Omnibus Law, Konflik Lahan Dan Kerusakan Lingkungan



Oleh: Ummu Fatih

Kritik dan penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja terus bergulir di masyarakat. Meskipun akhir pekan lalu Presiden Joko Widodo telah memberikan penegasan omnibus law UU Cipta Kerja ini akan jalan terus dan mempersilakan bagi masyarakat yang keberatan untuk mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

 

Salah satu poin krusial yang mengundang kontroversi di omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja adalah masalah pengaturan pertanahan. Pengaturan pertanahan ini berdasarkan draf omnibus law UU Cipta Kerja versi 905 halaman yang di terima oleh KONTAN, ada di Bagian Keempat omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Pada bagian keempat ini terdiri dari pargraf pertama soal Bank Tanah, mulai pasal 125 sampai dengan pasal 135.

 

Masalah pengaturan tanah di omnibus law UU Cipta Kerja yang menjadi kontroversi ini telah ditanggapi oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (8/10). Presiden menegasakan bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria. "Ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah, kepemilikan lahan dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah," kata Presiden Jokowi.

 

Dari sisi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti tambahan kategori kepentingan umum untuk pengadaan tanah dalam draf omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Menurut Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, argumentasi penambahan kategori kepentingan umum ini merupakan hambatan dan keluhan para investor terkait pengadaan dan pembebasan lahan bagi proyek pembangunan infrastruktur serta kegiatan bisnis. Dewi menilai, ketentuan tersebut dapat mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan kelompok petani. Proses alih fungsi lahan yang dipermudah, menurut Dewi, akan memperparah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan dan penggusuran tanah.

 

“Lewat RUU Cipta Kerja, pemerintah memperluas definisi kepentingan umum dengan menambahkan kepentingan investor pertambangan, pariwisata, industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK) ke dalam kategori kepentingan umum,” ujar Dewi. Sorotan Dewi ini terkait dengan Pasal 121 RUU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 8 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal ini menambah empat poin kategori pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Keempat kategori baru itu adalah kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lain yang diprakarsai atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD. Kawasan lain yang belum diatur RUU Cipta Kerja akan ditetapkan dengan peraturan presiden (PP).

 

Poin krusial dalam omnibus law tidak hanya masalah tanah tapi juga kerusakan lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengkritisi draf Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Cika). Sebab, sejumlah pasal dalam RUU tersebut akan menghapuskan beberapa aturan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

 

Sebut saja pasal yang mengatur izin Amdal dalam UU 32/2009, yakni Pasal 24-Pasal 29. Dalam beleid tersebut izin Amdal menjadi syarat pendirian usaha. Akan tetapi, dalam RUU Omnibus Law Cika, izin tersebut hanya menjadi faktor pertimbangan. Komisi Penilai Amdal yang menguji kesesuaian Amdal pun dihapus dalam RUU Cika tersebut. Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi menyayangkan, jika kemudahan dalam berusaha yang diatur omnibus law justru makin memperparah lingkungan. Di samping soal izin Amdal, WALHI juga menyoroti ketentuan dumping limbah. Dalam Pasal 61 UU 32/2009 disebutkan dumping limbah hanya dapat dilakukan dengan izin dari menteri, gubernur, dan atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. “Sekarang (di Omnibus Law) boleh orang membuang limbah B3 ke laut kalau ada izin dari pemerintah,” tambahnya.

 

Kemudian terkait gugatan administrasi yang diatur dalam Pasal 93 UU 32/2009, maka dalam RUU Omnibus Law pasal ini dihapuskan. “Setiap warga negara Indonesia itu bisa untuk mengajukan gugatan karena setiap orang mempunyai hak menyelamatkan lingkungan (di UU 32/2009). Di RUU ini dihapuskan, yang diberikan ruang untuk mengajukan itu hanya yang terdampak langsung,” jelasnya. Dari sini jelas, omnibus law dibuat dan dibahas tergesa-gesa, draft-draftnya “dirahasiakan”, dan dipaksa dimasukkan  dalam program prioritas legislasi nasional (prolegnas) dan rapat paripurna DPR. Ini mengingatkan kita pada pembunuhan KPK melalui Revisi UU KPK. Di sini, apologi penguasa sepertinya tak mampu menyumbat bau busuk interes modal yang difasilitasi Omnibus Law.

 

Dalih penyederhanaan, perampingan, serta menghapus (obesitas) regulasi yang tumpang-tindih dan menjawab kendala investasi adalah cermin dari kepatuhan pemerintah terhadap kuasa pasar bebas atau neoliberalisme. Rezim neoliberal yang taat terhadap kuasa pasar cenderung akan melepas tanggungjawab mengatasi persoalan sosial-ekologi, seperti tercermin dari dipaksakannya Omnibus Law Cilaka. Padahal dalam Omnibus Law, terdapat beberapa problem penting nan krusial perihal privilege bagi investor, tak boleh dinafikan atas nama apapun, sebab terkait erat dengan ketidakadilan. Dalam Omnibus Law, investor begitu menikmati keuntungan. Kelonggaran syarat lingkungan yang ditawarkan negara menafikan fakta kontribusi korporasi terhadap kerusakan lingkungan. Lebih-lebih, syarat tersebut turut ditopang oleh penghilangan sanksi pidana bagi korporasi pelanggar hak. Dapat dibayangkan bagaimana perusakan lingkungan ke depannya nanti.

 

Sebenarnya, peraturan yang tidak memihak kepentingan rakyat tidak terlepas dari kuasa modal dalam politik. Ini merupakan konsekuensi dari sengitnya persaingan dalam dunia bisnis sehingga merembet dalam ranah politik. Dana korporasi dalam jumlah besar digelontorkan untuk membiayai kebutuhan politisi dan pejabat negara. Tidak heran bila kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan pebisnis. Beberapa bulan lalu, laporan majalah Tempo menyebut 45,5 persen atau 262 anggota DPR terafiliasi dengan ribuan korporasi.

 

Praktik kapitalisme kroni yang dijalankan melalui hanky-panky antara pemodal dengan pemegang kuasa politik di sektor sumberdaya alam serta proyek berbasis APBN dan APBD membuat dominasi politisi-cum pebisnis menguat dan secara membabi buta membabat hak-hak rakyat.

 

Sangat miris melihat ambisi kebablasan rezim saat ini terhadap investasi. Sulit untuk tidak mengatakan Omnibus Law rezim saat ini turut memfasilitasi dan melanggengkan ketimpangan hukum. Di satu sisi, investor menikmati privilege, tetapi pada sisi lainnya rakyat diperlakukan sewenang-wenang. Bila kezaliman ini dirawat dan dibiarkan, bukan tidak mungkin bila kelak terjadi revolusi. Dan saatnya kita menuju pada revolusi yang mendasar yaitu perjuangan penegakan syariat Islam kaffah yang akan mengurusi rakyat dengan penuh kesejahteraan dan keadilan.

 

Dengan diterapkannya Islam secara keseluruhan, terwujudlah rahmat bagi seluruh alam. Kesejahteraan dan keadilan tidak hanya dirasakan oleh kaum muslimin saja tapi seluruh warga negara bahkan dari golongan orang-orang kafir sekalipun.

 

Allah swt berfirman:

 

•​وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

 

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [TQS. Al A’raaf : 96]

 

Negeri ini pun Insya Allah akan mendapatkan keberkahan jika mau melaksanakan syariah kaffah. Dimana penduduknya tidak hanya beriman kepada Allah, tapi juga bertakwa kepadaNya. Menjalankan semua yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang oleh syariah.

Wallahu a’lam bish-showab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak