Oleh : Asril Adi Al-Khawarizmi
Kedzaliman demi Kedzaliman menimpa negeri ini, Rakyatlah
yang menjadi tumbal keserakahan dari orang-orang yang haus dengan kekuasaan dan
kekayaan, Manusia ini hanya mementingkan Perut dan dibawah perutnya tanpa
melihat Rakyat yang dirugikan, entah apakah negeri ini terlalu banyak orang
Dzalimnya? Atau mungkin karena diamnya orang-orang baik? Ali Bin Abi Thalib
pernah berkata "Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya
orang-orang jahat. Tapi karena diamnya orang-orang baik."
Senin, 5 Oktober 2020, Palu diketok untuk mengesahkan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjdai Undang-Undang, Undang-Undang
sapu jagat ini menyatukan 73 undang-undang dengan lebih dari 1.200 pasal. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Setuju. Hanya dua fraksi yang menolak, yakni Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. UU ini mendapatkan penentangan
yang masif dari berbagai pihak, termasuk ormas islam, mahasiswa, buruh, tokoh
masyarakat, akademisi hingga para ulama. Menurut Para penentangnya,
Undang-undang ini sarat kepentingan pengusaha dan merugikan masyarakat luas,
seperti meningkatkan eksploitasi pekerja, meningkatkan potensi kerusakan
lingkungan dan mempermudah masuknya impor pertanian. Bukan hanya itu, Maklumat keagamaan dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang menolak RUU Cipta kerja pun tak diperhatikan. Proses
pengesahan pun terlihat sangat Buru-buru. Termasuk dari agenda urutan ke-6
berubah menjadi urutan ke-2 , Amin Ak dari fraksi PKS mengatakan pengesahan UU
Cipta Kerja sangat tak lazim, salah satu alasanya, Salinan Draf RUU Ciptaker tidak dibagikan kepada Anggota
(Sumber : tirto.id)
UU Omnibus Law ini
mencakup 11 Klaster dan salah satu klaster yang menjadi Isu yang banyak
menghadapi perlawanan dan protes dari berbagai kalangan Masyarakat Yaitu UU
Ketenagakerjaan. Menarik yang disampaikan oleh mantan anggota DPR-RI, Marwan
Batubara : “jika tujuannya mulia, mengapa para buruh, mahasiswa, tokoh,
aktivis, akademisi, kepala daerah, pakar, ormas dan berbagian kalangan rakyat
menolak.? Sebaliknya, jika pemerintah
dan fraksi-fraksi DPR partai pendukung pemerintah berniat tulus meningkatkan
kesejahteraan rakyat, mengapa pula harus membahas RUU Ciptaker terburu-buru,
tertutup, abai kaidah moral, abai peraturan, manipulasi informasi dan menebar
ancaman?”
Beliau menyimpulkan, “Jawabnya, di balik pemaksaan kehendak
tersebut ada kepentingan khusus, rekayasa dan agenda tersembunyi pro oligarki
yang menyelinap dalam proses legislasi, sehingga berpotensi merugikan rakyat
dan membahayakan kehidupan berbangsa. UU Ciptaker Mungkin dapat meningkatkan investasi
dan lapangan kerja, namun para anggota oligarki pengusaha-pengusahalah yang
akan untung besar. Tak heran, RUU Ciptaker dibahas dengan brutal dan
menghalalkan segala cara, sesuai kehendak oligarki dan pemerintah yang tampak
semakin otoriter..”
*NASIB BURUH*
Buruh menjadi salah satu pihak yang akan menerima dampak
besar dari UU Cipta Kerja ini. Banyak pasal bermasalah dalam Bab IV Klaster
ketenaga kerjaan. Diantaranya: penggantian peraturan pengupahan, hari libur
yang dipangkas, pekerja terancam tidak menerima pesangon, tenaga kerja asing
(TKA) lebih mudah masuk ke indonesia, bertambahnya jam lembur dan hilangnya
cuti panjang, tidak ada lagi upah minimum Kabupaten/kota, penghapusan sanksi
bagi perusahaan yang tidak membayar upah pekerja, dan banyak pasal lainnya.
Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi dipicu oleh
kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living
cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan
gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang
sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk
mempertahankan hidup mereka.
Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang
dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari
eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan sosialisme tentang
perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Kaum kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi
terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan tidak lagi
menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh.
Maka, kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan
yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang
sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berserikat, hak membentuk
serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah
kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan,
jaminan berobat, dan sebagainya.
Jadi, Masalah
perburuan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh Sistem
kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost
terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gai buruh. Karena itu,
masalah perburuan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan
dibangun berdasarkan sistem ini. Bukan sejahtera yang didapatkan melainkan
penindasan.
Kebebasan dalam
kepemilikan telah bertentangan dengan konsep dasar ekonomi islam, Islam
mengharamkan kebebasan kepemilikan, sebab islam telah menentukan status
kepemilikan seseorang ditinjau dari Halal dan Haram.
Terkait dengan
kepemilkan, islam telah membagi menjadi Tiga, yaitu :
1. Kepemilikan Individu
Kepemilikan Individu adalah izin yang diberikan oleh Allah
sebagai pembuat syariah (Allah) Kepada seorang Individu untuk memanfaatkan
suatu barang. Kepemilikan individu diraih dengan bekerja, Bekerja adalah salah
satu aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Tiap Muslim boleh bekerja,
tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat
dengan hukum syariah. Dia boleh bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani,
berkebun, tetapi ketika dia melakukan pekerjan tersebut harus terikat dengan
hukum syariah. Karena itu, dia tidak boleh memproduksi khamer, melakukan jual
beli babi, membudidayakan ganja, atau bekerja di perseroan saham, bank riba,
kasino, dan sebagainya. Karena jelas hukum pekerjaan tersebut diharamkan oleh
Islam. Terkadang ada pekerjaan yang asalnya mubah, tetapi dilakukan dengan cara
yang tidak benar. Contoh, samsarah (makelar). Dalam melakukan makelar, seorang
broker harus terikat dengan ketentuan dan hukum tentang samsarah, termasuk
tidak boleh melakukan samsarah ‘ala samsarah, sebagaimana salam kasus bisnis
MLM.
2. Kepemilikan Umum
Kepemilikan Umum Adalah Izin dari Allah yang diberikan
kepada orang banyak/umum untuk memanfaatkan suatu barang. Apa saja yang menjadi
milik Umum? Dalam hal ini Rasulullah SAW Bersabda :
مُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي
الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang
rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Contoh yang menjadi benda milik umum adalah barang tamban
dan hasil hutan.
3. Kepemilikan Negara
Kepemilikan Negara adalah Harta yang merupakan hak seluruh
kaum muslim. Contoh kepemilian negara adalah zakat, pajak dari orang kafir
Dzimmi ( jizyah), pajak dari tanah taklukan (kharaj), Ghanimah dan harta
orang-orang murtad.
Itulah yang menjadi status kepemilikan seseorang dalam
islam, Dengan demikian, dua faktor yang memicu terjadi masalah perburuhan
tersebut telah berhasil dipecahkan oleh Islam, dengan mengharamkan konsep
kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja. Sebaliknya, Islam memberikan
solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep Kepemilikan.
Dengan demikian,
Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah
manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan
living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh
para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya
sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam
menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr
al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak
menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk
mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti
keputusan pakar tersebut.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah
minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan,
dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah,
sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga
adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Mengenai hak mogok
kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh
ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat,
bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.
Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang
diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam
sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu.
Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan
jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini
merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan.
Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem
Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekadar “obat penghilang
rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber
penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini
selalu muncul dan muncul, karena tidak pernah diselesaikan.
Konsep dan solusi Islam di atas benar-benar telah teruji,
ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama akan terulang kembali,
jika kelak khilafah berdiri, dan Islam diterapkan.
Wallahu A’lam Bishawab..