercipta lingkungan yang layak dan kondusif dengan gratis.
Maka, sudah saatnya negeri ini diatur dengan sistem yang lebih baik. Sistem yang mampu mensejahterakan umat serta mampu mewujudkan Rahmat bagi seluruh alam. Wallahu alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak